sekali PANCASILA, tetap . . . (siap dulu
presidennya)
Banyak kejadian dan
peristiwa bersejarah, yang mengawali, mendasari, dan mendukung terlaksananya
proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Benang merahnya adalah jiwa dan
semangat untuk lepas dari kerakusan, ketamakan, kekejaman penjajahan oleh bangsa lain. Rakyat yang
tersebar, diperas lahir batin, bahkan ampasnyapun tak ketinggalan diperebutkan
oleh kawanan bangsa penjajah.
Pergerakan kemerdekaan dan
semangat anak bangsa untuk merdeka berbasis perjuangan umat Islam sampai
bernafaskan ideologi yang masih idealis dan nasionalisme, bersifat sporadis,
parsial yang mungkin berdasarkan teritorial. Sehingga bisa diatasi oleh penjajah
dengan mudah, walau ada yang memakan waktu tahunan dan menguras biaya perang negara
penjajah. Biaya membasmi pemberontakan oleh penjajah dibebankan ke rakyat dan
pemerintahan lokal saat itu.
Penjajah yang mengeruk,
mengeduk, menjarah, merampok kekayaan alam di bumi Nusantara seolah tak akan
pernah berakhir. Penjajahanpun berganti taktik dan strategi, mengalami
modifikasi dengan memanfaatkan watak dasar bangsa Melayu yang suka disanjung,
dipuja, dipuji; yang gemar barang serba asing; yang senang dengan gaya hidup
kebarat-baratan; yang doyan mengkonsumsi makanan/minuman impor, walhasil urusan
dapur, yaitu bumbu dapur, semisal bawang merah harus impor. Penjajahan berupa
bebas masuknya tenaga kerj asing. Penjajahan di bidang ekonomi dengan tekanan
ekonomi makro produk negara adidaya. Intervensi dari badan dunia, negara asing,
kekuatan agama tertentu, pemodal dunia, walau terasa namum pemerintah tetap
merasa aman dan nyaman.
Kebebasan politik dalam negeri
tak lepas dari tatapan mata kekuatan asing. Salah satu syarat tak tertulis
namun mujarab, ampuh dan jitu untuk menang di pesta demokrasi, khususnya
pemilihan presiden adalah “restu” dari konspirasi internasional. Suara pemilih bisa
digiring, dibentuk, diarahkan dengan pengaruh dan tekanan ekonomi. Jangankan
rakyat, pihak yang merasa layak jadi pemimpin bangsa, bisa takluk dengan
rayuan, elusan, buaian fulus. Tak disangkal, banyak aspek kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat, Indonesia belum merdeka 100%. Bahkan penjajah dari
bangsa Londo Ireng utawa bangsa dewe, sudah menjadi budaya yang secara
konstitusional dimusyawarahmufakati sah dan mempunyai kekuatan hukum selama
satu periode atau waktu tahun tertentu.
Dimana sekarang Pancasila, apakah sekedar menjadi bagian seremonial kenegaraan, atau sudah masuk museum, atau kalah pamor dengan rasa keasingan terhadap diri sendiri. Revolusi mental yang diharapkan mampu mendongkrak mental rakyat sebagai mental rakyat merdeka diimbangi dengan revolusi moral bagi penyelenggara negara agar sadar bahwa mereka bukan bentuk baru penjajahan atas bangsa sendiri.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar