Halaman

Senin, 27 Juni 2016

tragis, pasang surut demokrasi di tangan kebijakan partai penguasa



tragis, pasang surut demokrasi di tangan kebijakan partai penguasa

Bangsa dan rakyat Nusantara wajib bersyukur, bahwasanya parpol juara umum pesta demokrasi 2014, yang sedang berpesta-pora menikmati kemenangan semu selama lima tahun, karena petugas partainya menjabat presiden. Lupa, bersyukur karena di internal partai penguasa yang identik dengan penguasa negara, kendati didukung kroni-kroninya dari lokal maupun interlokal, tidak ada yang masuk kategori pemikir, apalagi pemakar.

Ironisnya, partai penguasa ternyata tidak siap menang. Cuma diuntungkan bahwa lawan politiknya, masih seolah menunggu waktu jatuh tempo. Sempat lengah ketika sekjen nasdem terjegal dan terganjal pasal tipikor, naik daun menjadi berurusan dengan KPK. Hebatnya lagi, wakil rakyat yang dari partai penguasa, mampu mengacak-acak kementerian teknis. Apalagi semangkin membuktikan bahwa gender tidak menjadi penghalang dan hambatan untuk menjadi pecundang.

SBY di militer buka sekedar tukang stempel. Naluri dan strategi militernya dipakai saat membaca peta politik dan menebak arah angin.  Kendati harus melangkahi bayangan atasannya saat itu, justru membuktikan bahwa politisi sipil memang melaju, melejit dengan aman dan nyaman nian berkat memakai kaca mata kuda.

Akankah kader yang tampak berkilau di internal partai penguasa, hanya kilau imitasi, artifisial, sejarah sudah membuktikan. Minimal nama besar Proklamator menjadi nafas buatan, menjadi pemacu jantung, menjadi cadangan darah segar.

Celaka, di era megatega, megakasus, megakonflik 2014-2019, perkara tipikor menjadi lagu wajib kawanan parpolis. Pelakunya mulai dari sekjen partai nasdem. Berita pekerja terpekara beberapa beberapa pasal pidana maupun pasal perdata, menjadi berita dan rahasia umum. Seolah terjadi pembiaran secara sistematis oleh pejabat elit parpolnya. Dengan kata lain, apakah karena sesuai skenario parpol ybs. Kebijakan pemerintah, sebagai bukti adanya demokrasi, ujung-ujungnya semakin terlihat tidak memihak kepentingan rakyat.

Dikuatirkan, pada saatnya Indonesia paceklik tukang politik, sehingga harus impor dari luar negeri. Indonesia kebanjiran tenaga kerja politik untuk membangun sistem politik Nusantara yang berperadaban dan berkemajuan. Benalu politik, parasit politik, pecundang politik dengan modal menjilat/menghujat menjadikan pemerintah Jokowi-JK menjadi garang garing. Hanya menghabiskan sisa waktu sekaligus siap-siap maju di pesta demokrasi 2019. Opo tumon.

Selama ini kita tidak tahu, demokrasi macam apa yang sedang berjalan. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar