Pasca SBY, Memasuki Tahap Rezim Parpolis
Panggung
Politik
Ruang
gerak orang partai tidak sekedar ikut dalam urusan negara, merambah sampai
urusan masyarakat, bahkan urusan dapur keluarga. Orang partai yang praktek
sebagai wakil rakyat mampu melahirkan kebijakan hukum yang berdampak pada harga
tempe, garam, bawang putih. Kelebihan waktu para wakil rakyat hanya sebagai
penonoton atas segala kejadian berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Sebagai
wakil rakyat / kepala daerah baru tergerak hatinya (dengan saran sumbang suara,
tak berani tampil tapi bisa bayar media massa komentarnya muncul di running
text, atau melakukan sidak), semua upaya dilakukan jika urusan terkait aliran
dana atau nama baik sebagai modal ikut pilkada / pemilu.
Dominasi
daya tarik panggung politik pada kehidupan duniawi atau gaya hidup hedonisme. Zaman
pra-Proklamasi, politikus saat itu berani hidup menderita, keluar masuk
penjara, bahkan berjibaku melawan penjajah dan kekuatan asing agar bangsanya merdeka. Di era Reformasi, karir
politik kawanan parpolis, mulai sebagai kader kutu loncat sampai mendirikan
parpol sendiri (sempalan dari Golkar sampai parpol baru).
Adegan orang parpol
di periode 1999-2004 memilih/mengangkat presiden sekaligus menjatuhkannya.
Muncul semboyan : “sesama kawanan parpolis dilarang saling menjegal dan
menjagal”. Koalisi parpol penyelenggara negara 2009-2014 menyalahi kodrat
negara berbasis Bhineka Tunggal Ika. Ironis, prinsip
trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif,
yudikatif dan legislatif) sehingga bisa saling mengawasi dan saling mengontrol
berdasarkan prinsip checks and balances hanya ada di buku pelajaran.
Sinyalemen SBY
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan
sambutan dalam buka bersama dengan forum koordinasi pimpinan daerah, alim ulama
dan tokoh masyarakat di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Kamis
1-8-2013. SBY mengatakan demokrasi di Indonesia menghadapi tiga tantangan yang
membutuhkan optimisme sehingga dapat mewujudkan bangsa yang sejahtera, adil,
dan maju (sumber www.antaranews.com).
Tantangan
pertama, demokrasi atau politik Indonesia baru menuju ke tingkat kematangannya.
Belum matang sebenarnya sehingga wajar kalau masih ada konflik, pertentangan,
dan sebagainya.
Tantangan
kedua, demokrasi yang multi partai yang rentan dengan instabilitas. Dulu pada
masa Presiden Soeharto, partai hanya tiga. Sekarang banyak sekali. Banyak
parpol, banyak kepentingan, banyak dinamika. Pasti di sana-sini timbul ketegangan
instabilitas.
Tantangan
ketiga, demokrasi multi budaya sebagai implikasi masyarakat Indonesia yang
majemuk dengan berbagai suku, ras, dan agama. Untuk itu, dalam masyarakat
majemuk harus dipupuk dan dikembangakan sikap saling menghormati, menghargai,
toleransi dan saling mengasihi.
Presiden optimis,
bila tiga hal tersebut dapat dikelola dan diantisipasi, pada 32 tahun atau satu
abad (1945-2045) Indonesia dapat menjadi
negara maju yang adil dan sejahtera. Sinyalemen SBY presiden dua periode
2004-2009 dan 2009-2014 merupakan evaluasi dan peringatan dini untuk menghadapi
2014-2019.
Sejarah
Parpol
peninggalan Proklamator, Bung Karno, telah berubah menjadi usaha keluarga dan
hanya melahirkan orang parpol, jauh dari kategori dan kriteria negarawan. Orang
parpol di tingkat kabupaten/kota sudah menggurita, menjadi usaha dan dinasti keluarga.
Daya juang orang parpol memang ada yang berakhir di penjara, bukan sebagai
konsekuensi dari memperjuangkan nasib rakyat untuk mencapai derajat kesejahteraan,
tetapi karena dampak mensejahterakan diri sendiri melalui tindak pidana
korupsi.
Daur ulang parpol ala Orba, parpol diformat dan
dikemas sebagai pabrik dengan platform menghalalkan segala cara untuk
mewujudkan ambisi. Bisa terjadi untuk menjadi TKI harus orang parpol [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar