Laksanakan Perkara Sunnah Jangan Setengah-Setengah
Masih terjadi anggapan,
asumsi oleh umat Islam, bahwa Sunnah sebagai salah satu dari lima dari hukum
Islam, diartikan sebagai kalau dilaksanakan berpahala, kalau tidak dilkerjakan tidak
apa-apa, tepatnya tidak berdosa. Pemahaman terhadap hakikat Sunnah, sejak saya
belajar saat Sekolah Rakyat, sekarang Sekolah Dasar, tidak terjadi pergeseran,
pengembangan makna secara substansi maupun redaksi. Memang, perjalanan hidup
manusia dan dampak perbuatan manusia d dunia, di antara dua tarikan kutub
berlawanan yaitu pahala dan dosa. Frasa ‘tidak apa-apa’ terlebih frasa ‘tidak
berdosa’ dianggap sebagai nilai tawar yang fleksibel. Bersyukur sudah mau dan
bisa mengerjakannya, kalau tidak, merasa tidak ada dampak dosanya. Bahasa kasarnya,
untung masih mau mengerjakannya.
Selama di dunia, umat Islam
berjibaku mencari tiket dan kendaraan kembali ke tempat asal nabi Adam a.s dan
Siti Hawa diciptakan oleh Allah, di surga atau sebutan lainnya. Kontrak religi
umat Islam dengan Allah berbasis dimensi taat adalah melaksanakan semua perintah-Nya
secara total sekaligus serta menjauhi segala larangan-Nya dengan sekuat tenaga.
Menyoal hubungan antara bentuk perintah-Nya dan larangan-Nya, beberapa sumber dan
ahli sepakat ada yang pasti dan ada juga yang tidak pasti. Artinya, bentuk tuntutan
yang mengandung konsekuensi hukum untuk dikerjakan disebut perintah (amar).
Sedangkan tuntutan yang mengandung konsekuensi hukum untuk ditinggalkan disebut
larangan (nahyi), serta yang boleh ditinggalkan dan boleh dikerjakan
disebut ibaha. Islam menegaskan :
Jika perintah-Nya berbentuk pasti maka
disebut wajib, dan kalau perintah-Nya tidak pasti disebut mandub (sunnah).
Demikian juga dengan larangan-Nya. Apabila
larangan-Nya berbentuk pasti maka disebut
haram, dan bila tidak pasti disebut makruh.
Adapun yang dimaksud takhyir
(pilihan) adalah hukum mubah. Dengan demikian hukum takhlifi yang digunakan
terbagi menjadi lima yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Ketika struktur
kehidupan ini sudah dibingkai dengan waktu, kita harus cerdas menggunakan mana
yang wajib, mana yang haram, sekaligus juga pandai dan pandai-pandai menerapkan
secara tepat mana yang masuk kategori sunnah, makruh dam mubah.
Contoh nyata adalah sholat
Dhuha. Ada yang menegakkan sholat Dhuha memang cukup sehari sekali karena
batasan waktu, itupun dalam batas semampunya, sebisanya, ala kadarnya,
minimalis, cukup dua roka’at. Tidak mau berlebihan. Atau jika ‘berlebihan’
dilakukan seminggu sekali, bisa sampai 12 roka’at, diborong dalam satu waktu. Sisanya
bisa untuk kegiatan lainnya. Ironis, melakukan sholat fardhu masih diracuni niat
karena untuk memnggugurkan kewajiban. Yang penting sudah dilaksanakan, soal
apakah sudah sesuai dengan rukunnya, adabnya, atau SOP-nya, urusan belakang.
Padahal, jika kita kupas
lebih dalam, kedudukan Sunnah bisa berbatasan langsung dengan Wajib. Kedudukan
sholat Tahajud sebagai sunnah mu'akkad yaitu
perkara sunnah yang sangat dianjurkan nabi Muhammad SAW. Sholat sunnah
bisa menambal sholat fardhu yang bolong-bolong, mampu menyempurnakan sholat
fardhu yang mungkin kita kurang khusyuk menegakkannya. Termasuk jika kita
memahami keutamaan sholat sunnah Rawatib.
Singkat
kata, secara substansi dan redaksi, batasan Sunnah kita maknai sebagai perkara jika
diniatkan dan dikerjakan karena Allah, akan mendapat pahala, sedangkan jika
tidak dikerjakan memang tidak berdosa, tetapi kita akan rugi. Merugi secara sadar dan menerus. Memang dalam
melaksanakan ibadah, tidak boleh pakai hitung-hitungan. Ibarat memakai prinsip
ekonomi, sudah disediakan gratis oleh Allah, kenapa tidak kita ambil, tidak kita manfaatkan.
Sunnah bagaikan kesempatan dan peluang emas yang selalu disodorkan Allah kepada
kita, bahkan diramu khusus buat hamba-Nya. Terlebih mengingat dahsyatnya
kemanfaatan Sunnah. Minimal, fungsi Sunnah bisa kita posisikan sebagai
suplemen, pelengkap yang menyempurnakan nilai ibadah wajib. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar