Halaman

Selasa, 26 Januari 2016

terbahaknya tukang pangkas rambut

terbahaknya tukang pangkas rambut

Ternyata peribahasa “rambut sama hitam, tapi hati masing-masing” tidak berlaku saat saya ke tukang cukur rambut yang buka praktik di sebuah bangunan/ruangan dengan kaca besar berlabel Pangkas Rambut. Yang berlaku adalah “rambut tidak sama panjang, tapi hati sama ingin bercukur”. Bahkan isi hati banyak yang mirip, terbukti ingin cukur rambut di malam hari. Bahkan anak pun dibawa orang tuanya cukur di malam hari.

Pukul 22an, korden sudah ditutup, masih saja ada yang datang. Terpaksa abang pangkas rambut, menolak. Tidak salah jika pelanggan memilih tukang cukur utama. Karena yang lain, ada dua kursi, sedang magang. Kalau sudah bisa, mahir, menguasai ilmu potong rambut, keluar, mendirikan usaha sendiri. Terpaksa ke tukang cukur yang sedang magang, dengan penjelasan ringkas dari tukang cukur utama, apa saja yang harus dikerjakan, sesuai SOP, baru tukang cukur magang beraksi. Pelanggan pun masih was-was, mau tak mau mengikuti gerak-geriknya. Pelanggan akrab dengan suasana ruangan, sambil cukur ngobrol, nonton TV. Ada yang antri duduk di luar. Tanpa tempat parkir, bangunan di pinggir got jalan raya.

Giliran saya cukur, Cuma sekitar 10 menit. Ukuran alat cukur nomer 4, rambut dicukur rata, tanpa dilis, dikerok bulu kuduknya, rambut di tengkuk. Praktis dan cepat. Yang lama antrinya, bisa lebih dari lima orang. Habis cukur dapat bonus pijat. Karena praktis, saya tidak pilah pilih tukang cukur utama. Yang penting ada petunjuk dan restu dari tukang cukur utama, tukang cukur magang bukan masalah.

Suatu ketika, tukang cukur magang tanya sambil memuji sedikit nyinyir : “rambut bapak putih, lebat, tebal. Terakhir kapan cukur?”

Membaca gelagat, saya jawab ringan “Satu setengah bulan.”.

Tukang cukur tampak agak heran, berhenti sejenak :”Cepat tumbuhnya, apa resepnya pak?”

Saya jawab praktis :”Jarang mikir.”
Diluar dugaan, tukang cukur terbahak, sambil bilang ke tukang cukur utama dan yang antri. Mengulang jawaban saya sambil riang. Seorang ibu yang kawal suami yang sedang dicukur, serta merta bilang ke suaminya :”Tu pak, coba jarang mikir, biar cepat tumbuh.” Ternyata kepala sang suami masuk kategori ‘gunawan’. Tepatnya, karena jidatnya menjorok ke atas sebagai tipe pemikir.

“Coba rambut bapak dilis dan dikerik rambut halusnya, rapi.” sambung tukang cukur. Saya diam saja, kalau dijawab, takut bertambah terbahaknya.

Padahal jawaban saya standar, mungkin jauh dari kata komedian. Bisa jadi tukang pangkas rambut memang sedang magang, termasuk magang kehidupan.

Padahal di luar sana, banyak omongan lucu, tingkah laku konyol, yang dipertontonkan oleh komedian di panggung politik Nusantara. Ironis, mau maju ngebanyol, ngelucu, wajib minta petunjuk, izin, dan restu dari bandar politik pemenang pesta demokrasi 2014. Makanya dagelan politik Nusantara walau terasa garing, hambar, hanya menyita dan buang waktu, namun dampaknya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sangat luar biasa tidak lucunya.

Harapan dan kepercayaan rakyat sudah dipangkas habis. Puing do’a tersisa di pangkuan Ibu Pertiwi. Entah siapa yang akan terbahak terakhir? [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar