Halaman

Kamis, 14 Januari 2016

panjang tangan tertangkap tangan vs menjadi koruptor malah bangga

panjang tangan tertangkap tangan vs menjadi koruptor malah bangga

Berkat modus operandi daya juang merekayasa kejadian perkara, semangat uber sensasi sekaligus jiwa dan naluri bisnis kejar peringkat yang menjadi lagu wajib, buku suci, primbon, pegangan hidup para awak media massa, maka akhirnya oknum anak bangsa yang menjadi tersangka koruptor malah bangga menjadi tersohor. Walau terkena operasi tangkap tangan KPK, serta merta menjadi bintang tamu berbagai ramuan acara, rakitan atraksi maupun penggalangan adegan, walhasil bak selebritis.

Bagi oknum anak bangsa tertentu, pers menjadi sahabat penentu nasib. Media mampu mendongkrak, mengkatrol, menggelembungkan, mengembangkan popularitas, citra diri, nilai jual seseorang secara instan, sistematis, terukur dan berbayar.

Ironis, bahkan ketika KPK diposisikan sejajar dengan teroris oleh Polisi, yang menghasilkan episode Buaya vs Cicak. Pimpinan KPK dikriminlaisasi oleh Polri menjadi bukti bahwa tipikor tidak masuk ranah hukum.

Tersangka korupsi, didominasi oleh kawanan parpolis, bukan aib bagi pelakunya. Terlebih jika tersangka adalah pejabat elit, petinggi parpol, loyalis parpol, bisa-bisa bisa menjadi pahlawan bagi parpol ybs.

Karena dosa politik tidak bisa dipidanakan. Jangan diartikan pimpinan KPK yang mengalami proses terakhir uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR RI 2014-2019, akan menjadi karapan terakhir bagi tersangka tipikor.

Di atas kertas, pelaku politik yang terjerat pasal korupsi, di era megatega ini, akan aman-aman saja, aka baik-baik saja. Semua sudah ditentukan dan diatur sesuai pasalnya.

Bagi si tangan panjang yang tertangkap tangan, tertangkap basah ketika beraksi, dengan dalih apapun - apakah karena desakan kebutuhan perut, tuntutan ekonomi sehari, kebutuhan anak sekolah - tetap menjadi bulan-bulanan. Oleh siapa saja. Mendadak hukum  menjadi ada dan digdaya. [Haen]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar