Halaman

Sabtu, 16 Januari 2016

hidup dalam sangkar angan-angan politik kedaluwarsa 10 tahun

hidup dalam sangkar angan-angan politik kedaluwarsa 10 tahun

Hidup adalah proses waktu, fungsi waktu, dan waktu itu sendiri tak akan kembali lagi. Sedetik waktu lewat percuma, tak akan ada waktu pengganti, dan memang tak akan tergantikan. Waktu adalah kesempatan manusia untuk setia, loyal dan taat berikhtiar dalam koridor kehidupan dunia dan akhirat. Ruang dan waktu di depan mata, tidak otomatis menjadi hak milik kita.

Kehidupan yang dijalankan umat manusia, seolah hanya sekedar mengisi waktu luang sampai seakan sekuat tenaga berlomba dengan waktu. Kata ahli dunia ‘waktu adalah uang’ tidak ada salahnya, walau tentu tidak 100% benar. Kegiatan manusia dalam rambu-rambu ‘makan untuk hidup atau hidup untuk makan’, dalam skala harian 24 jam yang repetitif sampai target tahunan.

Mencapai target dan sasaran kehidupan, banyak cara dan jalur yang akan ditempuh manusia. Tak terhitung anak bangsa lebih memilah dan memilih jalan pintas untuk cepat sukses, kesohor, dan bermartabat secara duniawi. Tak terkecuali mereka yang menjatuhkan pilihan sebagai pelaku politik. Mulai dari mendirikan partai politik sampai hanya penggembira.

Jika cita-cita politik belum tercapai, belum kesampaian, belum terwujud. maka akal, logika, nalar politiknya kandas oleh kedigdayaan syahwat politik. Pasca pemerintahan SBY yang dua periode, yaitu 2004-2009 dan 2009-2014 bukannya tanpa dampak bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Anehnya, para kawanan parpolis yang ikut pesta demokrasi 2014 dan mendapat jatah kursi wakil rakyat dan wakil daerah, namun tidak kebagian kursi RI-1 dan RI-2 merasa tidak sebagai bagian dari pemerintah. Lebih celaka lagi, kawanan parpol pendukung, pengusung, penopang Jokowi-JK merasa sebagai Koalisi Pro-Pemerintah.

Pendidikan politik dengan doktrin revolusi mental, wajib bagi kawanan parpolis yang sedang nangkring dan nongkrong sebagai bagian dari penyelengara negara.

Di era mégatéga ini, terdapat bukti nyata terang-benderang dampak pasca SBY yaitu tidak berani maju sebagai capres dan sekaligus ternyata tidak siap menang. Akhirnya, syahwat politiknya hanya mengacu, berbasis, berpedoman pada angan-angan politik yang sudah kedaluwarsa satu dekade. Minimal membanggakan jasa bapak moyangnya.

Jangan heran, rakyat papan bawah, yang justru tidak buta politik, bisa membaca pelaku politik yang sedang naik panggung. Makanya, wayang kulit versi Jawa, ada yang kulit tokohnya berwarna merah. Bukan tanpa sebab dan bebas maksud. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar