Indonesia-ku, salah urus atau salah orang
Kita tidak tahu, apakah berita permasalahan di daerah, bersifat
sampel, asal comot, atau asal ada berita yang ditayangkan media massa. Apalagi
berita menyangkut perikehidupan akar rumput, masyarakat papan bawah, apakah
sebagai pelengkap berita. Kita juga tidak faham itikad di balik penayangulangan
suatu kejadian perkara, yang ada tersangkanya. Belum sampai meja hijau sudah
diadili oleh penguasa meja redaksi.
Kita tidak tahu, pergolakan diam-diam bak bara dalam sekam, sebagai
insiden kecil atau akumulasi kebosanan rakyat menonton perilaku penyelenggara
negara. Konflik antar penyelengara negara seolah menjadi kewajiban dalam
melaksanakan tugas dan fungsi setiap K/L/D/I. Seolah-olah setiap langkah urusan
pemerintah kalau tidak berbau kedaruratan tidak layak dijalankan. Ironisnya,
bencana kabut asap, bahkan sempat diekspor gratis ke negara tetangga, dianggap
sebagai salah urus administrasi.
Kita tidak tahu, di sisa periode megatega ini, pusaran badai dan
topan bencana politik semakin memuncak, memanas dan memakan korban siapa saja.
Beban politik bangsa menjadikan sibuk menjaga martabat dan harga diri
masing-masing. Loyal kepada partai menjadi tuntunan dan tuntutan wajib. Tidak
boleh dinego, apalagi diperdebatkan secara akademis. Yang tidak bisa, tidak
boleh diganggu gugat adalah kader jenggot, kader titopan, kader
karbitan/orbitan, kader keluarga.
Kita tidak tahu, program hemat enerji nasional yang dipraktikkan
oleh oknum kawanan parpolis Nusantara yang sedang dapat arisan maupun warisan
kursi penyelenggara negara, khususnya dikontrak di jajaran pembantu presiden,
yang menyebabkan kinerja, kiprah, kontribusi dibalas dengan perombakan. Atau
turun di jalan sebelum jatuh tempo, jauh sebelum sampai tujuan akhir. Bukan berari
Jokowi-JK salah pilah dan pilih orang. Atau dari sono-nya orang yang
disodorkan oleh parpol sudah bermasalah. Rekam jejak yang ditonjolkan karena
faktor loyalis, faktor penyandang dana, faktor keturunan.
[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar