menakar nalar hak
prerogatif oknum ketua umum partai politik
UU tentang Partai
Politik, beberapa kali mengalami perubahan, karena dinamis dan adaptable serta permintaan penggemar,
masih menyuratkan apa yang dimaksud dengan : “Pendidikan Politik
adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung
jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”
Kalau rakyat ikut
pendidikan politik, dinyatakan lulus, apakah otomatis memperoleh hak, kewajiban
dan tanggung jawab sebagai warga negara dalam kehidupan berbangsa dan
bernegera. Kekritisan rakyat dengan mempertanyakan apakah penjabaran, definisi
atau sebutan lainnya tentang ‘pendidikan politik’ sudah tepat. Siapa yang wajib
ikut pendidikan politik adalah justru mereka yang bergiat di partai politik.
Terbukti, terdakwa kasus tipikor tak jauh dari oknum pelaku, pemain dan pekerja
politik.
Tak salah jika dikatakan
bahwa kawanan parpolis peserta pesta demokrasi yang kebagian jatah kursi di
Senayan, otomatis sebagai pihak yang bertangung jawab mengurusan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Bagaimana posisi rakyat
dalam frasa “berbangsa dan bernegara”.
Menyimak perubahan kedua
UUD RI 1945, disepakati ada pasal baru berujar :
Pasal 28J
(1) Setiap orang
wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Bukan tanpa maksud dan
makna bahwa ruang gerak rakyat adalah pada kehidupan bermasyarakat.
Mengacu lagi UU tentang
Partai Politik, menyuratkan apa yang dimaksud dengan : “Partai Politik adalah organisasi
yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia
secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan
dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Betapa kedudukan sebuah
parpol bisa sejajar dengan negara, karena sifat lingkup dan ruang gerak secara
nasional. Apa korelasi, hubungan antara ketua umum sebuah parpol dengan
presiden sebagai kepala negara.
Secara acak kita
terpaksa bolak-balik ke UUD 1945. Menyimak perubahan kedua UUD RI 1945, disepakati
ada pasal baru menyuratkan :
Pasal 28D
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
Sedekat ini, penulis
memang sengaja tak mau mencari makna memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan. In sya Allah tunggu tanggal main dan tempat mainnya.
Mengaca pada periode
pemerintahan 2014-2019 tampak nyata perilaku ketua umum parpol juara umum pesta
demokrasi, dengan tanpa isak tangisnya mendaulat dirinya sebagai Presiden
Senior. Entah apa niat hatinya. Apakah ambisi politiknya kesampaian dalam
bentuk semu. Wallahu’alam.
Perubahan keempat UUD RI
1945 tidak menyebut hak presiden. Beda dengan wakil rakyat yang memiliki
seperangkat hak. Praktiknya, presiden memang mempunyai hak istimewa yang
melekat sebagai kepala negara, dalam arti di tangannya ada keputusan yang
mutlak, semacam hak veto. Secara kamus gaul, disebut Hak Prerogatif.
Kembali mengacu UU tentang partai politik, disebutkan pengertian atau batasan “Anggaran Dasar Partai Politik, selanjutnya disingkat AD, adalah peraturan dasar Partai Politik.” serta “Anggaran Rumah Tangga Partai Politik, selanjutnya disingkat ART, adalah peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran AD.”
Ironis, terbyata ada AD
dan RT sebuah partai politik, di salah satu pasalnya dengan terang benderang
mencantumkan :
Ketua
Umum mempunyai Hak Prerogatif untuk mempertahankan : Eksistensi Partai,
Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jadi, selain apakah AD
dan ART parpol bersifat seragam, komentar pembaca yang dengan cerdas membaca,
mengapa Indonesia terjebak dalam budaya budak politik. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar