efek
domino revolusi mental, penyakit masyarakat vs penyakit pejabat
Dikisahkan, konon ‘penyakit
masyarakat’ menjadi bidang garap aparat keamanan, tepatnya Polisi. Bisa kita
simak UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fokus pada penjelasan
Pasal 15 Ayat (1) Huruf c, yang dimaksud dengan "penyakit masyarakat"
antara lain : pengemisan
dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika,
pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan
liar.
Perkembangan
bentuk dan ruang gerak penyakit masyarakat menjadi semacam bola liar. Penanganannya
menjadi tak bertuan. Menjadi bumerang bagi
aparat kepollisan. Dalam arti ada komponen penyakit masyarakat yang bisa
menaikkan pamor, reputasi, harga diri Polri. Ada pula yang malah bak mengundang
penyakit baru. Jujur saja, bahkan ada unsur penyakit masyarakat yang menjadi
bidang garap tak resmi Polri. Terbukti dengan perang dingin yang berwujud Buaya
vs Cicak.
Ironisnya,
jika masyarakat yang bersentuhan langsung dengan dampak penyakit masyarakat
melakukan tindakan proaktif, preventif atau bahkan turun langsung ke
masyarakat, malah didakwa sebagai tindakan inkonstitusional. Pihak lain, ratio polisi dibanding jumlah
penduduk yang harus mendapatkan pelayanan masyarakat, dengan metode pengayoman
dan pengayeman, tidak ideal. Sehingga polisi atau pemerintah mengharapkan
kepedulian, peran serta dan peran aktif masyarakat.
Masyarakat
dan bangsa Indonesia yang serba multi, tak bisa duduk manis menunggu setelah
terjadi kebakaran baru ramai. Setelah dampak bebasnya praktik berbasis penyakit
masyarakat, memakan kurban, malah pemerintah secara nasional dianggap bukan
masalah. Masih banyak kepentingan negara yang perlu diurus.
Konflik
antar manusia yang beda kepentingan, walau tujuannya sama yaitu mencari sesuap
nasi, jika masuk kuadran “sama-sama merasa benar”, tak ayal malapetaka, bencana
sosial yang akan siap siaga di depan mata kita.
Tak heran
jika penyelenggara negara dalam ikhtiar mencari kenikmatan dunia, sebagai
suksesi, sebagai bukti perjuangan hidup mati, siang malam untuk negara. Istilahnya,
pengabdian ke negara sampai mengkorbankan jiwa raganya, memeras daya pikir dan
energinya, wajar jika mendapat imbalan dunia. Merasa berhak mendapat hasil yang
juga luar biasa.
Yang tak wajar,
jika oknum penelenggara negara, untuk mewujudkan cita-citanya (termasuk
cita-cita partai politik pengusungnya), mau tak mau harus bermusuhan dengan sesama
manusia. Ikhtiar optimal dilakoni, mengemukakan adu taktik dan strategi yang
teruji. Mencari aspek legalitas hukum atas sesuatu yang tidak halal, atau mengatasnamakan
kepentingan rakyat, atau dengan dalih sebagai langkah yang dilindungi
konstitusi.
Singkat cerita, karena kasusnya belum dan tak akan
selesai, saya coba memahami apa itu ‘penyakit masyarakat’. Apakah disebabkan
oleh virus. Obat apa yang mujarab, manjur, cespleng dan tersedia di warung terdekat
atau harus pesan secara online. Apakah kementerian kesehatan atau bahkan
DPR sudah memberi peringatan dini akan bahaya ‘penyakit masyarakat’.
Jangan-jangan akumulasi ‘penyakit masyarakat’ dari
pelosok Nusantara, diramu oleh jiwa revolusi mental, menjelma resmi menjadi satu kesatuan utuh yaitu ‘penyakit
pejabat’. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar