modus operandi dan perilaku menyimpang
pelaku politik Nusantara
Lema di kamus politik Indonesia
seolah tiap hari bertambah. Antar parpol tak mau kalah, saling berlomba
menambah unsur politik. Lepas dari konotasi atau stigma yang memaknainya.
Kawanan parpolis, mulai dari oknum ketua umum sampai strata, kasta, status
terbawah, mempunyai andil sebagai penyumbang khazanah kata politik. Minimal
mencari bentuk kata lainnya atau semakin memperkuatkan terjemahan bebasnya.
Media massa menjadi katalisator,
betul-betul sebagai media cerdas menyampaikan, menayangkan secara intensif
modus operandi dan perilaku pelaku politik. Agaknya, mendekati pasti dan nyata,
demi kejar peringkat dan pesan sponsor, biasanya yang diberitakan, dikabarkan
adalah berita/kabar sampah. Namun dikemas secara atraktif, provokatif dan
spektakuler. Prestasi politik atau memang sudah kewajiban insan parpol, selalu
luput dari uberan awak media.
Ironis, karakter media massa
bak pisau bermata dua, karena melakukan dua peran yang kontradiktif sekaligus,
yaitu menjilat sekaligus menghujat. Antara judul dengan isi, terkadang tidak nyambung,
terkesan ditulis asal-asalan. Kejar jam tayang dan cetak.
Yang saya terakan di bawah
ini bukan contoh, saya comot dan cuplik dari laman http://www.indonesiaberprestasi.top/
:
“Kaget
Setengah Mati, Era Jokowi Militer Indonesia Tempati Posisi 12 Dunia...”
Indonesia Berprestasi,
Top
. . . .
. . . .
Situs
ini bernama Global Fire Power (www.globalfirepower.com), dimana
penilaian peringkat militer dinilai bukan hanya sekedar dari berapa banyak
alutsista yang dimiliki, melainkan juga melalui penilaian cadangan energi,
modernisasi, kesehatan ekonomi sebuah negara, kemampuan Naval (AL) yang
mumpuni, dengan pengecualian terhadap situasi politik suatu
negara yang tidak masuk kategori penilaian rating.
. . . .
. . . .
Dengan kata lain, kekuatan politik dalam negeri suatu negara
bukan tolok ukur atau gambaran sesungguhnya kekuatan negera tersebut.
Di Indonesia, lema kamus
politik yang sedang naik daun, menjadi peringkat utama bahan pergunjingan, menjadi
maskot media massa adalah mégatéga, mégakasus; tumpuan
bodong, tumpuan abal-abal, tumpuan kw. Ingat lawak Srimulat, ketika ada pemain
tiban, cuma diam. Saat dapat jatah ngomong, dikomentari yang lain : “Ngomong
ora ngomong bayarané
podo. Ngomong sepisan kliru. Wis ora lucu digeguyu déwé.”
Gonjang-ganjing politik yang
dialami oleh parpol berpengalaman di zaman Orde Baru, semakin membuktikan bahwa
yang berlaku adalah politik kekuasaan. Keberhasilan meraih cita-cita parpol
diutamakan atau dibuktikan dengan mensejahterakan diri sendiri, baru kemudian
di periode berikutnya memikirkan nasib rakyat. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar