Halaman

Kamis, 09 Juni 2016

ketika rasa bawang tidak bisa diimpor




ketika rasa bawang tidak bisa diimpor

Fungsi lidah sebagai indra pengecap, perasa makanan/minuman anak bangsa Indonesia menunjukkan derajat rasa nasionalisme yang membanggakan. Kebijakan pemerintah Jokowi-JK mengimpor bawang dari negara sahabat, mendapat reaksi negatif dari Dewan Bawang Nasional. Walau tidak mewakili para penikmat bawang, pedagang ataupun sampai kebijakan local pemerintah provinsi tertentu.

Soal rasa, tidak bisa main tipu, tidak bisa sekedar angguk kepala sekedar agar mbok de girang, tetangga senang, politisi pendukung riang. Momen ini sebetulnya bukan kejadian langka. Kontradiksinya, kalau barang buangan luar negeri yang masuk bebas ke Nusantara, bebas melenggang kangkung seolah tanpa prosedur karantina dan proses penyaringan, terasa beda di lidah manusia lokal, bahkan menambah rasa percaya diri, serta merta akan didewa-dewakan.

Anak bangsa yang mampu mengkonsumsi pangan impor, merasa menjadi manusia unggul. Minimal berjasa menunjang program ketahanan pangan dan berdikari di bidang pangan pemerintah. Barang apa saja itu, tidak bisa dideteksi, karena yang tidak untuk umum lebih menjanjikan. Menambah nilai jual dalam pergaulan di ajang politik bebas, mendongkrak citra rasa dan citra diri menghadapi lawan politik, serta yang terpenting adalah menambah rasa loyal, cinta, tunduk kepada kebijakan partai.

Akankah jiwa dan daya juang kawanan parpolis, oknum ketum parpol, pelaku, pemain dan pekerja politik di panggung, industri, syahwat politik sudah hambar. Atau kebanyakan rasa sehingga mati rasa. Kebijakan pemerintah yang berlomba dengan tanpa pamrihnya rakyat, sudah mengindikasikan adanya nuansa politis “rasa tanpa rasa”. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar