Halaman

Senin, 13 Juni 2016

Panca Ketimpangan Ekonomi Nasional



Panca Ketimpangan Ekonomi Nasional

Konon, obral paket kebijakan ekonomi di suatu negara, tanpa ilmu ekonomi tingkat tinggi yang ndakik-ndakik, rakyat dengan segenap keluguannya, tanpa pamrih, daya warasnya masih alami, mampu menerawang kemana arah kebijakan berpihak.

Caranya mudah, jika urusan dapur, masuk menjadi agenda pemerintah, memang seyogyanya. Akan tetapi, jika bumbu dapur, sebut saja bawang merah, harus minta tetangga dalam jumlah nggilani, ini baru namanya tak wajar. Bukan minta, tetapi beli, atau entah barter dengan paket kebijakan ekonomi yang lain. Bukan urusan rakyat, yang tahunya dan tempenya sebagai lauk yang merakyat.

Ilmu ekonomi yang dipraktikan rakyat adalah sebelum fajar berkibar sudah meninggalkan rumah, dengan perut disumpal air putih dan santapan ringan dan minim, sore pulang bawa rezeki buat keluarga. Meniru gaya hidup burung. Tak mau tertipu gemerlap mewah dunia. Ikut arus dunia namun tetap tidak terhanyut arus.

Ada beberapa renungan, ternyata belantara politik Nusantara, mau tak mau, menjadikan rakyat harus mampu bertahan hidup (survive). Rakyat sudah terbiasa hidup sederhana, mengencangkan ikat pinggang, tidak mengkonsumsi pangan impor. Bukannya pemerintah dengan revolusi mental tidak peduli nasib perut wong cilik. Namun setiap ganti pimpinan, rakyat dijadikan obyek uji coba kebijakan. Akhirnya terdapat beberapa dinamika fakta ketahanan ekonomi rakyat.

Pertama, ketimpangan politik ekonomi.  Ketika para pembantu presiden mengikuti aturan menyampaikan laporan kekayaannya, ternyata oknum menteri unsur partai politik, tidak ada yang masuk kategori keluarga pra-sejahtera Kemensos. Diharapkan mereka tinggal mikir urusan negara doang. Fokus urus urusan dapur negara yang memebri makan ratusan juta rakyat. Tidak takut kena gusur, perombakan serial kabinet balas jasa.

Kedua, ketimpangan kesempatan dan peluang. Tradisi miskin kaum elit (ekonomi sulit) semakin mendapat tempat dan bertambah peminatnya.  Silsilah anak keturunan keluarga miskin terpengaruh oleh beberapa faktor penyebab, yaitu lingkungan tempat tinggal serta pendidikan orang tua mereka.  Orang tua yang bekerja, berijazah SMA, sudah puas jika anaknya mengenyam pendidikan dan tamat SMA. Perjalanan hidup anak diserahkan kepada mekanisme pasar, kepada kehendak alam. Masyarakat didominasi watak manusia yang mempoisisikan diri sebagai penerima nasib yang baik. Tak mau bertingkah dan banyak tingkah.

Ketiga, ketimpangan bursa tenaga kerja. Generasi muda terjebak budaya cepat saji, budaya instan. Bagaimana burung mencari makan, diterjemahbebaskan, pagi pergi pulang menenteng segepok Rp. Sudah bagus, dalam arti masuk kategori produktivitas harian. Generasi kampus tak mau kalah gaul, gengsi dan gaya hidup. Mereka ingin tampil keren. Begitu wisuda mereka siap kerja di “daerah bertuan”, siaga ditempatkan di “lahan basah”. Sanggup menerima gaji dengan standar dollar negara maju.

Keempat, ketimpangan kutub jaya-kutub miskin. Jika disebutkan kekayaan orang kaya Indonesia, yang berada di beberapa puluh atau ratus orang,  bisa sebanyak kekayaan orang Indonesia sisanya. Pertumbuhan ekonomi menjadikan muncul atau bertambahnya golongan menengah ke atas. Orang kaya memang tidak terpengaruh gejolak politik dalam negeri, Justru di tangan merekalah koordinasi, kendali, kontrol politik.

Kelima, ketimpangan dalam menghadapi bencana ekonomi. Pada saat yang sama nyaris semua rakyat membutuhkan pangan, seperti di bulan Ramadhan 1437 H saat tulisan ditayangkan, terjadi heboh pasar. Kebijakan pemerintah seperti diduga, berat sebelah ke kutub produsen. Operasi pasar, gaji bulan ke-13 serta pernik-pernik kehebatan pemerintah digulirkan dengan seksama. Orang politik serta merta cuci tangan. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar