Halaman

Selasa, 07 Juni 2016

cinta kampus swasta tak selamanya bertepuk Pramuka



cinta kampus swasta tak selamanya bertepuk Pramuka

Pihak yang mendirikan perguruan tinggi swasta, terkadang terkendala mencari nama yang tepat dan berdampak semangat. Nama yayasan bisa langsung diabadikan secara otomatis. Memakai nama pahlawan, sudah banyak yang pakai. Pahlawan lokal pun sudah terpakai. Jalan pintas, pakai nama lokasi kampus. Memang ada lokasi yang familiar, mudah dicerna dan diingat telinga, menjadi trade mark.  Lokus kampus  di suatu kota/kabupaten, lebih dikenal karena lokasinya daripada nama kampusnya.

Kampus pernah masuk kategori menara gading, sebagai tolok ukur keresahan  masyarakat terhadap gaya pemimpin nasional.Melahirkan orang siap pakai, siap bekerja sebagai apa saja di mana saja. Menjadi pelopor, perintis, pionir kemajuan bangsa yang dimulai dari daerah yang tak terjangkau pembangunan. Jaket kampus menjadi kebanggaan mahasiswa maupun alumnus.

Usia mahasiswa yang sudah berhak memiliki SIM, tak akan lepas dari godaan gaya hidup, gaul dan gengsi remaja. Ada yang terkontaminasi budaya asing yang serba bebas, tanpa daya tolak, seolah tak punya daya saring. Survei tanpa survei, mensinyalir, namanya manusia, antara mahasiswa PTN dengan PTS, bisa terjadi beda kualifikasi dan klasifikasi yang signifikan, terukur, dan nyata. Atau kebalikannya, hanya beda tipis, beda sampul, beda warna.

Terjadilah kasus cinta tabrak lari. Mahasiswa di tempat yang salah, dengan acara yang salah, berakibat yang seharusnya dengan kemampuan intelektualnya bisa mengantisipasi, malah jadi korban kebodohan diri. Apa lacur nasi sudah gosong. Kalau sekedar jadi bubur, bisa diolah dengan resep tradisional. Pendidikan formal, pendidikan umum tidak diperkuat dengan pendidikan agama bagi mahasiswa. Tidak masuk bilangan “ayam kampus”, justru malah seolah tidak bisa jaga diri. Menjadi korban akibat pergaula bebas. Ironis, jika “sang penyandang donor”, justru teman kuliah. Karena pendatang, susah dilacak keberadaannya untuk dimintai pertanggungjawaban.

Namanya cinta, begitulah, berlaku untuk semua umat manusia. Sesal dan kesal menjadi satu. Pihak yang mengusap dada, beristighfar, jangan ketularan. Tidak ada yang mampu menepuk dada. Apalagi bertepuk tangan tanda . . . .[HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar