Halaman

Kamis, 16 Januari 2014

Survei Capres 2014, Pencitraan vs Pembunuhan Karakater

Politika     Dibaca :270 kali , 0 komentar

Survei Capres 2014, Pencitraan vs Pembunuhan Karakater

Ditulis : Herwin Nur, 23 Juli 2013 | 14:13
Relawan
Petugas survei capres sangat beda dengan relawan bencana alam. Lembaga yang mengadakan survei tentunya sudah punya tarif, tidak melakukan kerja gotong royong tanpa biaya, apalagi melakukan amal bakti dalam ikhtiar pendidikan politik. Modus operandi lembaga survei saat pilkada tentu beda dengan survei capres. Survei capres tidak seperti survei harga bawang putih di berbagai pasar sampel.

Lembaga survei capres yang gemar mempublikasikan karya ilmiahnya, hanya sekedar membolak-balikkan elektabilitas atau keterpilihan capres. Nama yang ditampilkan hanya muka lama, mantan capres periode sebelumnya, ketua umum partai politik, dsb. Untuk menambah kepercayaan publik, pejabat publik, pejabat negara atau tokoh yang sering tampil di media massa, menjadi pilihan survei.

Di pihak lain, ada beberapa orang tanpa malu, sungkan dan merasa risi merasa bisa jadi presiden. Belum jatuh tempo 2014, banyak pihak sudah mulai gerah dan sekaligus bergairah menadah jatah kursi kepala negara.

Parpol yang sedang berkuasa di ekskutif dan legislatif, merasa paling berhak untuk memenangkan lotere jabatan. Ketua umum parpol, yang mendirikan parpol sampai penguasa parpol merasa paling pantas dan layak maju pada pilpres 2014.

Lain Ladang Lain Belalang
Lain lembaga survei, lain pula hasilnya. Padahal, ilmu yang dipakai sama. Ironisnya, satu guru satu ilmu, hasil diagnosa bisa bertolak belakang. Logika awam, pasti ada udang di balik batu. Jelasnya, perang urat syaraf menyebabkan orang tak memakai norma atau kaidah survei. Paling sering dipakai adalah dengan metode hitung mundur, kelayakan capres ditentukan di awal, baru rekayasa data dan fakta pendukung dilakukan sesuai aturan main survei.

Bisa terjadi, satu nama bisa menghasilkan hasil yang berbeda oleh lembaga survei yang berbeda. Paling runyam, analis dari kalangan akademis sampai amatiran, ikut membaca hasil survei. Mereka ikut memberi saran jitu, agar capres A jangan maju, atau capres B tunggu periode yad.

Media massa, terutama saluran TV swasta (khususnya milik pengusaha atau penguasa) ikut andil berucap, bercuap dan memacu emosi pendengar. Media massa menjadi lembaga survei terselubung, dengan tugas multifungsi, pisau bermata dua. Bahan tayang berita seolah peka, peduli dan tanggap terhadap penderitaan rakyat dengan  mengkritisi kebijakan pemerintah. Serangan halus dan nampak cerdas ditujukan pada kementerian yang menterinya dari parpol tertentu. Jangan heran, untuk urusan dapur, isi perut sampai got mampet di depan rumah seolah menjadi urusan wajib dan tanggung jawab pemerintah.
 
Sandera Politik
Nilai jual parpol peserta pemilu dan pilpres 2014, masih pasang surut.  Parpol sendiri tidak berani memastikan bisa ikut pilpres berdasarkan perolehan suara di pemilu legislatif 2014. Rakyat memilih calon wakil rakyat yang dikenal, bukan parpol pengusungnya. Jika terjadi calon yang akan dipilih, ternyata didukung parpol bermasalah dengan tindak pidana korupsi, pilihan bisa beralih atau sesuai Skenario B.

Golongan putih (golput) bisa marak jika banyak bakal calon legislatif tepat di tempat yang tidak tepat. Atau tempat yang tepat mengusulkan nama bakal calon legislatif yang tidak tepat.

Capres perorangan hanya sekedar pemanis demokrasi. Tanpa dukungan dinasti politik, capres perorangan hanya buang biaya, waktu dan energi. Undang-Undang pemilu sebagai produk legislasi antara Pemerintah dengan DPR, sudah mengantisipasi keuntungan parpolnya untuk periode yad.

Capres maupun parpol pengusungnya, harus berjibaku di pemilu legislatif 2014, baru nasibnya terbaca. [HaeN/Wasathon]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar