Stop! skenario konspirasi politik menghinakan diri sendiri
Bukanlah kebetulan jika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memaparkan fakta
bahwa kualitas program acara televisi
saat ini (Antara, 2015) masih di bawah standar berkualitas. Itu bisa dilihat
dari hasil survei indeks kualitas program acara secara keseluruhan, yaitu hanya
3,25. Indeks standar minimal untuk program berkualitas yakni 4,0. Sembilan
jenis program acara yang dinilai oleh para responden, KPI menyoroti tiga
program siaran dengan nilai indeks jauh di bawah standar KPI, yaitu program infotainment, sinetron, dan variety show.
Nilai indeks untuk setiap kategori, di antaranya kategori infotainment
(2,34), sinetron/film/FTV (2,51), variety show (2,68), komedi (3,03), anak
(3,13), berita (3,58), talkshow (3,78), wisata/budaya (4,09), dan religi
(4,10). Sayangnya, tiga kategori program yang mendapat indeks kualitas rendah
justru berada di waktu-waktu utama (prime time). Padahal, KPI ingin
program acara televisi bisa mengedukasi masyarakat agar semakin cerdas dan
berkarakter.
Akankah, apakah, ataukah . . . . (mencuplik kata tanya favorit pembawa
acara TV swasta) media cetak tidak mengalami nasib yang sama. Artinya adakah judul
yang membodohi pembaca, menganggap pembaca kurang terdidik, atau justru memamerkan
kebodohan.
Acap media cetak memajang judul yang atraktif (niatnya), spektakuler
sekaligus provokatif. Terkadang dengan isinya tidak nyambung. Tidak
sesuai kaidah atau kode etik jurnalistik. Tidak sesuai aturan main bagaimana
cara menulis berita dengan benar dan baik.
Bisa terjadi, dan memang sering terjadi ternyata ada semacam infotainment, sinetron, dan variety show versi media cetak. Saya sebagai pelanggan surat kabar Republika dan
terkadang buka lamannya, sesekali terpampang judul yang memamerkan aib, bukan
aib orang, tapi aib politik.
Misal, satu contoh judul saja, nantinya akankah menjadi renungan bersama,
yaitu :
Romy Sarankan PAN Sowan ke Mega
Rabu, 30 Desember 2015, 13:00 WIB
REPUBLIKA.CO.IDRomy
Sarankan PAN Sowan ke Mega
- - - - - -
Akankah di Indonesia terjadi konspirasi politik, yang biasanya terjadi di
negara maju apalagi di Amerika Serikat yang kental, kaya dengan berbagai
aliran, versi konspirasi politik klas dunia.
Apakah konspirasi politik Nusantara merupakan perwujudan nyata politik
kekuasaan dalam pasal tak tertulis tentang bagi hasil balas jasa/balas budi vs
balas dendam, dengan asas tahu sama tahu, sama rasa sama rata. Kesepakatan
hanya sesaat, saat elite parpol bersalaman, foto bareng, nampak akur, akrab,
aman, adem ayem. Setelah itu berlaku semboyan “Lu, lu.
Gué, gué”.
Ataukah konspirasi politik pe-revolusi mental atau drama politik di éra mégatéga ini didominasi oleh tingkah-ulah,
tindak-tanduk Koalisi Partai Pendukung Pemerintah (KP3) yang memakai bahasa
dewa. Bukan bahasa rakyat. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar