Halaman

Senin, 18 Januari 2016

Pasca SBY, Memasuki Tahap Rezim Parpolis

Pasca SBY, Memasuki Tahap Rezim Parpolis


Panggung Politik     
Ruang gerak orang partai tidak sekedar ikut dalam urusan negara, merambah sampai urusan masyarakat, bahkan urusan dapur keluarga. Orang partai yang praktek sebagai wakil rakyat mampu melahirkan kebijakan hukum yang berdampak pada harga tempe, garam, bawang putih. Kelebihan waktu para wakil rakyat hanya sebagai penonoton atas segala kejadian berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Sebagai wakil rakyat / kepala daerah baru tergerak hatinya (dengan saran sumbang suara, tak berani tampil tapi bisa bayar media massa komentarnya muncul di running text, atau melakukan sidak), semua upaya dilakukan jika urusan terkait aliran dana atau nama baik sebagai modal ikut pilkada / pemilu.

Dominasi daya tarik panggung politik pada kehidupan duniawi atau gaya hidup hedonisme. Zaman pra-Proklamasi, politikus saat itu berani hidup menderita, keluar masuk penjara, bahkan berjibaku melawan penjajah dan kekuatan asing agar bangsanya merdeka. Di era Reformasi, karir politik kawanan parpolis, mulai sebagai kader kutu loncat sampai mendirikan parpol sendiri (sempalan dari Golkar sampai parpol baru).

Adegan orang parpol di periode 1999-2004 memilih/mengangkat presiden sekaligus menjatuhkannya. Muncul semboyan : “sesama kawanan parpolis dilarang saling menjegal dan menjagal”. Koalisi parpol penyelenggara negara 2009-2014 menyalahi kodrat negara berbasis Bhineka Tunggal Ika. Ironis, prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) sehingga bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances hanya ada di buku pelajaran.

Sinyalemen SBY
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan sambutan dalam buka bersama dengan forum koordinasi pimpinan daerah, alim ulama dan tokoh masyarakat di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Kamis 1-8-2013. SBY mengatakan demokrasi di Indonesia menghadapi tiga tantangan yang membutuhkan optimisme sehingga dapat mewujudkan bangsa yang sejahtera, adil, dan maju (sumber www.antaranews.com).

Tantangan pertama, demokrasi atau politik Indonesia baru menuju ke tingkat kematangannya. Belum matang sebenarnya sehingga wajar kalau masih ada konflik, pertentangan, dan sebagainya.

Tantangan kedua, demokrasi yang multi partai yang rentan dengan instabilitas. Dulu pada masa Presiden Soeharto, partai hanya tiga. Sekarang banyak sekali. Banyak parpol, banyak kepentingan, banyak dinamika. Pasti di sana-sini timbul ketegangan instabilitas.

Tantangan ketiga, demokrasi multi budaya sebagai implikasi masyarakat Indonesia yang majemuk dengan berbagai suku, ras, dan agama. Untuk itu, dalam masyarakat majemuk harus dipupuk dan dikembangakan sikap saling menghormati, menghargai, toleransi dan saling mengasihi.

Presiden optimis, bila tiga hal tersebut dapat dikelola dan diantisipasi, pada 32 tahun atau satu abad  (1945-2045) Indonesia dapat menjadi negara maju yang adil dan sejahtera. Sinyalemen SBY presiden dua periode 2004-2009 dan 2009-2014 merupakan evaluasi dan peringatan dini untuk menghadapi 2014-2019.  

Sejarah
Parpol peninggalan Proklamator, Bung Karno, telah berubah menjadi usaha keluarga dan hanya melahirkan orang parpol, jauh dari kategori dan kriteria negarawan. Orang parpol di tingkat kabupaten/kota sudah menggurita, menjadi usaha dan dinasti keluarga. Daya juang orang parpol memang ada yang berakhir di penjara, bukan sebagai konsekuensi dari memperjuangkan nasib rakyat untuk mencapai derajat kesejahteraan, tetapi karena dampak mensejahterakan diri sendiri melalui tindak pidana korupsi.

Daur ulang parpol ala Orba, parpol diformat dan dikemas sebagai pabrik dengan platform menghalalkan segala cara untuk mewujudkan ambisi. Bisa terjadi untuk menjadi TKI harus orang parpol [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar