terbahaknya tukang pangkas rambut
Ternyata peribahasa “rambut sama hitam, tapi hati masing-masing” tidak berlaku saat
saya ke tukang cukur rambut yang buka praktik di sebuah bangunan/ruangan dengan
kaca besar berlabel Pangkas Rambut. Yang berlaku adalah “rambut tidak sama
panjang, tapi hati sama ingin bercukur”. Bahkan isi hati banyak yang mirip,
terbukti ingin cukur rambut di malam hari. Bahkan anak pun dibawa orang tuanya
cukur di malam hari.
Pukul 22an, korden sudah ditutup,
masih saja ada yang datang. Terpaksa abang pangkas rambut, menolak. Tidak salah
jika pelanggan memilih tukang cukur utama. Karena yang lain, ada dua kursi,
sedang magang. Kalau sudah bisa, mahir, menguasai ilmu potong rambut, keluar,
mendirikan usaha sendiri. Terpaksa ke tukang cukur yang sedang magang, dengan
penjelasan ringkas dari tukang cukur utama, apa saja yang harus dikerjakan,
sesuai SOP, baru tukang cukur magang beraksi. Pelanggan pun masih was-was, mau
tak mau mengikuti gerak-geriknya. Pelanggan akrab dengan suasana ruangan,
sambil cukur ngobrol, nonton TV. Ada yang antri duduk di luar. Tanpa tempat parkir,
bangunan di pinggir got jalan raya.
Giliran saya cukur, Cuma sekitar
10 menit. Ukuran alat cukur nomer 4, rambut dicukur rata, tanpa dilis, dikerok
bulu kuduknya, rambut di tengkuk. Praktis dan cepat. Yang lama antrinya, bisa
lebih dari lima orang. Habis cukur dapat bonus pijat. Karena praktis, saya
tidak pilah pilih tukang cukur utama. Yang penting ada petunjuk dan restu dari
tukang cukur utama, tukang cukur magang bukan masalah.
Suatu ketika, tukang cukur magang
tanya sambil memuji sedikit nyinyir : “rambut bapak putih, lebat, tebal.
Terakhir kapan cukur?”
Membaca gelagat, saya jawab
ringan “Satu setengah bulan.”.
Tukang cukur tampak agak heran,
berhenti sejenak :”Cepat tumbuhnya, apa resepnya pak?”
Saya jawab praktis :”Jarang mikir.”
Diluar dugaan, tukang cukur
terbahak, sambil bilang ke tukang cukur utama dan yang antri. Mengulang jawaban
saya sambil riang. Seorang ibu yang kawal suami yang sedang dicukur, serta
merta bilang ke suaminya :”Tu pak, coba jarang mikir, biar cepat tumbuh.”
Ternyata kepala sang suami masuk kategori ‘gunawan’. Tepatnya, karena jidatnya
menjorok ke atas sebagai tipe pemikir.
“Coba rambut bapak dilis dan
dikerik rambut halusnya, rapi.” sambung tukang cukur. Saya diam saja, kalau
dijawab, takut bertambah terbahaknya.
Padahal jawaban saya standar,
mungkin jauh dari kata komedian. Bisa jadi tukang pangkas rambut memang sedang
magang, termasuk magang kehidupan.
Padahal di luar sana, banyak
omongan lucu, tingkah laku konyol, yang dipertontonkan oleh komedian di
panggung politik Nusantara. Ironis, mau maju ngebanyol, ngelucu, wajib minta
petunjuk, izin, dan restu dari bandar politik pemenang pesta demokrasi 2014. Makanya
dagelan politik Nusantara walau terasa garing, hambar, hanya menyita dan buang
waktu, namun dampaknya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sangat luar biasa
tidak lucunya.
Harapan dan kepercayaan rakyat
sudah dipangkas habis. Puing do’a tersisa di pangkuan Ibu Pertiwi. Entah siapa yang akan terbahak terakhir?
[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar