gerakan
radikalisasi dan alibi psikologis politis
Dosa politik tak tersentuh dan bebas dari sanksi maupun
tuntutan pasal hukum, tidak bisa dipidanakan, sebagai harga mati. Tidak ada
hubungannya dengan kebijakan yang (juga) tidak bisa dipidanakan. Apa gunanya
ada langkah yudicial review terhadap UU dan tentunya produk hukum yang
mengikutinya. Apalagi ada dalih untuk kepentingan umum, rakyat, bangsa dan
negara.
Penyelenggara negara dari hasil pesta demokrasi lima tahunan
tak lepas dari alat dan aturan main politik penguasa. Megakasus “papa minta
saham” yang hanya menyebabkab oknum Ketua DPR, sebut saja Setya Novanto, hanya
mundur dari jabatan ketua, bukan gugur sebagai wakil rakyat. Fakta ini semakin
membuktikan betapa saktinya sebuah peradaban yang mengutamakan politik
Nusantara.
Kendaraan politik bisa menjadikan pengemudinya terutama
pemilik tunggalnya naik takhta menjadi kepala negara. Karena yang diperebutkan
hanya satu, tak ada istilah antri arisan. Indonesia tidak mengenal kamus
oposisi, apakah oposisi setengah hati, oposisi baci, oposisi kawe, seperti kita
saksikan di dua periode SBY. Manuver politik, gerilya politik, sabotase politik
menjadi resep dan menu barisan sakit hati. Sudah menjilat tetap tidak kebagian
kursi, sudah menghamba pulang tangan kosong, sudah habis-bahisan berakhir
dengan pailit, bangkrut.
Jika semboyan revolusi mental yaitu antri agar semua
kebagian, tidak berlaku di panggung, industri, syahwat poolitik Nusantara.
Saling salib, saling libas, saling jegal dan jagal menjadi aturan tak tertulis
yang sah dan dibenarkan, minimal sesuai nalar politik.
Jangan
lupa, produk unggulan politik adalah menjadi penguasa. Produk sampingan, produk
buangan, produk apkiran dikemas secara legal, formal, sesuai pasal menjadi
gerakan yang mengimbangi jalannya produk unggulan. Ada presiden siang hari, ada
presiden malam hari. Ada presiden di istana, ada presiden di kandang banteng. Itulah
Indonesia-ku. Indonesia-mu mana? [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar