tragis, pasang surut demokrasi di tangan kebijakan
partai penguasa
Bangsa dan rakyat Nusantara wajib bersyukur, bahwasanya
parpol juara umum pesta demokrasi 2014, yang sedang berpesta-pora menikmati
kemenangan semu selama lima tahun, karena petugas partainya menjabat presiden.
Lupa, bersyukur karena di internal partai penguasa yang identik dengan penguasa
negara, kendati didukung kroni-kroninya dari lokal maupun interlokal, tidak ada
yang masuk kategori pemikir, apalagi pemakar.
Ironisnya, partai penguasa ternyata tidak siap menang.
Cuma diuntungkan bahwa lawan politiknya, masih seolah menunggu waktu jatuh
tempo. Sempat lengah ketika sekjen nasdem terjegal dan terganjal pasal tipikor,
naik daun menjadi berurusan dengan KPK. Hebatnya lagi, wakil rakyat yang dari
partai penguasa, mampu mengacak-acak kementerian teknis. Apalagi semangkin
membuktikan bahwa gender tidak menjadi penghalang dan hambatan untuk menjadi
pecundang.
SBY di militer buka sekedar tukang stempel. Naluri dan
strategi militernya dipakai saat membaca peta politik dan menebak arah angin. Kendati harus melangkahi bayangan atasannya
saat itu, justru membuktikan bahwa politisi sipil memang melaju, melejit dengan
aman dan nyaman nian berkat memakai kaca mata kuda.
Akankah kader yang tampak berkilau di internal partai
penguasa, hanya kilau imitasi, artifisial, sejarah sudah membuktikan. Minimal
nama besar Proklamator menjadi nafas buatan, menjadi pemacu jantung, menjadi
cadangan darah segar.
Celaka, di era megatega, megakasus, megakonflik
2014-2019, perkara tipikor menjadi lagu wajib kawanan parpolis. Pelakunya mulai
dari sekjen partai nasdem. Berita pekerja terpekara beberapa beberapa pasal
pidana maupun pasal perdata, menjadi berita dan rahasia umum. Seolah terjadi
pembiaran secara sistematis oleh pejabat elit parpolnya. Dengan kata lain,
apakah karena sesuai skenario parpol ybs. Kebijakan pemerintah, sebagai bukti
adanya demokrasi, ujung-ujungnya semakin terlihat tidak memihak kepentingan
rakyat.
Dikuatirkan, pada saatnya Indonesia paceklik tukang
politik, sehingga harus impor dari luar negeri. Indonesia kebanjiran tenaga
kerja politik untuk membangun sistem politik Nusantara yang berperadaban dan
berkemajuan. Benalu politik, parasit politik, pecundang politik dengan modal menjilat/menghujat
menjadikan pemerintah Jokowi-JK menjadi garang
garing. Hanya menghabiskan sisa waktu sekaligus siap-siap maju di pesta
demokrasi 2019. Opo tumon.
Selama ini kita tidak tahu, demokrasi macam apa yang
sedang berjalan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar