Halaman

Jumat, 10 Juni 2016

efek domino revolusi mental, rasionalisasi PNS vs rasionalisasi fungsi parpol



efek domino revolusi mental, rasionalisasi PNS vs rasionalisasi fungsi parpol
Pembaca yang budiman dengan nikmat budi pekerti yang benar dan baik. Marilah kita luangkan waktu untuk membuka UU 2/2008 tentang Partai Politik, fokus pada :
Pasal 11
(1)      Partai Politik berfungsi sebagai sarana:
a.    pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b.    penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
c.    penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d.    partisipasi politik warga negara Indonesia; dan
e.    rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
(2)      Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara konstitusional.

Kendati fungsi partai politik (parpol) disuratkan dalam pasal berikutnya, tak urung frasa “diwujudkan secara konstitusional” sudah bisa terbaca kemana arah angin bertiup. Sebagai penentuk keterlaksanaan fungsi parpol.

Singkat cerita, bagaimana sebuah parpol mempraktikkan fungsinya, saya tayangkan :

Parpol Harus Jalankan Lima Fungsi

Sabtu, 14 Mei 2016 08:29 WIB - http://mdn.biz.id/n/233815/ - Dibaca: 59 kali
MedanBisnis - Padang. Akademisi Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat (Sumbar), Prof Sri Zul Chairiyah mengemukakan partai politik (parpol) di Tanah Air harus menjalankan lima fungsi utama. Menurutnya, hal ini agar kehadiran parpol apat menjadi pilar demokrasi yang membawa kebaikan bagi bangsa.

"Ada lima fungsi yang harus dijalankan yaitu representasi, agregasi dan artikulasi kepentingan, pendidikan, kaderisasi dan rekrutmen," ujarnya, di Padang, Jumat (13/5).

Ia menyampaikan hal itu pada orasi ilmiah dalam rangka dies natalis ke-23 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Andalas (Unand), dengan tema "Partai Politik dan Pemilu Sebuah Tinjauan Kritis di Indonesia".

Menurutnya, pada masa orde baru selama 32 tahun lahir budaya antipartai politik yang cukup kuat dalam masyarakat, sehingga menghambat perkembangan partai di Tanah Air.

Sri menjelaskan fungsi agregasi dan artikulasi kepentingan yaitu menghimpun kepentingan dan aspirasi di masyarakat untuk diperjuangkan melalui lembaga legislatif.

Ia menilai partai politik sering gagal menangkap aspirasi yang berkembang karena elit partai punya kepentingan sendiri atau membuat penafsiran sendiri terhadap kepentingan masyarakat. "Padahal kalau partai politik mampu menangkap aspirasi yang berkembang akan mendapat dukungan saat pemilu," sebutnya.

Selanjutnya, partai politik harus menjalankan fungsi pendidikan politik dengan memberikan edukasi kepada anggota dan masyarakat tentang cara cara berdemokrasi yang baik serta kesetiaan kepada negara.

Ia melihat kendalanya adalah kuatnya budaya paternalistik sehingga masyarakat lebih mengikuti apa yang sampaikan pemimpin. Berikutnya fungsi yang mesti dijalankan adalah kaderisasi yang selama ini nyaris terabaikan ketika orde baru. "Minimnya kaderisasi akan merugikan partai karena akan kekurangan sumber daya penggerak partai," tambahnya.

Tidak hanya itu, lanjut dia partai politik perlu menjalankan fungsi rekrutmen dengan mencari anggota baru dan mengajak masyarakat berpartisipasi dalam proses politik. Terakhir partai politik perlu menjalankan fungsi kontrol guna memengaruhi keputusan pemerintah serta merumuskan aspirasi masyarakat dalam bentuk proses pembuatan keputusan.

Ia menambahkan seyogyanya partai politik mampu memberikan kontribusi sesuai dengan lima fungsi tersebut, sehingga bangsa ini lebih demokratis dan maju.

Pengamat politik Unand Asrinaldi menilai untuk memperkuat citra partai politik di masyarakat dapat dilakukan dengan memperkuat eksistensi masyarakat kelas menengah. "Masyarakat menengah yang terdiri atas kaum intelektual perguruan tinggi, lembaga sosial masyarakat dan pers dapat menjadi media penghubung antara masyarakat bawah dan elit pemerintahan," katanya.

Menurutnya, beberapa citra politik yang buruk akibat buruknya kinerja partai politik dan legislatif dapat diperbaiki dengan pendekatan yang kuat dari kelas menengah tersebut kepada masyarakat bawah.

Sebagai contoh semakin banyaknya LSM yang ada pada satu daerah, seharusnya dibarengi dengan kinerja yang meningkat juga. "Artinya LSM tersebut mampu menjembatani aspirasi masyarakat dan juga menjadi penghubung kepada elit politik dan pemerintahan," paparnya. (ant)

Singkat kata, celakanya, di era megatega, megakasus, kawanan parpolis yang sedang magang, kontrak politik pro-pemerintah Jokowi-JK, tanpa pikir panjang melakukan gerakan politik dengan berbagai kebijakan berbasis bom waktu politik. Menteri berniat melakukan rasionalisasi PNS melihat ijazahnya. JK berniat memangkas jabatan eselon III dan eselon IV.

Artinya, kinerja pemerintah Jokowi-JK, apapun yang sedang dan akan terjadi, biang keroknya adalah kinerja PNS/ASN yang merupakan bagian sentral eksekutif. Pemerintah tak punya nyali mengotak-atik kinerja legislative dan yudikatif. Takut kuwalat dan kena tulah, kutukan politik.

Akankah anak bangsa dalam jumlah tertentu mendirikan parpol bak mendirikan swalayan mini atau pasar tradisional di tingkat desa/kelurahan atau sebutan lainnya.

Ingat semboyan “pejah gesang nderek parpol” [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar