sibuk dekap kursi, tercoreng citra diri di
depan mata
Posisi
dan sikap rakyat dalam menghadapi perjalanan politik bangsa dan negara,
khususnya politik praktis yang berkaitan dengan perjuangan kekuasaan, agaknya
hanya diposisikan sebagai penonton, pasif dan menerima apa adanya. Seolah sudah
puas dengan sikap menjaga jarak dan
tidak terlibat secara langsung, apa guna wakil rakyat, kalau ada. Sedangkan menyikapi politik kebangsaan, secara
individu, perorangan banyak rakyat yang bersikap pro-aktif sesuai dengan kodrat,
porsi dan kapasitasnya. Minimal melantunkan dan memanjatkan do’a. Agar bangsa
dan negara tidak semakin terpuruk akibat ulah petualang pelaku politik.
Skala
kemartabatan rakyat masih dalam domain maupun kuadran sadar hukum dan taat
hukum. Melaksanakan kewajiban bukan karena kontrak politik minimalis, praktis
dan semusim. Lebih merupakan perwujudan nyata sebagai insan bebas di muka bumi,
sebagai pengemban risalah alam di tempat singgah sementaranya. Rakyat tetap mendukung
eksistensi pemerintah, khususnya di tingkat dimana berada, berdomisili, bermukim,
bertempat tinggal, penghuni sebagai penduduk.
Komunitas
masyarakat yang terikat teritorial maupun profesi, dari hari ke hari, tanpa
batas periode, tetap menjalankan fitrahnya. Menjaga, memelihara dan membangun
peradaban berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Rakyat sigap bergerak tanpa
komando, kendali, kontrol apalagi restu politik, ketika terjadi berbagai
bencana. Sebagai bentuk nyata kepedulian, kepekaan dan daya tanggap sosial.
Bencana
di Indonesia sebagai dampak horizontal maupun dampak vertikal untuk semua
urusan. Khusus urusan horizontal, hubungan manusia dengan manusia lainnya,
hubungan manusia dengan alam, akan berdampak langsung. Selain ada perhitungan
dan pengadilan di akhirat.
Di era
megatega ini, peta politik lokal sampai nasional, masih akan diwarnai dampak
dari ulah petualang politik. Bebasan wong Jowo : “Gusti Allah ora saré”.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar