regenerasi tukang parkir di
BRI kota Tangsel
Kisah ini tak sengaja terjadi di depan mata. Karena
ruang tunggu di BRI kecamatan tempat tinggal saya, penuh. Bahkan untuk
berdiripun seolah tidak ada celah. Saya bersama nasabah lainnya berdiri di tempat
parkir depan BRI. Namanya R=rakyat, tak heran terdapat nyaris semua lapisan
masyarakat sebagai nasabah. Terlebih di tanggal muda. Berbagai ragam dan
karakter sosok rakyat tampil seadanya. Pakai sandal jepit, celana tanggung, di
ruangan ber-ac tetap pakai topi, bawa handuk di pundak. Yang datang berbusana rapi, biasanya pensiunan, biar dianggap berklas.
Belum pukul 08:00 motor sudah rapi berjajar di tempat
parkir. Pertanda tukang parkir bisa panen tiap hari. Bukan juru parkir resmi
pemkot, dimonopoli penduduk sekitar. Bahkan satu keluarga.
“Kalau bapaknya yang jaga, motor diatur, dirapikan”,
celetuk pengantri. Tanpa ada yang jawab, terus ngedumel : “Kalau
anaknya, tahunya nyuruh motor masuk, dan tunggu motor keluar terima uang
parkir.”
Memang, kalau dicermati, motor tidak terparkir rapi. Apalagi
pemotor klas rakyat maunya parkir di depan pintu BRI yang rukan. Kiri kanan BRI
untuk fungsi lain dan jelas halamannya juga sebagai tempat parkir.
Tukang parkir yang utama/asli jika berhalangan, sakit,
atau alasan lainnya, otomatis digantikan oleh anaknya. Ternyata beda orang,
walau anaknya, terasa beda profesionalisme. Beda bentuk pelayanan dan cara
menyambut pemotor serta cara memberlakukan motor yang diparkir. Menjadi tukang
parkir perlu ilmu, perlu tata krama, khususnya karena berurusan, bersinggungan,
bertatapan langsung dengan manusia. Tiap bulan tukang parkir bisa bertemu
nasabah yang sama.
Ternyata regenerasi suatu profesi, memerlukan syarat,
memerlukan SOP, tidak hanya syarat adminstrasi saja tentunya. Kasus tukang
parkir di BRI tadi, mungkin sang anak biasa magang di tempat kerja bapaknya. Tidak
otomatis mewarisi ilmu bapaknya. Di pihak lain, sang bapak punya cita-cita, tak
mau anaknya jadi penerus sebagai tukang parkir. Pendapatan tiap sore memang
bisa membuat dapur tetap berkepul. Maunya bisa melebihi bapaknya, orang tuanya.
Regenerasi ala tukang parkir, bisa terjadi dan memang
sering terjadi di panggung, syahwat dan industri politik Nusantara. Lebih
runyam, karena sampai ada oknum anak bangsa merasa negara sebagai warisan bapak
moyangnya. Kondisi ini yang menyebabkan Indonesia hanya berposisi di klas
tukang parkir saja. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar