Halaman

Minggu, 31 Januari 2016

Laksanakan Perkara Sunnah Jangan Setengah-Setengah

Laksanakan Perkara Sunnah Jangan Setengah-Setengah

Masih terjadi anggapan, asumsi oleh umat Islam, bahwa Sunnah sebagai salah satu dari lima dari hukum Islam, diartikan sebagai kalau dilaksanakan berpahala, kalau tidak dilkerjakan tidak apa-apa, tepatnya tidak berdosa. Pemahaman terhadap hakikat Sunnah, sejak saya belajar saat Sekolah Rakyat, sekarang Sekolah Dasar, tidak terjadi pergeseran, pengembangan makna secara substansi maupun redaksi. Memang, perjalanan hidup manusia dan dampak perbuatan manusia d dunia, di antara dua tarikan kutub berlawanan yaitu pahala dan dosa. Frasa ‘tidak apa-apa’ terlebih frasa ‘tidak berdosa’ dianggap sebagai nilai tawar yang fleksibel. Bersyukur sudah mau dan bisa mengerjakannya, kalau tidak, merasa tidak ada dampak dosanya. Bahasa kasarnya, untung masih mau mengerjakannya.

Selama di dunia, umat Islam berjibaku mencari tiket dan kendaraan kembali ke tempat asal nabi Adam a.s dan Siti Hawa diciptakan oleh Allah, di surga atau sebutan lainnya. Kontrak religi umat Islam dengan Allah berbasis dimensi taat adalah melaksanakan semua perintah-Nya secara total sekaligus serta menjauhi segala larangan-Nya dengan sekuat tenaga. Menyoal hubungan antara bentuk perintah-Nya dan larangan-Nya, beberapa sumber dan ahli sepakat ada yang pasti dan ada juga yang tidak pasti. Artinya, bentuk tuntutan yang mengandung konsekuensi hukum untuk dikerjakan disebut perintah (amar). Sedangkan tuntutan yang mengandung konsekuensi hukum untuk ditinggalkan disebut larangan (nahyi), serta yang boleh ditinggalkan dan boleh dikerjakan disebut ibaha. Islam menegaskan :
Jika perintah-Nya berbentuk pasti maka disebut wajib, dan kalau perintah-Nya tidak pasti disebut mandub (sunnah).
Demikian juga dengan larangan-Nya. Apabila larangan-Nya  berbentuk pasti maka disebut haram, dan bila tidak pasti disebut makruh.

Adapun yang dimaksud takhyir (pilihan) adalah hukum mubah. Dengan demikian hukum takhlifi yang digunakan terbagi menjadi lima yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.

Ketika struktur kehidupan ini sudah dibingkai dengan waktu, kita harus cerdas menggunakan mana yang wajib, mana yang haram, sekaligus juga pandai dan pandai-pandai menerapkan secara tepat mana yang masuk kategori sunnah, makruh dam mubah.

Contoh nyata adalah sholat Dhuha. Ada yang menegakkan sholat Dhuha memang cukup sehari sekali karena batasan waktu, itupun dalam batas semampunya, sebisanya, ala kadarnya, minimalis, cukup dua roka’at. Tidak mau berlebihan. Atau jika ‘berlebihan’ dilakukan seminggu sekali, bisa sampai 12 roka’at, diborong dalam satu waktu. Sisanya bisa untuk kegiatan lainnya. Ironis, melakukan sholat fardhu masih diracuni niat karena untuk memnggugurkan kewajiban. Yang penting sudah dilaksanakan, soal apakah sudah sesuai dengan rukunnya, adabnya, atau SOP-nya, urusan belakang.

Padahal, jika kita kupas lebih dalam, kedudukan Sunnah bisa berbatasan langsung dengan Wajib. Kedudukan sholat Tahajud sebagai sunnah mu'akkad yaitu perkara sunnah yang sangat dianjurkan nabi Muhammad SAW. Sholat sunnah bisa menambal sholat fardhu yang bolong-bolong, mampu menyempurnakan sholat fardhu yang mungkin kita kurang khusyuk menegakkannya. Termasuk jika kita memahami keutamaan sholat sunnah Rawatib.

Singkat kata, secara substansi dan redaksi, batasan Sunnah kita maknai sebagai perkara jika diniatkan dan dikerjakan karena Allah, akan mendapat pahala, sedangkan jika tidak dikerjakan memang tidak berdosa, tetapi kita akan rugi.  Merugi secara sadar dan menerus. Memang dalam melaksanakan ibadah, tidak boleh pakai hitung-hitungan. Ibarat memakai prinsip ekonomi, sudah disediakan gratis oleh  Allah, kenapa tidak kita ambil, tidak kita manfaatkan. Sunnah bagaikan kesempatan dan peluang emas yang selalu disodorkan Allah kepada kita, bahkan diramu khusus buat hamba-Nya. Terlebih mengingat dahsyatnya kemanfaatan Sunnah. Minimal, fungsi Sunnah bisa kita posisikan sebagai suplemen, pelengkap yang menyempurnakan nilai ibadah wajib. [HaeN] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar