Halaman

Senin, 25 Januari 2016

praktik politik identitas dan modus operandi pelaku politik Nusantara

praktik politik identitas dan modus operandi pelaku politik Nusantara

Disinyalir oleh ahlinya bahwasanya dampak diberlakukannya UU 22/1999 tentang Partai Politik, maraknya partai identitas. Sejauh ini (?) belum ada yang mengkaji, membedah, menganalisa apalagi mensurvei apa dampak lain dari UU 22/1999. Apakah munculnya partai politik lokal (untuk provinsi Aceh : adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota. Lihat UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh) sebagai eksesnya.

Kita ketahui bersama bahwa UU 22/1999 sebagai pengganti UU partai politik produk zaman Orde Baru. Faktor pertimbangan perlunya ditetapkan UU 22/1999 antara lain memberi landasan hukum yang lebih baik bagi tumbuhnya kehidupan partai politik yang dapat lebih menjamin peran serta rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Belum terhitung dampak diundangkannya UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, semakin mengkokohkan jati diri, eksistensi dan otonomi daerah atau bentuk nyata dari politik identitas.

Menyimak iseng yang tersurat di UU 32/2004 khususnya pada :

Paragraf Ketiga
Larangan bagi Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah

Pasal 28

Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang:
a.     membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain;

Dengan asas pembuktian terbalik, ayat di atas tidak berlaku bagi partai politik atau gabungan partai politik pengusung pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Semangat otonomi daerah semakin menjadikan kalkulasi politik berbasis kalkulasi ekonomi. Asas ekonomi politik adalah mendapatkan hasil yang maksimal dengan modal minimal. Mahar politik, modal politik sebagai konspirasi politik '

Pilkada menambah subur merebak dan maraknya politik identitas yang kontradiksi dengan semangat Putera Asli Daerah. Politik kekuasaan, yang belum disurvei oleh lembaga survei berbayar, apakah akan menggusur kadar politik identitas, karena Rp yang bicara. Atau semakin mengentalkan hakikat politik identitias.

Pemerintah daerah memang tidak “berhak” menjalankan politik luar negeri, bukan berarti bebas berhubungan langsung dengan negara lain. Dimungkinkan kerja sama antar kota, membentuk kota kembar. Sebagai lokasi pembangun nasional yang menggunakan loan atau utang luar negeri. Memintarkan warga negara lain dengan dalih kesepakatan hibah bilateral RI dengan negara asing/lain/tetangga.

Omong-omong, di era Orde Lama, nomenklatur dan eksistensi partai politik dibingkai dalam tatanan dan tataran Nasakom. Posisi Bung Karno sebagai pendiri dan ketua umum Partai Nasional Indonesia, tidak menjadikannya lupa daratan, mabuk kekuasaan (jangan dibandingkan dan disandingkan dengan kadar politik anak keturunannya). Kendati 1948 dan 1965 NKRI ditikam dari belakang oleh kawan seiring yang bernama PKI, tidak menjadikan NKRI lumpuh. Bahkan Pancasila menjadi sakti. PKI menggalang buruh, tani, nelayan sebagai angkatan kelima dan merasa menjadi tulang punggung negara.

Sejarah bergeser, peradaban politik berubah secara drastis. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, membuktikan adanya dominasi negara atas masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan berbegara di masa Orde Baru. Pemilu semasa Orde Baru malah semakin mengkukuhkan dan mengkokohkan pemerintahan Suharto. Alokasi kekuasaan kian terpusat dan fokus di tangan negara dengan kelompok Angkatan Darat sebagai tulang punggungnya. Suharto pandai menggunakan orang pandai menjadi pendukungnya, tak urung ada yang merasa lebih pandai.

Drama politik di éra mégatéga, mungkin yang menjadi tulang punggung negara adalah politik kekuasaan. KP3 utawa Koalisi Partai Pro-Pemerintah bukan bukti original, otentik bahwa politik kekuasaan hanya mengutamakan dan mengedepakan nafsu kuasa, yang mungkin jauh dari pro-rakyat. Hanya sejarah yang membuktikan nantinya. [HaeN] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar