Halaman

Minggu, 31 Januari 2016

modus operandi dan perilaku menyimpang pelaku politik Nusantara

modus operandi dan perilaku menyimpang pelaku politik Nusantara

Lema di kamus politik Indonesia seolah tiap hari bertambah. Antar parpol tak mau kalah, saling berlomba menambah unsur politik. Lepas dari konotasi atau stigma yang memaknainya. Kawanan parpolis, mulai dari oknum ketua umum sampai strata, kasta, status terbawah, mempunyai andil sebagai penyumbang khazanah kata politik. Minimal mencari bentuk kata lainnya atau semakin memperkuatkan terjemahan bebasnya.

Media massa menjadi katalisator, betul-betul sebagai media cerdas menyampaikan, menayangkan secara intensif modus operandi dan perilaku pelaku politik. Agaknya, mendekati pasti dan nyata, demi kejar peringkat dan pesan sponsor, biasanya yang diberitakan, dikabarkan adalah berita/kabar sampah. Namun dikemas secara atraktif, provokatif dan spektakuler. Prestasi politik atau memang sudah kewajiban insan parpol, selalu luput dari uberan awak media.

Ironis, karakter media massa bak pisau bermata dua, karena melakukan dua peran yang kontradiktif sekaligus, yaitu menjilat sekaligus menghujat. Antara judul dengan isi, terkadang tidak nyambung, terkesan ditulis asal-asalan. Kejar jam tayang dan cetak.

Yang saya terakan di bawah ini bukan contoh, saya comot dan cuplik dari laman http://www.indonesiaberprestasi.top/ :
“Kaget Setengah Mati, Era Jokowi Militer Indonesia Tempati Posisi 12 Dunia...”
Indonesia Berprestasi, Top
. . . . . . . .
Situs ini bernama Global Fire Power (www.globalfirepower.com), dimana penilaian peringkat militer dinilai bukan hanya sekedar dari berapa banyak alutsista yang dimiliki, melainkan juga melalui penilaian cadangan energi, modernisasi, kesehatan ekonomi sebuah negara, kemampuan Naval (AL) yang mumpuni, dengan pengecualian terhadap situasi politik suatu negara yang tidak masuk kategori penilaian rating. 
. . . . . . . .
Dengan kata lain,  kekuatan politik dalam negeri suatu negara bukan tolok ukur atau gambaran sesungguhnya kekuatan negera tersebut.

Di Indonesia, lema kamus politik yang sedang naik daun, menjadi peringkat utama bahan pergunjingan, menjadi maskot media massa adalah mégatéga, mégakasus; tumpuan bodong, tumpuan abal-abal, tumpuan kw. Ingat lawak Srimulat, ketika ada pemain tiban, cuma diam. Saat dapat jatah ngomong, dikomentari yang lain : “Ngomong ora ngomong bayarané podo. Ngomong sepisan kliru. Wis ora lucu digeguyu déwé.”

Gonjang-ganjing politik yang dialami oleh parpol berpengalaman di zaman Orde Baru, semakin membuktikan bahwa yang berlaku adalah politik kekuasaan. Keberhasilan meraih cita-cita parpol diutamakan atau dibuktikan dengan mensejahterakan diri sendiri, baru kemudian di periode berikutnya memikirkan nasib rakyat. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar