Halaman

Rabu, 15 Juni 2016

Negara kurang greget, bikin rakyat gregeten



Negara kurang greget, bikin rakyat gregeten

Jangan dikira, berurusan dengan negara, bebas bea alias serba gratis. Biaya bangun negara ditanggung segenap lapisan rakyat. Tak pandang ukuran sepatu. Tarif yang berlaku adalah tarif tak resmi tapi baku. Agar urusan lancar, simak pasal pelancarnya.

Berdasarkan laporan Bank Dunia disebutkan jika satu persen orang terkaya di negeri ini telah menguasai 50,3 persen kekayaan Indonesia (REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Senin, 28 Desember 2015, 18:15 WIB)

Tentunya, greget 1% orang terkaya di NKRI mampu, bisa dan memang menguasai ruang gerak dan daya juang para penyelenggara negara, khususnya mereka yang terikat kontrak politik lima tahunan. Sebagai orang terkaya tidak terpengaruh gejolak politik dalam negeri, Justru di tangan merekalah koordinasi, kendali, kontrol politik.

Do’a bareng semua rakyat agar 560 wakil rakyat Nusantara mampu menghadapi ‘satu persen orang terkaya Indonesia’. Sehingga diharapkan ada arus, aliran Rp yang masuk ke rekening, pundi-pundi, dompet, saku sebagai imbalan jerih payah memperjuangkan nasib rakyat. Atau jangan-jangan daya pikir, daya juang wakil rakyat sudah terformat, terbingkai, terkungkung secara sistematis selama lima tahun oleh campur tangan ‘satu persen orang terkaya Indonesia’.

Ketika bangsa ini hanya mengandalkan, mengutamakan dan mengedepankan daya ideologi pasca Proklamasi, kita akan selalu tinggal dilandasan. Kalah laju dan kalah maju dengan bangsa lain yang merdeka setelah RI merdeka. 2014-2019 bangsa ini sebagai bangsa dan negara serta pemerintah paling sibuk dibanding periode sebelumnya. Walau tak mengulang kesalahan yang sama, mengulang kekurangan diperiode sebelumnya, namun kita sibuk bak orang lari di tempat. Sibuk saling menghujat. Kelompok, koalisi parpol pendukung pemerintah, relawan atau pihak pro-pemerintah sibuk menjilat. Gara-gara salah mengkonsumsi obat kuat politik. Kawanan parpolis, baik yang pro-pemerintah maupun sekedar jadi oposisi, penggembira membuat dosa politik ala revolusi mental.

Energi positif ideologi terserap, terperas, terkuras hanya untuk urusan internal parpol. Saham politik tersedot hanya untuk urusan menghidupkan, mewujudkan dan melaksanakan kebijakan parpol. Sebelumnya, ketika nilai jual prestasi politik yang didongkrak jasa leluhurnya, ternyata nyatanya tidak bisa merubah niat tulus pemilih di pesta demokrasi 2004 dan 2009. Terlebih di era megatega, megakasus 2014-2019 bandot, dedengkot parpol ambisinya tersalurkan secara bebas sebebas-bebasnya melalui boneka hidupnya. Melalui perpanjangan tangan politiknya. Nafsu, syahwat, libido politik asal tersalurkan secara konstitusional.

Dituturkan sebagai pengantar tidur malam, betapa ada koalisi pro-pemerintah, entah besutan atau hasutan siapa. Semangkin membuktikan daripada adanya orang buta politik, sesuai pitutur dalang Jokowi, mereka memang kéré munggah balé. Menghalalkan segala pasal, melegalkan segala cara, mengkonstitusionalkan segala modus operandi. Siapa makan siapa menjadi menu politik harian. Siapa lawan siapa menjadi atraksi hiburan pengharu-rasa. Siapa merasa jadi siapa tampil dengan gaya berhiba-hiba ria jenaka. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar