Indonesia negara berkembang sarat beban politik
Sejarah mencatat, bahwa pada peringatan malam Isra Mi’raj,
Rabu (4/5/2016) malam di Pondok Pesantren (Ponpes) Asrama Perguruan Islam (API) asuhan
KH Yusuf Chudori atau Gus Yusuf di kecamatan Tegalrejo, kabupaten Magelang,
Jawa Tengah, Jokowi meminta salah satu santri untuk menyebutkan tiga nama
menteri dalam susunan Kabinet Kerja II.
"Ada 34 menteri dalam Kabinet Kerja II, coba
sebutkan tiga saja, siapa yang bisa jawab, tunjuk tangan," pinta Jokowi.
Salah seorang santri dengan penuh percaya diri tunjuk
tangan lalu maju ke podium mendekati Jokowi untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Dengan lantang ia menjawab, "Tiga menteri, yaitu Ahok, ibu Megawati
Soekarnoputri, dan Prabowo," kata santri yang mengaku berasal dari
Pekalongan itu.
- - - - - - -
Berbekal penggalan peristiwa di atas, yang tidak
perlu kita komentari apalagi dianalisa, dikaji maupun diveluasi. Memang, aroma
irama dan syahwat politik Nusantara sejak awal Reformasi 21 Mei 1998, meluncur
deras dari puncak. Antar reformis malah saling jegal dan saling jagal. Reformis
yang tersisa malah jadi pecundang politik. Ambisi politiknya tidak kesampaian,
tidak terwujud sesuai angan-angan, akal, nalar dan logika politiknya. Merasa
dizalimi oleh lawan politiknya.
Dampak nyata pemain lama yang bernafsu maju di
pesta demokrasi, menjadikan iklim demokrasi terkontaminasi secara sistematis.
Polusi udara politik sudah tidak sehat dan menyehatkan bagi generasi penerus
bangsa. Negara sudah dikapling-kapling sampai tingkat desa/kelurahan sebagai
basis bercokolnya partai politik (parpol).
Kras demokrasi terbuka deras, memancar kesegala
arah dan penjuru, asal meluncur. Acap terbentur, tidak menjadikan pelaku,
pemain, pekerja politik sadar bahaya virus politik. Setiap pemenang pesta
demokrasi, sudah mempunyai lagu wajib khusus, sudah mengatur aturan main
sendiri, sudah siap dengan pasukan sendiri, sudah bergegas lanjut ke periode
berikutnya.
Semua lapis, tingkatan, strata, kasta relawan dan
tim sukses Jokowi-JK masuk kuadran pintar dan pintar-pintar. Yang bernasib baik
bisa menjadi pembantu presiden. Sisanya menunggu durian runtuh. Atau saling
menyodok, agar kursi goyah, dan siap menggantikan. Koalisi parpol pendukung
pemerintah, secara moral politik memang pintar dan pintar-pintar. Tetapi, kata
mbah dukun politik, yang baik, lebih baik bekerja dengan ikhlas, tanpa pamrih.
Tidak mau dinodai warna politik, jika saat terpojok, lebih kejam daripada
setan.
Berita media yang menjadikan menu politik sebagai
sajian utama, membuktikan bangsa ini dinamis, hidup dan bersemangat serta
selalu dalam keadaan siaga. Dalam dimensi politik tidak mengenal istilah baik
dan benar. Bahkan yang halal dan haram, sesuai kamus politik bedanya sangat
tipis. Tidak bisa diperdebatkan. Bahasa politik mendominasi bahasa kehidupan
bermsyarakat, berbangsa dan bernegara. Bela negara, wawasan Nusantara, cinta
tanah air dikemas menjadi “pejah gesang
nderek parpol”. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar