ketika bantal jatuh ke lantai
Bermula dari
peribahasa “bukan salah bunda mengandung,
salah oleh badan buruk pinta”, dimaksudkan sebagai menyesali
untung yang malang. Tantangan peradaban, tuntutan perubahan berperikehidupan
dan semangat tinggal landas menjadikan peribahasa tadi mengalami proses
penyesuaian diri. Filosofi kehidupan manusiapun tak lepas dari dinamika zaman,
bergeser ke arah persaingan demi harga diri.
Mengapa anak
petani tidak mau melanjutkan perjuangan dan status profesi orang tuanya. Justru
karena sayangnya orang tua kepada anaknya, agar jangan mengalami nasib yang
sama, menjadi petani dengan tanah garapan pas-pasan untuk agar dapur tetap
berasap. Luas sawah tergerogoti kebutuhan hidup yang sulit dihindari, karena
sebagai kenyataan. Mahalnya bibit versi pemerintah, langkanya pupuk yang
dimonopoli oleh pelaku ekonomi, anomali cuaca dan musim hujan semakin
meneguhkan niat petani agar anaknya tidak perlu berjibaku dengan lumpur. Bukan
berarti “buah jatuh tak
jauh dari pohonnya”, artinya sifat anak
tidak jauh dari orangtuanya, sudah tidak berlaku atau diberlakukan lagi.
Tak jarang
dikehidupan dunia ini, betapa anak melihat dan menikmati hidup berkat kisah
sukses ibu bapaknya. Faktor ajar dan faktor didik berbasis suri teladan, sistem
panutan dalam rumah tangga, dalam keluarga menjadikan anak mempunyai pilihan
untuk meneruskan tradisi keluarga. Tak kurang yang terlena di bawah
bayang-bayang nama besar orang tuanya. Mereka lahir sebagai generasi yang
berkecukupan. Tidak tahu bagaimana banting tulang, peras otak, keringat sampai
tetes darah terakhir untuk mewujudkan sebuah keluarga impian, penuh impian.
Keluarga dambaan setiap insan manusia.
Bapaknya
bisa menjadi jenderal, belum tentu anaknya masuk tentara bisa juga jadi
jenderal. Anak kopral, liwat jalur akademi militer, jelas sudah bisa menyalip
kepangkatan ayahnya. Pernah terjadi, anak guru besar di kota pelajar, lulus SMA
tepat waktu sudah bagus. Kalangan selebritis, artis, komedian, sadar tak sadar
akan menurunkan keahlian dan bakat ke anaknya. Di industri, panggung, syahwat
politik, khususnya yang mengambil jurusan atau spesialis politik kekuasaan, tak
berharap kenikmatan dunia jatuh ke tangan orang lain. Mereka hanya akan berbagi
atau mewariskan kekuasaannya berbasis sistem famili.
Ada yang
lupa dan nyaris terlupakan sejalan dengan perjalanan sejarah manusia. Betapa
hakikat orang tua yang adiluhung, harus diformat ulang sesuai atau berdasar
asas demokrasi yang merasuk kedalam keluarga. Antara orang tua dengan anak
seolah tidak ada sekat yang dulu dikenal dengan istilah budi pekerti, tata
krama, sopan santun. Bagaimana adab anak ke orang tua, begitu juga sebaliknya,
terlebih yang berbasis religi mengalami proses sublimasi dan perubahan bentuk
yang pasti.
Di dunia
pendidikan, posisi dan martabat guru di mata anak didiknya acap dipandang
sebelah mata. Ini mungkin yang menjadikan sekolah mengadakan les atau
penambahan jam pelajaran resmi tapi tak resmi. Selain mendongkrak ilmu anak
didik agar mulus naik klas, khususnya lulus ujian, juga menaikkan pamor guru.
Sertifikasi guru sebagai upaya pemerintah untuk meminimalisir keterkaitan fungsional
antara rapor anak didik dengan pamor guru.
Betapa
kebaikan, kepandaian, kearifan, kebajikan sebagai orang tua hanya dimiliki
sendiri, seolah tidak bisa diturunkan ke anak cucunya. Ataukah karena gaya
hidup, gaul dan gengsi generasi yang sarat dengan pengaruh teknologi informasi
dan komunikasi, menjadi generasi yang tercerabut dari akarnya. Terkadang ortu
tak ambil pusing, yang penting anaknya tetap menjadi anak yang manis di mata
mereka.
Betapa
bahkan kehajian seseorang hanya menjadi sebagai hak milik pribadi, sulit untuk
diwariskan dan dilestarikan oleh anak cucunya. Menyerahkan pendidikan anak ke
mekanisme pasar. Mulai mencari sekolah yang mudah terjangkau oleh transportasi
umum. Pendidikan agama diandalkan pada sebagai mata pelajaran formal. Bapak
ibunya sama-sama menjadi tulang punggung keluarga, jika tidak diimbangi dengan
persiapan masa depan anaknya, bak meninggalkan generasi yang lemah, walau kuat
secara finansial. Memberanikan anaknya berkeringat demi masa depannya.
Betapa seorang anak yang
mampu makan bangku sekolah, melebihi kedua orang tuanya, bisa-bisa bisa
mengalami revolusi mental, korban peradaban, terdegradasi diri sendiri.
Berakhir, tak terbilang wanita karir yang merasa nyaman dan betah berlama di
kantor yang memberinya makan dibanding bercengkerama dengan suami, bersama
anak. Apalagi melaksanakan hakikat sebagai seorang isteri. Wallahu a’lam [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar