praktik politik
identitas dan modus operandi pelaku politik Nusantara
Disinyalir
oleh ahlinya bahwasanya dampak diberlakukannya UU 22/1999 tentang Partai
Politik, maraknya partai identitas. Sejauh ini (?) belum ada yang mengkaji,
membedah, menganalisa apalagi mensurvei apa dampak lain dari UU 22/1999. Apakah
munculnya partai
politik lokal (untuk provinsi Aceh : adalah organisasi politik yang dibentuk
oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka
rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan
kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota
DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil
walikota. Lihat UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh) sebagai eksesnya.
Kita ketahui
bersama bahwa UU 22/1999 sebagai pengganti UU partai politik produk zaman Orde
Baru. Faktor pertimbangan perlunya ditetapkan UU 22/1999 antara lain memberi landasan hukum yang lebih baik bagi tumbuhnya kehidupan partai
politik yang dapat lebih menjamin peran serta rakyat Indonesia dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Belum terhitung dampak diundangkannya UU
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, semakin mengkokohkan jati diri, eksistensi
dan otonomi daerah atau bentuk nyata dari politik identitas.
Menyimak iseng yang tersurat di UU 32/2004
khususnya pada :
Paragraf Ketiga
Larangan bagi Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah
Pasal 28
Kepala daerah dan wakil kepala daerah
dilarang:
a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan
keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok
politiknya yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan
sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan
masyarakat lain;
Dengan asas
pembuktian terbalik, ayat di atas tidak berlaku bagi partai politik atau
gabungan partai politik pengusung pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah. Semangat otonomi daerah semakin menjadikan kalkulasi politik berbasis
kalkulasi ekonomi. Asas ekonomi politik adalah mendapatkan hasil yang maksimal
dengan modal minimal. Mahar politik, modal politik sebagai konspirasi politik '
Pilkada
menambah subur merebak dan maraknya politik identitas yang kontradiksi dengan
semangat Putera Asli Daerah. Politik kekuasaan, yang belum disurvei oleh
lembaga survei berbayar, apakah akan menggusur kadar politik identitas, karena
Rp yang bicara. Atau semakin mengentalkan hakikat politik identitias.
Pemerintah
daerah memang tidak “berhak” menjalankan politik luar negeri, bukan berarti bebas
berhubungan langsung dengan negara lain. Dimungkinkan kerja sama antar kota,
membentuk kota kembar. Sebagai lokasi pembangun nasional yang menggunakan loan
atau utang luar negeri. Memintarkan warga negara lain dengan dalih kesepakatan
hibah bilateral RI dengan negara asing/lain/tetangga.
Omong-omong,
di era Orde Lama, nomenklatur dan eksistensi partai politik dibingkai dalam
tatanan dan tataran Nasakom. Posisi Bung Karno sebagai pendiri dan ketua umum
Partai Nasional Indonesia, tidak menjadikannya lupa daratan, mabuk kekuasaan
(jangan dibandingkan dan disandingkan dengan kadar politik anak keturunannya).
Kendati 1948 dan 1965 NKRI ditikam dari belakang oleh kawan seiring yang
bernama PKI, tidak menjadikan NKRI lumpuh. Bahkan Pancasila menjadi sakti. PKI
menggalang buruh, tani, nelayan sebagai angkatan kelima dan merasa menjadi
tulang punggung negara.
Sejarah
bergeser, peradaban politik berubah secara drastis. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975
tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang kemudian diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, membuktikan adanya dominasi negara atas masyarakat dalam kehidupan berbangsa
dan berbegara di masa Orde Baru. Pemilu semasa Orde Baru malah semakin
mengkukuhkan dan mengkokohkan pemerintahan Suharto. Alokasi kekuasaan kian
terpusat dan fokus di tangan negara dengan kelompok Angkatan Darat sebagai
tulang punggungnya. Suharto pandai menggunakan orang pandai menjadi
pendukungnya, tak urung ada yang merasa lebih pandai.
Drama
politik di éra mégatéga, mungkin yang menjadi tulang punggung negara
adalah politik kekuasaan. KP3 utawa Koalisi Partai Pro-Pemerintah bukan bukti
original, otentik bahwa politik kekuasaan hanya mengutamakan dan mengedepakan
nafsu kuasa, yang mungkin jauh dari pro-rakyat. Hanya sejarah yang membuktikan
nantinya. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar