Halaman

Selasa, 19 Januari 2016

ketika bantal jatuh ke lantai

ketika bantal jatuh ke lantai

Bermula dari peribahasa “bukan salah bunda mengandung, salah oleh badan buruk pinta”, dimaksudkan sebagai menyesali untung yang malang. Tantangan peradaban, tuntutan perubahan berperikehidupan dan semangat tinggal landas menjadikan peribahasa tadi mengalami proses penyesuaian diri. Filosofi kehidupan manusiapun tak lepas dari dinamika zaman, bergeser ke arah persaingan demi harga diri.

Mengapa anak petani tidak mau melanjutkan perjuangan dan status profesi orang tuanya. Justru karena sayangnya orang tua kepada anaknya, agar jangan mengalami nasib yang sama, menjadi petani dengan tanah garapan pas-pasan untuk agar dapur tetap berasap. Luas sawah tergerogoti kebutuhan hidup yang sulit dihindari, karena sebagai kenyataan. Mahalnya bibit versi pemerintah, langkanya pupuk yang dimonopoli oleh pelaku ekonomi, anomali cuaca dan musim hujan semakin meneguhkan niat petani agar anaknya tidak perlu berjibaku dengan lumpur. Bukan berarti “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, artinya sifat anak tidak jauh dari orangtuanya, sudah tidak berlaku atau diberlakukan lagi.

Tak jarang dikehidupan dunia ini, betapa anak melihat dan menikmati hidup berkat kisah sukses ibu bapaknya. Faktor ajar dan faktor didik berbasis suri teladan, sistem panutan dalam rumah tangga, dalam keluarga menjadikan anak mempunyai pilihan untuk meneruskan tradisi keluarga. Tak kurang yang terlena di bawah bayang-bayang nama besar orang tuanya. Mereka lahir sebagai generasi yang berkecukupan. Tidak tahu bagaimana banting tulang, peras otak, keringat sampai tetes darah terakhir untuk mewujudkan sebuah keluarga impian, penuh impian. Keluarga dambaan setiap insan manusia.

Bapaknya bisa menjadi jenderal, belum tentu anaknya masuk tentara bisa juga jadi jenderal. Anak kopral, liwat jalur akademi militer, jelas sudah bisa menyalip kepangkatan ayahnya. Pernah terjadi, anak guru besar di kota pelajar, lulus SMA tepat waktu sudah bagus. Kalangan selebritis, artis, komedian, sadar tak sadar akan menurunkan keahlian dan bakat ke anaknya. Di industri, panggung, syahwat politik, khususnya yang mengambil jurusan atau spesialis politik kekuasaan, tak berharap kenikmatan dunia jatuh ke tangan orang lain. Mereka hanya akan berbagi atau mewariskan kekuasaannya berbasis sistem famili.

Ada yang lupa dan nyaris terlupakan sejalan dengan perjalanan sejarah manusia. Betapa hakikat orang tua yang adiluhung, harus diformat ulang sesuai atau berdasar asas demokrasi yang merasuk kedalam keluarga. Antara orang tua dengan anak seolah tidak ada sekat yang dulu dikenal dengan istilah budi pekerti, tata krama, sopan santun. Bagaimana adab anak ke orang tua, begitu juga sebaliknya, terlebih yang berbasis religi mengalami proses sublimasi dan perubahan bentuk yang pasti.

Di dunia pendidikan, posisi dan martabat guru di mata anak didiknya acap dipandang sebelah mata. Ini mungkin yang menjadikan sekolah mengadakan les atau penambahan jam pelajaran resmi tapi tak resmi. Selain mendongkrak ilmu anak didik agar mulus naik klas, khususnya lulus ujian, juga menaikkan pamor guru. Sertifikasi guru sebagai upaya pemerintah untuk meminimalisir keterkaitan fungsional antara rapor anak didik dengan pamor guru.

Betapa kebaikan, kepandaian, kearifan, kebajikan sebagai orang tua hanya dimiliki sendiri, seolah tidak bisa diturunkan ke anak cucunya. Ataukah karena gaya hidup, gaul dan gengsi generasi yang sarat dengan pengaruh teknologi informasi dan komunikasi, menjadi generasi yang tercerabut dari akarnya. Terkadang ortu tak ambil pusing, yang penting anaknya tetap menjadi anak yang manis di mata mereka.

Betapa bahkan kehajian seseorang hanya menjadi sebagai hak milik pribadi, sulit untuk diwariskan dan dilestarikan oleh anak cucunya. Menyerahkan pendidikan anak ke mekanisme pasar. Mulai mencari sekolah yang mudah terjangkau oleh transportasi umum. Pendidikan agama diandalkan pada sebagai mata pelajaran formal. Bapak ibunya sama-sama menjadi tulang punggung keluarga, jika tidak diimbangi dengan persiapan masa depan anaknya, bak meninggalkan generasi yang lemah, walau kuat secara finansial. Memberanikan anaknya berkeringat demi masa depannya.

Betapa seorang anak yang mampu makan bangku sekolah, melebihi kedua orang tuanya, bisa-bisa bisa mengalami revolusi mental, korban peradaban, terdegradasi diri sendiri. Berakhir, tak terbilang wanita karir yang merasa nyaman dan betah berlama di kantor yang memberinya makan dibanding bercengkerama dengan suami, bersama anak. Apalagi melaksanakan hakikat sebagai seorang isteri. Wallahu a’lam [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar