Halaman

Kamis, 30 Juni 2016

dikotomi negara hukum, hukum mengatur penguasa vs penguasa mengatur hukum



dikotomi negara hukum, hukum mengatur penguasa vs penguasa mengatur hukum

Rambu-rambu lalu lintas, merupakan produk hukum yang bersifat universal dan berlaku hampir di semua negara yang ada di dunia. Perbedaan karena ada penyesuaian dengan kondisi geografis, iklim maupun yang bersifat lokal. Pengguna lalu lintas sejagad, karena tiap hari melihatnya, diharapkan lama-lama memahami maksud dan tujuannya. “Deso mowo toto, negoro mowo coro” memang menjadikan munculnya pihak yang memanfaatkan rambu-rambu lalin yang bisa dimultitafsirkan atau didaulat sebagai bahasa isyarat yang baku dan menjadi rahasia umum. Warna yang dipakai dalam rambu-rambu lalin merupakan standar internasional.

Di Indonesia, makna warna memang tidak standar. Bendera kuning sebagai tanda di lokasi tersebut ada warga yang meninggal dunia. Beda daerah, tanda berkabung dengan bendera putih. Lain daerah, dengan bendera hitam. Selain beda warna untuk satu pemahaman, diperkaya dengan hari berkabung, tidak boleh ada yang bekerja. Mungkin, warga, tetangga, kerabat menyiapkan acara adat dan prosesi penguburan jenazah.

Kepentingan umum, bersama ada yang bisa digeneralisir atau tetap sesuai dengan kondisi lokal. Begitu juga dengan hukum, yang ditetapkan di awal, sebagai “pengetahuan bersama” agar lalu lintas kehidupan tidak saling bertabrakkan. Agar sesama pengguna jalan tidak bertindak semau gue, menjadi raja jalanan, menjelma menjadi setan jalanan. Identik dengan paham “siapa menguasai media massa akan menjadi raja” menjadi “siapa meguasai jalan akan menjadi penentu nasib pengguna jalan”.

Rambu-rambu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia bersifat dinamis. Ironis, daya adop politik negara yang sudah terlebih dahulu merdeka, menjadikan kedudukan hukum menjadi tergantung potensi politik yang sedang mendominasi jalannya negara.

Memang sudah suratan sejarah Nusantara, setiap ganti pemimpin nasional, sibuk menyusun rambu-rambu pengaman. Minimal dalam satu periode terbentuk zona aman dan nyaman. Lawan politik dibuat tidak punya nyali untuk bersuara apalagi menjegal dalam lipatan. Tahap berikutnya adalah bagaimana menyiapkan diri sejak dini agar lanjut ke periode berikutnya. Toh, UU tidak mengharamkan. Persoalan sang penguasa periode turun takhta sebelum jatuh tempo, bisa diselesaikan secara adat. Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa pemaaf, ramah dan sopan.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar