Halaman

Jumat, 10 Juni 2016

Indonesia negara berkembang sarat beban politik



Indonesia negara berkembang sarat beban politik

Sejarah mencatat, bahwa pada peringatan malam Isra Mi’raj, Rabu (4/5/2016) malam di Pondok Pesantren (Ponpes) Asrama Perguruan Islam (API) asuhan KH Yusuf Chudori atau Gus Yusuf di kecamatan Tegalrejo, kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jokowi meminta salah satu santri untuk menyebutkan tiga nama menteri dalam susunan Kabinet Kerja II.

"Ada 34 menteri dalam Kabinet Kerja II, coba sebutkan tiga saja, siapa yang bisa jawab, tunjuk tangan," pinta Jokowi.

Salah seorang santri dengan penuh percaya diri tunjuk tangan lalu maju ke podium mendekati Jokowi untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dengan lantang ia menjawab, "Tiga menteri, yaitu Ahok, ibu Megawati Soekarnoputri, dan Prabowo," kata santri yang mengaku berasal dari Pekalongan itu.
- - - - - - -
Berbekal penggalan peristiwa di atas, yang tidak perlu kita komentari apalagi dianalisa, dikaji maupun diveluasi. Memang, aroma irama dan syahwat politik Nusantara sejak awal Reformasi 21 Mei 1998, meluncur deras dari puncak. Antar reformis malah saling jegal dan saling jagal. Reformis yang tersisa malah jadi pecundang politik. Ambisi politiknya tidak kesampaian, tidak terwujud sesuai angan-angan, akal, nalar dan logika politiknya. Merasa dizalimi oleh lawan politiknya.

Dampak nyata pemain lama yang bernafsu maju di pesta demokrasi, menjadikan iklim demokrasi terkontaminasi secara sistematis. Polusi udara politik sudah tidak sehat dan menyehatkan bagi generasi penerus bangsa. Negara sudah dikapling-kapling sampai tingkat desa/kelurahan sebagai basis bercokolnya partai politik (parpol).

Kras demokrasi terbuka deras, memancar kesegala arah dan penjuru, asal meluncur. Acap terbentur, tidak menjadikan pelaku, pemain, pekerja politik sadar bahaya virus politik. Setiap pemenang pesta demokrasi, sudah mempunyai lagu wajib khusus, sudah mengatur aturan main sendiri, sudah siap dengan pasukan sendiri, sudah bergegas lanjut ke periode berikutnya.

Semua lapis, tingkatan, strata, kasta relawan dan tim sukses Jokowi-JK masuk kuadran pintar dan pintar-pintar. Yang bernasib baik bisa menjadi pembantu presiden. Sisanya menunggu durian runtuh. Atau saling menyodok, agar kursi goyah, dan siap menggantikan. Koalisi parpol pendukung pemerintah, secara moral politik memang pintar dan pintar-pintar. Tetapi, kata mbah dukun politik, yang baik, lebih baik bekerja dengan ikhlas, tanpa pamrih. Tidak mau dinodai warna politik, jika saat terpojok, lebih kejam daripada setan.

Berita media yang menjadikan menu politik sebagai sajian utama, membuktikan bangsa ini dinamis, hidup dan bersemangat serta selalu dalam keadaan siaga. Dalam dimensi politik tidak mengenal istilah baik dan benar. Bahkan yang halal dan haram, sesuai kamus politik bedanya sangat tipis. Tidak bisa diperdebatkan. Bahasa politik mendominasi bahasa kehidupan bermsyarakat, berbangsa dan bernegara. Bela negara, wawasan Nusantara, cinta tanah air dikemas menjadi “pejah gesang nderek parpol”. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar