Halaman

Minggu, 05 Juni 2016

menakar nalar hak prerogatif oknum ketua umum partai politik



menakar nalar hak prerogatif oknum ketua umum partai politik

UU tentang Partai Politik, beberapa kali mengalami  perubahan, karena dinamis dan adaptable serta permintaan penggemar, masih menyuratkan apa yang dimaksud dengan : “Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kalau rakyat ikut pendidikan politik, dinyatakan lulus, apakah otomatis memperoleh hak, kewajiban dan tanggung jawab sebagai warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegera. Kekritisan rakyat dengan mempertanyakan apakah penjabaran, definisi atau sebutan lainnya tentang ‘pendidikan politik’ sudah tepat. Siapa yang wajib ikut pendidikan politik adalah justru mereka yang bergiat di partai politik. Terbukti, terdakwa kasus tipikor tak jauh dari oknum pelaku, pemain dan pekerja politik.

Tak salah jika dikatakan bahwa kawanan parpolis peserta pesta demokrasi yang kebagian jatah kursi di Senayan, otomatis sebagai pihak yang bertangung jawab mengurusan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bagaimana posisi rakyat dalam frasa “berbangsa dan bernegara”.

Menyimak perubahan kedua UUD RI 1945, disepakati ada pasal baru berujar :
Pasal 28J
(1)      Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

Bukan tanpa maksud dan makna bahwa ruang gerak rakyat adalah pada kehidupan bermasyarakat.

Mengacu lagi UU tentang Partai Politik, menyuratkan apa yang dimaksud dengan : “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Betapa kedudukan sebuah parpol bisa sejajar dengan negara, karena sifat lingkup dan ruang gerak secara nasional. Apa korelasi, hubungan antara ketua umum sebuah parpol dengan presiden sebagai kepala negara.

Secara acak kita terpaksa bolak-balik ke UUD 1945. Menyimak perubahan kedua UUD RI 1945, disepakati ada pasal baru menyuratkan :
Pasal 28D
(3)     Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Sedekat ini, penulis memang sengaja tak mau mencari makna memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. In sya Allah tunggu tanggal main dan tempat mainnya.

Mengaca pada periode pemerintahan 2014-2019 tampak nyata perilaku ketua umum parpol juara umum pesta demokrasi, dengan tanpa isak tangisnya mendaulat dirinya sebagai Presiden Senior. Entah apa niat hatinya. Apakah ambisi politiknya kesampaian dalam bentuk semu. Wallahu’alam.

Perubahan keempat UUD RI 1945 tidak menyebut hak presiden. Beda dengan wakil rakyat yang memiliki seperangkat hak. Praktiknya, presiden memang mempunyai hak istimewa yang melekat sebagai kepala negara, dalam arti di tangannya ada keputusan yang mutlak, semacam hak veto. Secara kamus gaul, disebut Hak Prerogatif.

Kembali mengacu UU tentang partai politik, disebutkan pengertian atau batasan “Anggaran Dasar Partai Politik, selanjutnya disingkat AD, adalah peraturan dasar Partai Politik.” serta “Anggaran Rumah Tangga Partai Politik, selanjutnya disingkat ART, adalah peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran AD.”

Ironis, terbyata ada AD dan RT sebuah partai politik, di salah satu pasalnya dengan terang benderang mencantumkan :
Ketua Umum mempunyai Hak Prerogatif untuk mempertahankan : Eksistensi Partai, Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  
Jadi, selain apakah AD dan ART parpol bersifat seragam, komentar pembaca yang dengan cerdas membaca, mengapa Indonesia terjebak dalam budaya budak politik. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar