ketika rasa bawang tidak bisa diimpor
Fungsi lidah sebagai indra pengecap, perasa makanan/minuman anak bangsa Indonesia
menunjukkan derajat rasa nasionalisme yang membanggakan. Kebijakan pemerintah
Jokowi-JK mengimpor bawang dari negara sahabat, mendapat reaksi negatif dari Dewan
Bawang Nasional. Walau tidak mewakili para penikmat bawang, pedagang ataupun
sampai kebijakan local pemerintah provinsi tertentu.
Soal rasa, tidak bisa main tipu, tidak bisa sekedar angguk kepala sekedar
agar mbok de girang, tetangga senang, politisi pendukung riang. Momen ini
sebetulnya bukan kejadian langka. Kontradiksinya, kalau barang buangan luar
negeri yang masuk bebas ke Nusantara, bebas melenggang kangkung seolah tanpa
prosedur karantina dan proses penyaringan, terasa beda di lidah manusia lokal,
bahkan menambah rasa percaya diri, serta merta akan didewa-dewakan.
Anak bangsa yang mampu mengkonsumsi pangan impor, merasa menjadi manusia
unggul. Minimal berjasa menunjang program ketahanan pangan dan berdikari di
bidang pangan pemerintah. Barang apa saja itu, tidak bisa dideteksi, karena
yang tidak untuk umum lebih menjanjikan. Menambah nilai jual dalam pergaulan di
ajang politik bebas, mendongkrak citra rasa dan citra diri menghadapi lawan
politik, serta yang terpenting adalah menambah rasa loyal, cinta, tunduk kepada
kebijakan partai.
Akankah jiwa dan daya juang kawanan parpolis, oknum ketum parpol, pelaku,
pemain dan pekerja politik di panggung, industri, syahwat politik sudah hambar.
Atau kebanyakan rasa sehingga mati rasa. Kebijakan pemerintah yang berlomba
dengan tanpa pamrihnya rakyat, sudah mengindikasikan adanya nuansa politis “rasa tanpa rasa”. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar