cinta kampus
swasta tak selamanya bertepuk Pramuka
Pihak yang mendirikan perguruan tinggi swasta, terkadang
terkendala mencari nama yang tepat dan berdampak semangat. Nama yayasan bisa
langsung diabadikan secara otomatis. Memakai nama pahlawan, sudah banyak yang
pakai. Pahlawan lokal pun sudah terpakai. Jalan pintas, pakai nama lokasi
kampus. Memang ada lokasi yang familiar, mudah dicerna dan diingat telinga,
menjadi trade mark. Lokus kampus
di suatu kota/kabupaten, lebih dikenal karena lokasinya daripada nama
kampusnya.
Kampus pernah masuk kategori menara gading, sebagai tolok
ukur keresahan masyarakat terhadap gaya
pemimpin nasional.Melahirkan orang siap pakai, siap bekerja sebagai apa saja di
mana saja. Menjadi pelopor, perintis, pionir kemajuan bangsa yang dimulai dari
daerah yang tak terjangkau pembangunan. Jaket kampus menjadi kebanggaan
mahasiswa maupun alumnus.
Usia mahasiswa yang sudah berhak memiliki SIM, tak akan
lepas dari godaan gaya hidup, gaul dan gengsi remaja. Ada yang terkontaminasi
budaya asing yang serba bebas, tanpa daya tolak, seolah tak punya daya saring. Survei
tanpa survei, mensinyalir, namanya manusia, antara mahasiswa PTN dengan PTS,
bisa terjadi beda kualifikasi dan klasifikasi yang signifikan, terukur, dan
nyata. Atau kebalikannya, hanya beda tipis, beda sampul, beda warna.
Terjadilah kasus cinta tabrak lari. Mahasiswa di tempat
yang salah, dengan acara yang salah, berakibat yang seharusnya dengan kemampuan
intelektualnya bisa mengantisipasi, malah jadi korban kebodohan diri. Apa lacur
nasi sudah gosong. Kalau sekedar jadi bubur, bisa diolah dengan resep
tradisional. Pendidikan formal, pendidikan umum tidak diperkuat dengan
pendidikan agama bagi mahasiswa. Tidak masuk bilangan “ayam kampus”, justru
malah seolah tidak bisa jaga diri. Menjadi korban akibat pergaula bebas.
Ironis, jika “sang penyandang donor”, justru teman kuliah. Karena pendatang,
susah dilacak keberadaannya untuk dimintai pertanggungjawaban.
Namanya cinta, begitulah, berlaku untuk semua umat
manusia. Sesal dan kesal menjadi satu. Pihak yang mengusap dada, beristighfar,
jangan ketularan. Tidak ada yang mampu menepuk dada. Apalagi bertepuk tangan
tanda . . . .[HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar