Panca Ketimpangan Ekonomi Nasional
Konon, obral paket kebijakan ekonomi di suatu negara,
tanpa ilmu ekonomi tingkat tinggi yang ndakik-ndakik,
rakyat dengan segenap keluguannya, tanpa pamrih, daya warasnya masih alami, mampu
menerawang kemana arah kebijakan berpihak.
Caranya mudah, jika urusan dapur, masuk menjadi agenda
pemerintah, memang seyogyanya. Akan tetapi, jika bumbu dapur, sebut saja bawang
merah, harus minta tetangga dalam jumlah nggilani,
ini baru namanya tak wajar. Bukan minta, tetapi beli, atau entah barter dengan
paket kebijakan ekonomi yang lain. Bukan urusan rakyat, yang tahunya dan
tempenya sebagai lauk yang merakyat.
Ilmu ekonomi yang dipraktikan rakyat adalah sebelum fajar
berkibar sudah meninggalkan rumah, dengan perut disumpal air putih dan santapan
ringan dan minim, sore pulang bawa rezeki buat keluarga. Meniru gaya hidup
burung. Tak mau tertipu gemerlap mewah dunia. Ikut arus dunia namun tetap tidak
terhanyut arus.
Ada beberapa renungan, ternyata belantara politik
Nusantara, mau tak mau, menjadikan rakyat harus mampu bertahan hidup (survive).
Rakyat sudah terbiasa hidup sederhana, mengencangkan ikat pinggang, tidak mengkonsumsi
pangan impor. Bukannya pemerintah dengan revolusi mental tidak peduli nasib
perut wong cilik. Namun setiap ganti pimpinan, rakyat dijadikan obyek uji coba
kebijakan. Akhirnya terdapat beberapa dinamika fakta ketahanan ekonomi rakyat.
Pertama, ketimpangan politik
ekonomi. Ketika para pembantu presiden
mengikuti aturan menyampaikan laporan kekayaannya, ternyata oknum menteri unsur
partai politik, tidak ada yang masuk kategori keluarga pra-sejahtera Kemensos.
Diharapkan mereka tinggal mikir urusan negara doang. Fokus urus urusan dapur negara yang memebri makan ratusan
juta rakyat. Tidak takut kena gusur, perombakan serial kabinet balas jasa.
Kedua, ketimpangan kesempatan
dan peluang. Tradisi miskin kaum elit (ekonomi sulit) semakin mendapat tempat
dan bertambah peminatnya. Silsilah anak keturunan
keluarga miskin terpengaruh oleh beberapa faktor penyebab, yaitu lingkungan tempat
tinggal serta pendidikan orang tua mereka. Orang tua yang bekerja,
berijazah SMA, sudah puas jika anaknya mengenyam pendidikan dan tamat SMA. Perjalanan
hidup anak diserahkan kepada mekanisme pasar, kepada kehendak alam. Masyarakat
didominasi watak manusia yang mempoisisikan diri sebagai penerima nasib yang
baik. Tak mau bertingkah dan banyak tingkah.
Ketiga, ketimpangan bursa tenaga
kerja. Generasi muda terjebak budaya cepat saji, budaya instan. Bagaimana
burung mencari makan, diterjemahbebaskan, pagi pergi pulang menenteng segepok
Rp. Sudah bagus, dalam arti masuk kategori produktivitas harian. Generasi
kampus tak mau kalah gaul, gengsi dan gaya hidup. Mereka ingin tampil keren. Begitu
wisuda mereka siap kerja di “daerah bertuan”, siaga ditempatkan di “lahan basah”.
Sanggup menerima gaji dengan standar dollar negara maju.
Keempat, ketimpangan kutub
jaya-kutub miskin. Jika disebutkan kekayaan orang kaya Indonesia, yang berada
di beberapa puluh atau ratus orang, bisa
sebanyak kekayaan orang Indonesia sisanya. Pertumbuhan ekonomi menjadikan
muncul atau bertambahnya golongan menengah ke atas. Orang kaya memang tidak
terpengaruh gejolak politik dalam negeri, Justru di tangan merekalah koordinasi,
kendali, kontrol politik.
Kelima, ketimpangan dalam
menghadapi bencana ekonomi. Pada saat yang sama nyaris semua rakyat membutuhkan
pangan, seperti di bulan Ramadhan 1437 H saat tulisan ditayangkan, terjadi
heboh pasar. Kebijakan pemerintah seperti diduga, berat sebelah ke kutub
produsen. Operasi pasar, gaji bulan ke-13 serta pernik-pernik kehebatan
pemerintah digulirkan dengan seksama. Orang politik serta merta cuci tangan.
[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar