Negara kurang greget, bikin rakyat gregeten
Jangan dikira, berurusan dengan negara, bebas bea alias serba gratis. Biaya
bangun negara ditanggung segenap lapisan rakyat. Tak pandang ukuran sepatu.
Tarif yang berlaku adalah tarif tak resmi tapi baku. Agar urusan lancar, simak
pasal pelancarnya.
Berdasarkan laporan Bank Dunia disebutkan jika satu persen orang terkaya di
negeri ini telah menguasai 50,3 persen kekayaan Indonesia (REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Senin,
28 Desember 2015, 18:15 WIB)
Tentunya, greget 1% orang terkaya
di NKRI mampu, bisa dan memang menguasai ruang gerak dan daya juang para
penyelenggara negara, khususnya mereka yang terikat kontrak politik lima
tahunan. Sebagai orang terkaya tidak terpengaruh gejolak politik dalam negeri, Justru di
tangan merekalah koordinasi, kendali, kontrol politik.
Do’a bareng semua rakyat agar 560 wakil rakyat Nusantara mampu menghadapi
‘satu persen orang terkaya Indonesia’. Sehingga diharapkan ada arus, aliran Rp
yang masuk ke rekening, pundi-pundi, dompet, saku sebagai imbalan jerih payah
memperjuangkan nasib rakyat. Atau jangan-jangan daya pikir, daya juang wakil
rakyat sudah terformat, terbingkai, terkungkung secara sistematis selama lima
tahun oleh campur tangan ‘satu persen orang terkaya Indonesia’.
Ketika
bangsa ini hanya mengandalkan, mengutamakan dan mengedepankan daya ideologi
pasca Proklamasi, kita akan selalu tinggal dilandasan. Kalah laju dan kalah
maju dengan bangsa lain yang merdeka setelah RI merdeka. 2014-2019 bangsa ini
sebagai bangsa dan negara serta pemerintah paling sibuk dibanding periode
sebelumnya. Walau tak mengulang kesalahan yang sama, mengulang kekurangan
diperiode sebelumnya, namun kita sibuk bak orang lari di tempat. Sibuk saling
menghujat. Kelompok, koalisi parpol pendukung pemerintah, relawan atau pihak
pro-pemerintah sibuk menjilat. Gara-gara salah mengkonsumsi obat kuat politik. Kawanan
parpolis, baik yang pro-pemerintah maupun sekedar jadi oposisi, penggembira
membuat dosa politik ala revolusi mental.
Energi positif ideologi terserap, terperas, terkuras hanya untuk urusan
internal parpol. Saham politik tersedot hanya untuk urusan menghidupkan,
mewujudkan dan melaksanakan kebijakan parpol. Sebelumnya, ketika nilai jual
prestasi politik yang didongkrak jasa leluhurnya, ternyata nyatanya tidak bisa
merubah niat tulus pemilih di pesta demokrasi 2004 dan 2009. Terlebih di era
megatega, megakasus 2014-2019 bandot, dedengkot parpol ambisinya tersalurkan
secara bebas sebebas-bebasnya melalui boneka hidupnya. Melalui perpanjangan
tangan politiknya. Nafsu, syahwat, libido politik asal tersalurkan secara
konstitusional.
Dituturkan sebagai pengantar tidur
malam, betapa ada koalisi pro-pemerintah, entah besutan atau hasutan siapa.
Semangkin membuktikan daripada adanya ‘orang buta politik’, sesuai
pitutur dalang Jokowi, mereka memang kéré munggah balé. Menghalalkan segala pasal, melegalkan
segala cara, mengkonstitusionalkan segala modus operandi. Siapa makan siapa
menjadi menu politik harian. Siapa lawan siapa menjadi atraksi hiburan
pengharu-rasa. Siapa merasa jadi siapa tampil dengan gaya berhiba-hiba ria
jenaka. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar