perilaku
koruptif dan tindak tuna laras kawanan parpolis Nusantara
Pada saat itu, ketika di zaman Orde Baru,
Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1991 yang
diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1991, tentang “PENDIDIKAN LUAR
BIASA”. Sebagai tindak lanjut UU 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada saat itu, kejadian perkara politik masih aman
terkendali. Gerakan politik masih masuk kategori “biasa”. Tetapi bentuk reaksi
dari beberapa masyarakat, sipil maupun militer, ada yang masuk kategori “tidak
seperti biasanya”. Kalau ada kasus yang “luar biasa” bisa dipastikan ulah orang
dalam. Peran mereka sebagai penggerak utama, aktor intelektual, komponen dan
unsur pokok dari trio Golkar-Suharto-ABRI
dengan rekayasa tertentu. Hanya pelakunya yang tahu luar dalam.
Pada saat itu, pendidikan politik belum dikenal,
apalagi revolusi mental. Rasionalisasi jumlah parpol berjalan mulus, sejak
tahun 1975. Sejarah Orde Baru waktu memang berakhir resmi pada tanggal 21 Mei
1998. Ditengarai dengan lengser keprabon
presiden RI kedua, yang menyataken dirinya mundur daripada jabatan presiden. Panggung
politik Nusantara berubah drastis. Tanpa komando, tanpa konsep ideologi yang
terang-benderang, serta merta bermunculan partai politik. Bak jerawat di musim
berahi. Terkhusus bersiap hadapi pemilu 1999.
Pada saat itu, banyak kejadian perkara yang
ujung-ujungnya adalah dampak pergerakan partai politik. KKN yang semula tabu,
dengan semangat otonomi daerah, persaingan antar kader parpol, menjadikan KKN
marak dan berlaku sampai tingkat kelurahan/desa. Ironisnya, pelaku tipikor,
bukan anak ingusan, bukan anak kemarin sore, buka anak bau bawang. Tercatat,
ada yang ketua umum parpol, sekjen parpol, bendahara parpol. Tak terhitung
wakil parpol yang merangkap jadi wakil rakyat, mulai dari tingkat kabupaten/kota,
provinsi hingga pusat yang dipanggil KPK.
Pada saat itu, di PP 72/1991 tersurat frasa “tuna laras”, terdapat di :
§
Kelainan perilaku meliputi tuna laras. [Pasal 3, ayat
(4)];
§
Dalam pengertian kelainan mental termasuk
kelainan/gangguan sosial atau tuna laras. [Penjelasan Pasal 3, ayat (1)];
§ Tuna laras adalah
gangguan atau hambatan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan
diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. [Penjelasan
Pasal 3, ayat (4)].
Memang, pelaku tipikor bukan monopoli partai
politik, aparat penegak hukum, penyelenggara negara saja. Sudah menjadi hak
manusia Indonesia. Andai pelaku tipikor dari pelaku, pemain, pekerja politik
dari sebuah partai politik, apapun jabatannya, apapun dalihnya (kebijakan
partai dan/atau loyal kepada ketum partai), karena keberadaan mereka sudah
disinyalir liwat PP 72/1991 yaitu penyandang tuna laras. Sederhana saja. Perlu
PP tentang Pendidikan
Politik Luar Biasa. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar