Akumulasi Perubahan Diri Sebagai Modal Kedaulatan Umat Islam
FENOMENA PERUBAHAN
Melakukan perubahan seperti yang tersurat dalam sebagian terjemahan [QS Ar
Ra’d (13) : 11] : “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu
kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri.", harus diartikan bersifat proaktif, jangan sampai
menunggu musibah baru bertindak.
Pasang surut kehidupan, kita bisa mengalami kondisi yang tak menentu, atau menjurus ke kemunduran yang tak
terasa. Perubahan yang dilakukan suatu kaum secara politis diterjemahkan
sebagai gerakan radikalisme, sporadis bahkan mengarah ke perbuatan anarkis.
Di Indonesia, perubahan diklaim
hanya bisa dilakukan liwat partai politik (parpol). Aspirasi umat Islam liwat
parpol maupun ormas Islam (NU atau Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah)
tidak bisa direalisasikan secara optimal.
Parpol
Islam terbelenggu aturan main parpol yang mengutamakan asas politik sebagai
panglima. Keberagaman parpol Islam menjadikan aspirasi umat Islam semakin tidak
tersalurkan. Urusan kebijakan pemerintah antar parpol Islam bisa berseberangan.
Ormas Islam menganut paham moderat,
dalam prakteknya terkait kebijakan pemerintah, khususnya Muhammadiyah bergaya
dualisme. Di satu sisi untuk berbuat perubahan harus menunggu komando
pemerintah, tidak proaktif, preventif maupun antisipatif (misal dalam mengikis radikalisme
dan terorisme bercorak agama), di sisi lain bersifat kontraproduktif atau menunggu kejadian baru berreaksi dan
beraksi (mengkritisi pemerintah yaitu merasa pembubaran BP Migas sebagai kado
milad Muhammadiyah).
Kedua ormas Islam yang mengandalkan
jumlah pengikutnya, atau langsung bersentuhan dengan masyarakat, untuk urusan
kedaulatan umat cenderung jalan sendiri
tanpa koordinasi, apalagi bersinergi.
FENOMENA KEDAULATAN UMAT
Penduduk Indonesia yang beragama Islam masuk kategori mayoritas. Bahkan
sebagai negara berpenduduk mayoritas umat Islam diperhitungkan dunia. Soal
ekonomi, politik, pendidikan dan sosial, umat Islam terkadang sebagai penonton.
Ironisnya, malah bisa sebagai budak di negeri sendiri. Urusan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat, eksistensi dan jati diri Islam berbaur dengan
sifat pluralisme.
Menghadapi musuh yang sama, sebut saja kemiskinan dan kebodohan, umat Islam
tidak dalam satu barisan. Kepentingan individu yang dibalut madu duniawi acap
menyebabkan umat Islam mengabaikan ukhuwah.
Kita berharap umat Islam Indonesia dalam masalah akidah/tauhid, masuk golongan Ahlussunnah
wal Jama’ah, yang dalam menjalankan agama selalu berpedoman kepada Al-Quran
dan sunnah Rasulullah SAW.
Secara individual umat Islam banyak yang berprestasi, yang berkibar, masuk
bursa, tataran dan skala internasional.
Kontribusi seolah tidak nampak, karena bak satu lidi. Gebrakannya hanya nampak
di awal, langsung reda. Publikasi lebih memihak pada “prestasi” yang bersifat
sensasional, atraktif dan meningkatkan peringkat dan sponsor media massa,
khususnya stasiun TV swasta.
Tantangan dan peluang umat Islam bak
susu setetes melawan nila sebelanga. Daya juang dan jalur yang ditempuh bisa
masuk ranah radikalisme, dipolitisir oleh pihak tertentu sebagai jihad individu
yang mengarah ke terorisme.
SAPU LIDI
Zaman Rasulullah SAW, dakwah Islam
membutukan pengorbanan jiwa raga. Memakai strategi dan sasaran yang jelas serta
keuletan yang total, seperti yang tersurat dalam sebagian terjemahan [QS Al
Baqarah (2) : 249] : "Berapa banyak terjadi golongan yang
sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah
beserta orang-orang yang sabar."
Di zaman sekarang, umat Islam dalam satu barisan yang kokoh, bukan sekedar
menghadapi kekuatan dunia, melawan golongan yang lebih banyak, secara fisik,
namun dalam segala aspek kehidupan. [HaeN] 5 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar