Halaman

Sabtu, 18 Juni 2016

perilaku koruptif dan tindak tuna laras kawanan parpolis Nusantara



perilaku koruptif dan tindak tuna laras kawanan parpolis Nusantara

Pada saat itu, ketika di zaman Orde Baru, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1991 yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1991, tentang “PENDIDIKAN LUAR BIASA”. Sebagai tindak lanjut UU 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pada saat itu, kejadian perkara politik masih aman terkendali. Gerakan politik masih masuk kategori “biasa”. Tetapi bentuk reaksi dari beberapa masyarakat, sipil maupun militer, ada yang masuk kategori “tidak seperti biasanya”. Kalau ada kasus yang “luar biasa” bisa dipastikan ulah orang dalam. Peran mereka sebagai penggerak utama, aktor intelektual, komponen dan unsur pokok dari  trio Golkar-Suharto-ABRI dengan rekayasa tertentu. Hanya pelakunya yang tahu luar dalam.

Pada saat itu, pendidikan politik belum dikenal, apalagi revolusi mental. Rasionalisasi jumlah parpol berjalan mulus, sejak tahun 1975. Sejarah Orde Baru waktu memang berakhir resmi pada tanggal 21 Mei 1998. Ditengarai dengan lengser keprabon presiden RI kedua, yang menyataken dirinya mundur daripada jabatan presiden. Panggung politik Nusantara berubah drastis. Tanpa komando, tanpa konsep ideologi yang terang-benderang, serta merta bermunculan partai politik. Bak jerawat di musim berahi. Terkhusus bersiap hadapi pemilu 1999.

Pada saat itu, banyak kejadian perkara yang ujung-ujungnya adalah dampak pergerakan partai politik. KKN yang semula tabu, dengan semangat otonomi daerah, persaingan antar kader parpol, menjadikan KKN marak dan berlaku sampai tingkat kelurahan/desa. Ironisnya, pelaku tipikor, bukan anak ingusan, bukan anak kemarin sore, buka anak bau bawang. Tercatat, ada yang ketua umum parpol, sekjen parpol, bendahara parpol. Tak terhitung wakil parpol yang merangkap jadi wakil rakyat, mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga pusat yang dipanggil KPK.

Pada saat itu, di PP 72/1991 tersurat frasa “tuna laras”, terdapat di :
§    Kelainan perilaku meliputi tuna laras. [Pasal 3, ayat (4)];
§    Dalam pengertian kelainan mental termasuk kelainan/gangguan sosial atau tuna laras. [Penjelasan Pasal 3, ayat (1)];
§    Tuna laras adalah gangguan atau hambatan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. [Penjelasan Pasal 3, ayat (4)].

Memang, pelaku tipikor bukan monopoli partai politik, aparat penegak hukum, penyelenggara negara saja. Sudah menjadi hak manusia Indonesia. Andai pelaku tipikor dari pelaku, pemain, pekerja politik dari sebuah partai politik, apapun jabatannya, apapun dalihnya (kebijakan partai dan/atau loyal kepada ketum partai), karena keberadaan mereka sudah disinyalir liwat PP 72/1991 yaitu penyandang tuna laras. Sederhana saja. Perlu PP tentang Pendidikan Politik Luar Biasa. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar