Halaman

Minggu, 10 Januari 2016

dikotomi revolusi mental, politik fantasi vs fantasi politik

dikotomi revolusi mental, politik fantasi vs fantasi politik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus versi online/ daring (dalam jaringan) :


fantasi/fan·ta·si/ n 1 gambar (bayangan) dalam angan-angan; khayalan: cerita itu berdasarkan -- , bukan kejadian yang sebenarnya; 2 daya untuk menciptakan sesuatu dalam angan-angan: pengarang harus kuat -- nya; 3 hiasan tiruan: gaun itu diberi kancing dan saku --;
-- biologis bayangan secara biologi: karena -- biologis itu, keinginan untuk melakukan eksplorasi terhadap wilayah yang masih menyimpan misteri ilmu pengetahuan tersebut makin meningkat;

berfantasi
/ber·fan·ta·si/ v berangan-angan; berkhayal: anak-anak hendaknya dilatih agar pandai ~ dengan memberi mereka buku-buku bacaan yang dapat menunjang pengembangan daya khayal mereka;

memfantasikan
/mem·fan·ta·si·kan/ v mengangan-angankan; mengkhayalkan

Padahal syarat utama, pertama, dominan untuk menjadi pelaku politik adalah daya fantasinya. Ibarat burung dalam sangkar yang tinggi, seperti dalam sumur, terbang berputar membubung tinggi.

Rekam jejak kawanan parpolis, politisi kambuhan, karbitan/orbitan, kader jenggot, warisan politik yang pernah mendapat jatah kursi sebagai penyelenggara negara, malah semakin hidup di angan-angan politiknya. Pakai modal merasa bisa tampil di depan, mengatur lalu lintas negara.

Tiga ajaran kepemimpinan yang diwariskan Ki “Taman Siswa” Hajar Dewantara pun tak ketinggalan juga ikut difantasikan.
1.            Ajaran pertama yang berbunyi ing ngarso sung tulodo diubah menjadi ing ngarso aji mumpung, mumpung aji kuoso.
2.            Yang kedua berbunyi ing madyo mangun karso digubah menjadi ing madyo numpuk bondo.
3.            Terakhir atau  yang ketiga berbunyi tut wuri handayani mengalami proses revolusi mental menjadi tut wuri ngoyak donyo dibelani tekan mati.

Hebatnya, fantasi politik vs politik fantasi tidak mengenal perbedaan jenis kelamin. Bahkan kaum hawa pandai mendadak alim ketika alih status menjadi tersangka tipikor. Merasa dizalimi oleh pihak tetangga jika niat tulusnya jadi presiden lagi tidak terwujud. Sampai jual tangis pengharu-rasa disetiap kesempatan cuap kata. Memamerkan jasa bapak moyangnya.

Kini, diperiode megatega ini masih terjadi saling lomba mewujudkan fantasi politik vs politik fantasi. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar