dinamika
revolusi mental, negara salah urus, salah orang vs rakyat salah pilih, salah
percaya, salah harap
Konon, komponen dan pengejawantahan Hak konstitusional
yang secara legal formal dimiliki setiap warga negara, di atas kertas sudah sedemikian
meyakinkan. Terlebih karena secara sadar tertera di Undang-Undang Dasar Negara
RI Tahun 1945 yang telah empat kali diamandemen antara lain berupa : hak kewarganegaraan,
hak hidup, hak atas kebebasan meyakini kepercayaannya, hak berserikat dan
berkumpul, hak mengembangkan diri, hak atas pekerjaan dan hidup layak, hak atas
kepastian hukum dan keadilan, hak atas perlindungan, hak bebas dari ancaman,
diskriminasi dan kekerasan, serta hak atas kemerdekaan menyampaikan pikiran dan
memilih.
Konon, perjalanan politik bangsa, menjadikan hak
konstitusional sebagai barang dagangan, menjadi obyek kampanye dan redup serta
nyaris terabaikan secara sistematis, masif, menerus begitu pemerintahan baru
usai dilantik.
Konon, dari akar rumput atau yang mewakili, sebut saja para
reformis lokal yang masih memiliki daya peka, peduli dan tanggap atas berbagai kontradiksi, inkonsistensi maupun
inkonstitusional terselubung perwjudan hak konstitusional bagi warga negara di
era otonomi daerah. Penduduk lokal semangkin merasakan betapa arti kehidupan
terdesak komunitas pendatang sampai kepala daerah bukan putera asli daerah.
Konon semangat kedaerahan dalam arti luas, masih bisa
menjadi norma kehidupan. Contoh, jika pemborong, kontraktor, rekanan daerah
yang melaksanakan pekerjaan konstruksi APBN, apalgi APBD, masih memakai
tanggung jawab moral. Masih mengutamakan merasa memliki daerah, bukan sekedar
bisnis cari untung. Juga pasca konsruksi tidak akan hit and run. Mereka
juga berharap akan tetap mencari sesuap nasi di daerahnya. Tidak pakai rumusan
politkus “makan di
dalam, berak di luar”.
Konon, perjalanan konstitusional bangsa dan negara di era
megatega 2014-2019 di tangan kawanan parpolis dengan mental, moral, jiwa hit and run. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar