Halaman

Sabtu, 02 Januari 2016

Akankah Umat Islam Bisa Disiplin Dan Tepat Waktu Hanya Saat Buka Puasa Ramadhan

Akankah Umat Islam Bisa Disiplin Dan Tepat Waktu Hanya Saat Buka Puasa Ramadhan



Perjalanan Waktu
Kehidupan memang fungsi waktu, secara sadar kita melakoninya sehari demi sehari, nyaris rutin, ritmis, linier dan tipikal. Apa yang kita kerjakan seolah mengulang kegiatan seperti kemarin, sejak bangun pagi sampai bangun pagi hari berikutnya. Kehidupan nampak didikte oleh waktu, seolah hidup hanya mengisi waktu.

Wajar, kita tidak menyadari kalau dengan  kegiatan rutin harian, selain bisa menumpuk dosa harian, bisa membuahkan amal harian yang masuk kategori amal unggulan. Amalan unggulan setelah melakukan amalan fardhu atau amalan wajib, berupa amalan sunnah (nafilah), yang dilakukan secara kontinyu, rutin, menerus, berkelanjutan berdasarkan iman, serta dilaksanakan berdasarkan pengetahuan. 

Firman, peringatan dan ketetapan Allah tentang waktu, bahkan bagaimana Allah memposisikan dan memuliakan waktu diabadikan di Al-Qur’an, dengan menyebutkan pandanan waktu di ayat pertama di beberapa surat, seperti : “Demi fajar,” Al Fajr (fajar), “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),” Al Lail (malam), “Demi bintang ketika terbenam.” An Najm (bintang), “Demi waktu matahari sepenggalahan naik,” Ad Dhuhaa (waktu matahari sepenggalan naik), dan “Demi masa”,  Al ’Ashr (masa).

Pada umumya manusia melihat waktu secara maknawi, belum pada tataran, tatanan hakekat. Waktu dibingkai dalam satuan sehari semalam ada 24 jam. Waktu sebagai pertanda, pembatas, peringatan, kapan waktu kerja, waktu istirahat, waktu makan. Alat tanda waktu berupa jam, arloji menjadi andalan utama untuk kegiatan harian.

Perjalanan dan pergantian waktu sebagai fungsi berbagai kesempatan. Waktu dikaitkan dengan pertambahan umur dan sisa perjalanan hidup di dunia.  Evaluasi dilakukan atas keberhasilan mewujudkan keinginan, meraih cita-cita, mendapatkan sasaran, menyelesaikan target, memperoleh harapan atau sesuatu yang terukur secara duniawi.

Perubahan waktu berdasarkan peredaran matahari, malam dan siang, terjadi terus-menerus,  konstan, dan kontinyu. Berjalan detik demi detik, seiring detak jantung dan denyut nadi kita. Waktu tak pernah mengingkari amanahnya, tak kenal mogok, tak mau diajak kompromi, tak mau ngebut, tidak bisa dinego.

Kehidupan manusia dibingkai dalam satuan waktu, bergerak dari waktu ke waktu. Modul waktu adalah siklus 24 jam, atau sesuai waktu tempuh perputaran bumi terhadap matahari. Kehidupan religi dan duniawi mulai  azan subuh sampai azan subuh berikutnya. Semua dilaksanakan nyaris tipikal, hari demi hari.

Perilaku Islami
Kebesaran umat Islam di Indonesia hanya ditandai banyaknya jumlah penduduk yang memeluk, menganut, beragama Islam. Tidak ada yang merisaukan bahwa kemungkinan besar terjadi penurunan persentase, dari tahun ke tahun. Kiprah, kontribusi, kinerja umat Islam hanya diukur berdasarkan daya juang dan ruang juang partai politik, organisasi kemasyarakatan atau wadah kegiatan lainnya. Penyelenggara negara yang berkopiah hitam, dikira beragama Islam. Padahal kopiah hitam, ciri bangsa Indonesia, bagian dari busana jas lengkap.

Bangsa Indonesia yang multietinis, multikultur serta multiSARA yang secara adat, budaya lokal, budipekerti berbasis tata krama, sopan santun, menjadikan ada umat, komunitas atau suku yang berperilaku islami, tetapi tidak beragama Islam. Bagaimana ada kaum ibu yang bangun pagi karena rasa bakti ke keluarga. Bagaimana adab bertetangga sampai memberlakukan alam dengan arif dan bijak. Walau banyak yang tergerus kemajuan dan perdaban zaman. Anak melawan orang tua, serta kebalikannya orang tua mentelantarkan anak, bahkan membuang bayi yang baru dilahirkannya. Mungkin masih kasus, tetapi menjadi fenomena.

Singkat kata, pihak lain, dunia barat atau kekuatan tertentu lainnya, melihat kualitas umat Islam pada keistiqomahannya. Minimal kokoh dalam aqidah dan konsisten dalam beribadah. Sikap istiqomah bersifat individu, namun jika rata-rata umat Islam mampu mewujudkan, terjadi sinerji di luar akal manusia. Bayangkan, jika terjadi antrian mau sholat fardhu di masjid, seperti orang antri mau naik haji. Waktu tunggu yang tidak bisa diprediksi dan diantisipasi.

Ironis, kehidupan umat Islam dalam kesehariannya, terkadang, kadangkala, bahkan sering, acap, terbiasa tidak masuk kategori islami. Mulai dari hal yang nampak sepele, remeh-temeh sampai dengan waktu berurusan dengan Allah. Sholat di awal waktu, masih ditawar atau mencari keringanan, mencari dispensasi atau mencari pembenaran diri. Masih ada pembuktian dan harapan, ternyata umat Islam bisa disipilin dan tepat waktu saat buka puasa. Menit-menit jelang kumandang azan manghrib, sudah siap di meja makan. Minimal sudah menyiapkan berbagai menu buka puasa, dari yang ringan sampai yang cepat meringankan tubuh.  [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar