hidup dalam sangkar
angan-angan politik kedaluwarsa 10 tahun
Hidup adalah proses
waktu, fungsi waktu, dan waktu itu sendiri tak akan kembali lagi. Sedetik waktu
lewat percuma, tak akan ada waktu pengganti, dan memang tak akan tergantikan.
Waktu adalah kesempatan manusia untuk setia, loyal dan taat berikhtiar dalam
koridor kehidupan dunia dan akhirat. Ruang dan waktu di depan mata, tidak
otomatis menjadi hak milik kita.
Kehidupan yang
dijalankan umat manusia, seolah hanya sekedar mengisi waktu luang sampai seakan
sekuat tenaga berlomba dengan waktu. Kata ahli dunia ‘waktu adalah uang’ tidak
ada salahnya, walau tentu tidak 100% benar. Kegiatan manusia dalam rambu-rambu ‘makan
untuk hidup atau hidup untuk makan’, dalam skala harian 24 jam yang repetitif
sampai target tahunan.
Mencapai target dan
sasaran kehidupan, banyak cara dan jalur yang akan ditempuh manusia. Tak
terhitung anak bangsa lebih memilah dan memilih jalan pintas untuk cepat
sukses, kesohor, dan bermartabat secara duniawi. Tak terkecuali mereka yang menjatuhkan
pilihan sebagai pelaku politik. Mulai dari mendirikan partai politik sampai
hanya penggembira.
Jika cita-cita
politik belum tercapai, belum kesampaian, belum terwujud. maka akal, logika,
nalar politiknya kandas oleh kedigdayaan syahwat politik. Pasca pemerintahan
SBY yang dua periode, yaitu 2004-2009 dan 2009-2014 bukannya tanpa dampak bagi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Anehnya, para kawanan
parpolis yang ikut pesta demokrasi 2014 dan mendapat jatah kursi wakil rakyat
dan wakil daerah, namun tidak kebagian kursi RI-1 dan RI-2 merasa tidak sebagai
bagian dari pemerintah. Lebih celaka lagi, kawanan parpol pendukung, pengusung,
penopang Jokowi-JK merasa sebagai Koalisi Pro-Pemerintah.
Pendidikan politik
dengan doktrin revolusi mental, wajib bagi kawanan parpolis yang sedang
nangkring dan nongkrong sebagai bagian dari penyelengara negara.
Di era mégatéga ini, terdapat bukti nyata terang-benderang dampak
pasca SBY yaitu tidak berani maju sebagai capres dan sekaligus ternyata tidak siap
menang. Akhirnya, syahwat politiknya hanya mengacu, berbasis, berpedoman pada
angan-angan politik yang sudah kedaluwarsa satu dekade. Minimal membanggakan jasa bapak
moyangnya.
Jangan heran, rakyat
papan bawah, yang justru tidak buta politik, bisa membaca pelaku politik yang
sedang naik panggung. Makanya, wayang kulit versi Jawa, ada yang kulit tokohnya
berwarna merah. Bukan tanpa sebab dan bebas maksud. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar