Halaman

Selasa, 21 Juni 2016

efek domino revolusi mental, penyakit masyarakat vs penyakit pejabat



efek domino revolusi mental, penyakit masyarakat vs penyakit pejabat

Dikisahkan,  konon ‘penyakit masyarakat’ menjadi bidang garap aparat keamanan, tepatnya Polisi. Bisa kita simak UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fokus pada penjelasan Pasal 15 Ayat (1) Huruf c, yang dimaksud dengan "penyakit masyarakat" antara lain : pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar.

Perkembangan bentuk dan ruang gerak penyakit masyarakat menjadi semacam bola liar. Penanganannya  menjadi tak bertuan. Menjadi bumerang bagi aparat kepollisan. Dalam arti ada komponen penyakit masyarakat yang bisa menaikkan pamor, reputasi, harga diri Polri. Ada pula yang malah bak mengundang penyakit baru. Jujur saja, bahkan ada unsur penyakit masyarakat yang menjadi bidang garap tak resmi Polri. Terbukti dengan perang dingin yang berwujud Buaya vs Cicak.

Ironisnya, jika masyarakat yang bersentuhan langsung dengan dampak penyakit masyarakat melakukan tindakan proaktif, preventif atau bahkan turun langsung ke masyarakat, malah didakwa sebagai tindakan inkonstitusional.  Pihak lain, ratio polisi dibanding jumlah penduduk yang harus mendapatkan pelayanan masyarakat, dengan metode pengayoman dan pengayeman, tidak ideal. Sehingga polisi atau pemerintah mengharapkan kepedulian, peran serta dan peran aktif masyarakat.

Masyarakat dan bangsa Indonesia yang serba multi, tak bisa duduk manis menunggu setelah terjadi kebakaran baru ramai. Setelah dampak bebasnya praktik berbasis penyakit masyarakat, memakan kurban, malah pemerintah secara nasional dianggap bukan masalah. Masih banyak kepentingan negara yang perlu diurus.

Konflik antar manusia yang beda kepentingan, walau tujuannya sama yaitu mencari sesuap nasi, jika masuk kuadran “sama-sama merasa benar”, tak ayal malapetaka, bencana sosial yang akan siap siaga di depan mata kita.

Tak heran jika penyelenggara negara dalam ikhtiar mencari kenikmatan dunia, sebagai suksesi, sebagai bukti perjuangan hidup mati, siang malam untuk negara. Istilahnya, pengabdian ke negara sampai mengkorbankan jiwa raganya, memeras daya pikir dan energinya, wajar jika mendapat imbalan dunia. Merasa berhak mendapat hasil yang juga luar biasa.

Yang tak wajar, jika oknum penelenggara negara, untuk mewujudkan cita-citanya (termasuk cita-cita partai politik pengusungnya), mau tak mau harus bermusuhan dengan sesama manusia. Ikhtiar optimal dilakoni, mengemukakan adu taktik dan strategi yang teruji. Mencari aspek legalitas hukum atas sesuatu yang tidak halal, atau mengatasnamakan kepentingan rakyat, atau dengan dalih sebagai langkah yang dilindungi konstitusi.

Singkat cerita, karena kasusnya belum dan tak akan selesai, saya coba memahami apa itu ‘penyakit masyarakat’. Apakah disebabkan oleh virus. Obat apa yang mujarab, manjur, cespleng dan tersedia di warung terdekat atau harus pesan secara online. Apakah kementerian kesehatan atau bahkan DPR sudah memberi peringatan dini akan bahaya ‘penyakit masyarakat’.

Jangan-jangan akumulasi ‘penyakit masyarakat’ dari pelosok Nusantara, diramu oleh jiwa revolusi mental, menjelma resmi menjadi satu kesatuan utuh yaitu ‘penyakit pejabat’. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar