panjang tangan tertangkap tangan vs menjadi koruptor malah bangga
Berkat modus operandi daya juang merekayasa kejadian
perkara, semangat uber sensasi sekaligus jiwa dan naluri bisnis kejar peringkat
yang menjadi lagu wajib, buku suci, primbon, pegangan hidup para awak media
massa, maka akhirnya oknum anak bangsa yang menjadi tersangka koruptor malah
bangga menjadi tersohor. Walau terkena operasi tangkap tangan KPK, serta merta
menjadi bintang tamu berbagai ramuan acara, rakitan atraksi maupun penggalangan
adegan, walhasil bak selebritis.
Bagi oknum anak bangsa tertentu, pers menjadi sahabat
penentu nasib. Media mampu mendongkrak, mengkatrol, menggelembungkan, mengembangkan
popularitas, citra diri, nilai jual seseorang secara instan, sistematis,
terukur dan berbayar.
Ironis, bahkan ketika KPK diposisikan sejajar dengan
teroris oleh Polisi, yang menghasilkan episode Buaya vs Cicak. Pimpinan KPK
dikriminlaisasi oleh Polri menjadi bukti bahwa tipikor tidak masuk ranah hukum.
Tersangka korupsi, didominasi oleh kawanan parpolis,
bukan aib bagi pelakunya. Terlebih jika tersangka adalah pejabat elit, petinggi
parpol, loyalis parpol, bisa-bisa bisa menjadi pahlawan bagi parpol ybs.
Karena dosa politik tidak bisa dipidanakan. Jangan
diartikan pimpinan KPK yang mengalami proses terakhir uji kelayakan dan
kepatutan oleh DPR RI 2014-2019, akan menjadi karapan terakhir bagi tersangka
tipikor.
Di atas kertas, pelaku politik yang terjerat pasal
korupsi, di era megatega ini, akan aman-aman saja, aka baik-baik saja. Semua
sudah ditentukan dan diatur sesuai pasalnya.
Bagi si tangan panjang yang tertangkap tangan,
tertangkap basah ketika beraksi, dengan dalih apapun - apakah karena desakan
kebutuhan perut, tuntutan ekonomi sehari, kebutuhan anak sekolah - tetap
menjadi bulan-bulanan. Oleh siapa saja. Mendadak hukum menjadi ada dan digdaya. [Haen]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar