efek domino revolusi mental, rasionalisasi PNS vs rasionalisasi fungsi
parpol
Pembaca yang budiman dengan nikmat budi pekerti yang benar dan baik.
Marilah kita luangkan waktu untuk membuka UU 2/2008 tentang Partai Politik,
fokus pada :
Pasal 11
(1)
Partai Politik
berfungsi sebagai sarana:
a.
pendidikan
politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia
yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara;
b.
penciptaan iklim
yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan
masyarakat;
c.
penyerap,
penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan
menetapkan kebijakan negara;
d.
partisipasi
politik warga negara Indonesia; dan
e.
rekrutmen
politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi
dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
(2)
Fungsi Partai
Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara konstitusional.
Kendati fungsi partai politik (parpol) disuratkan dalam pasal berikutnya,
tak urung frasa “diwujudkan
secara konstitusional” sudah
bisa terbaca kemana arah angin bertiup. Sebagai penentuk keterlaksanaan fungsi
parpol.
Singkat cerita, bagaimana sebuah parpol mempraktikkan fungsinya, saya
tayangkan :
Parpol Harus Jalankan
Lima Fungsi
Sabtu,
14 Mei 2016 08:29 WIB - http://mdn.biz.id/n/233815/ - Dibaca: 59 kali
MedanBisnis
- Padang. Akademisi Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat
(Sumbar), Prof Sri Zul Chairiyah mengemukakan partai politik (parpol)
di Tanah Air harus menjalankan lima fungsi utama. Menurutnya, hal ini agar
kehadiran parpol apat menjadi pilar
demokrasi yang membawa kebaikan bagi bangsa.
"Ada
lima fungsi yang harus dijalankan yaitu representasi, agregasi dan artikulasi
kepentingan, pendidikan, kaderisasi dan rekrutmen," ujarnya, di Padang,
Jumat (13/5).
Ia
menyampaikan hal itu pada orasi ilmiah dalam rangka dies natalis ke-23 Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Andalas (Unand), dengan tema
"Partai Politik dan Pemilu Sebuah Tinjauan Kritis di Indonesia".
Menurutnya,
pada masa orde baru selama 32 tahun lahir budaya antipartai politik yang cukup
kuat dalam masyarakat, sehingga menghambat perkembangan partai di Tanah Air.
Sri
menjelaskan fungsi agregasi dan artikulasi kepentingan yaitu menghimpun
kepentingan dan aspirasi di masyarakat untuk diperjuangkan melalui lembaga
legislatif.
Ia
menilai partai politik sering gagal menangkap aspirasi yang berkembang karena
elit partai punya kepentingan sendiri atau membuat penafsiran sendiri terhadap
kepentingan masyarakat. "Padahal kalau partai politik mampu menangkap
aspirasi yang berkembang akan mendapat dukungan saat pemilu," sebutnya.
Selanjutnya,
partai politik harus menjalankan fungsi pendidikan politik dengan memberikan
edukasi kepada anggota dan masyarakat tentang cara cara berdemokrasi yang baik serta
kesetiaan kepada negara.
Ia melihat
kendalanya adalah kuatnya budaya paternalistik sehingga masyarakat lebih
mengikuti apa yang sampaikan pemimpin. Berikutnya fungsi yang mesti dijalankan
adalah kaderisasi yang selama ini nyaris terabaikan ketika orde baru.
"Minimnya kaderisasi akan merugikan partai karena akan kekurangan sumber
daya penggerak partai," tambahnya.
Tidak
hanya itu, lanjut dia partai politik perlu menjalankan fungsi rekrutmen dengan
mencari anggota baru dan mengajak masyarakat berpartisipasi dalam proses
politik. Terakhir partai politik perlu menjalankan fungsi kontrol guna
memengaruhi keputusan pemerintah serta merumuskan aspirasi masyarakat dalam
bentuk proses pembuatan keputusan.
Ia
menambahkan seyogyanya partai politik mampu memberikan kontribusi sesuai dengan
lima fungsi tersebut, sehingga bangsa ini lebih demokratis dan maju.
Pengamat
politik Unand Asrinaldi menilai untuk memperkuat citra partai politik di
masyarakat dapat dilakukan dengan memperkuat eksistensi masyarakat kelas
menengah. "Masyarakat menengah yang terdiri atas kaum intelektual
perguruan tinggi, lembaga sosial masyarakat dan pers dapat menjadi media
penghubung antara masyarakat bawah dan elit pemerintahan," katanya.
Menurutnya,
beberapa citra politik yang buruk akibat buruknya kinerja partai politik dan
legislatif dapat diperbaiki dengan pendekatan yang kuat dari kelas menengah tersebut
kepada masyarakat bawah.
Sebagai
contoh semakin banyaknya LSM yang ada pada satu daerah, seharusnya dibarengi
dengan kinerja yang meningkat juga. "Artinya LSM tersebut mampu
menjembatani aspirasi masyarakat dan juga menjadi penghubung kepada elit
politik dan pemerintahan," paparnya. (ant)
Singkat kata, celakanya, di era megatega, megakasus, kawanan parpolis yang
sedang magang, kontrak politik pro-pemerintah Jokowi-JK, tanpa pikir panjang
melakukan gerakan politik dengan berbagai kebijakan berbasis bom waktu politik.
Menteri berniat melakukan rasionalisasi PNS melihat ijazahnya. JK berniat
memangkas jabatan eselon III dan eselon IV.
Artinya, kinerja pemerintah Jokowi-JK, apapun yang sedang dan akan terjadi, biang keroknya adalah kinerja PNS/ASN yang merupakan bagian sentral eksekutif. Pemerintah tak punya nyali mengotak-atik kinerja legislative dan yudikatif. Takut kuwalat dan kena tulah, kutukan politik.
Akankah anak bangsa dalam jumlah tertentu mendirikan parpol bak mendirikan
swalayan mini atau pasar tradisional di tingkat desa/kelurahan atau sebutan
lainnya.
Ingat semboyan “pejah gesang nderek
parpol” [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar