Halaman

Minggu, 17 Januari 2016

Gafatar dan tindak antisipasi kecolongan dari dalam

Gafatar dan tindak antisipasi kecolongan dari dalam

 Secara historis, umat Islam hanya akan bersatu saat menghadapi musuh, lawan, seteru yang sama. Pernah diriwayatkan, bagai dua serigala lapar yang berkelahi. Begitu harimau mendekat mau menyantap mereka, dua serigala berhenti konflik, tanpa komando bersatu siap hadapi sang raja hutan. Jadi kekuatan sekaligus kelemahan umat Islam pada aspek ukhuwah.

Di era mégatéga ini, walau musuh bersama atau berbagai tindakan provokasi, pemurtadan, Islamophobia di depan mata, umat Islam tetap adem ayem. Sikap sabar dalam hal menunggu. Menunggu waktu dan kesempatan untuk berbalas pantun. Setelah kebakaran, baru bereaksi. Menunggu banyak, baru bertindak. Setelah kecolongan, baru ribut rapatkan barisan. Setelah kebobolan, baru sadar akan lengah diri. Jika ada pihak yang berani bereaksi dan bertindak, malah saling menyalahkan. Adu argumen.

Karena hukum negara menjadikan umat Islam segan dan enggan bereaksi maupun bertindak. Bisa serba salah. Maksud hati ingin berbuat baik, bisa-bisa bisa melanggar pasal hukum, sehingga terkadap berikap ambil amannya saja.

Tidak salah, jika umat Islam bangga dengan atribut, asesoris busana kebesaran organisasi, sejarah masa lampau dan jargonnya. Menghadapi masalah bangsa, negara dan masyarakat lebih mengedepankan selera dan ambisi organisasi. Bahkan untuk menegakkan pasal dalam hukum Allah, mendadak banyak pihak menjadi ahli berdebat, cakap berdalih, mahir berargumentasi, andal berbaku mulut. Mendewakan akal dan nalar, penetapan awal Ramadhan, awal Syawal menjadi ajang pamer derajat keislaman, ajar pamer kefasihan beragama. Ujung-ujungnya malah semakin jauh dari semangat ukhuwah, semangat mewujudkan kemashlahatan umat, karena mengutamakan urusan dunia. Tak kurang, antar umat Islam saling mengkafirkan, saling mengkambinghitamkan. Bukan berarti umat Islam mudah dan gampang diadu domba.

Perjuangan agama Islam memang tidak bisa begitu saja diserahkan ke mekanisme pasar, ke pundak Pemerintah yang harus dan wajib berdiri di atas semua SARA. Mengandalkan organisasi kemasyarakatan – celakanya, Gerakan Fajar Nusantara (gafatar) adalah ormas resmi sejak 2012 yang memilik 34 DPD – berharap pada kontribusi, kiprah dan kinerja partai politik berlabel Islam, atau percaya pada daya uang MUI, atau menyerahkan urusan kemasyarakatan kepada FPI, sebagai hal yang justru menjadi batu sandungan, atau bahkan akan menjadi bumerang, senjata makan tuan. Bukan salah bunda mengandung, jika ormas Islam gemar, hobi, minat pada politik kekuasaan. Bukan pada politik kebangsaan, apalagi politik religi.

Seolah umat Islam Indonesia tidak belajar dari sejarah, justru “musuh bersama” adalah kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Adanya gerakan nyata berbasis memputarbalikkan, mencampuradukkan, merekayasa, memodusoperandikan esensi ayat Al-Qur’an dan sunah Rasul dengan bahasa sederhana, simple, masuk akal sehingga mudah dicerna telinga awam. Bahkan mampu merasuki jiwa anak bangsa yang menguasai bahkan surplus  ilmu formal, namun defisit ilmu agama.

Rumah tangga dan keluarga sebagai sekolah sekaligus madrasah pertama dan utama untuk mengajarkan ilmu kepada anak. Menjadi dasar dan pondasi utama, sebagai media didik untuk memberikan landasan religi bagi anak sebelum mengikuti jenjang pendidikan formal.

Dari segi lingkungan tempat tinggal di perumahan, peran masjid yang multifungsi dan multiguna dalam penyebaran agama Islam sekaligus sebagai daya pencegah tangkal gerakan maupun tindakan yang ingin menggerogoti, merobohkan, dan meninabobokan Islam dari dalam.

Akhir kata, muncul,  marak, merebak dan mewabahnya gerakan yang dikategorikan provokasi, pemurtadan, Islamophobia, bukanlah bujuk rayu dan tipu daya setan. Bukanlah bisik, hasut dan ajakan setan. Justru sebagai modus operandi dan rekayasa murni manusia, tentunya yang jiwa, hati nuraninya sudah dirasuki setan.

Adam dan Hawa menjadi korban pertama bujuk rayu dan tipu daya setan, sehingga menjadi penghuni dunia sampai hayat, menanti hingga hari akhir atau kiamat. Kejadian ini dijelaskan mengacu terjemahan [QS Al A'raaf (7) : 24] :Allah berfirman: "Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan." Lihat juga [QS Al Baqarah (2) : 36]. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar