Kamis,
20/02/2003 08:16
KOBARKAN SEMANGAT "AA GYM" : SAAT RAKYAT
MENGGELIAT
SAAT RAKYAT MENGGELIAT
Alkisah sejarah NKRI dihiasi dengan berbagai
"keuntungan" dalam hidup bermasyarakat. Beberapa peristiwa dan
kejadian dari yang mulai sulit diterima cerna oleh akal sehat sampai pada hasil
dari akal-akalan produk rekayasa tingkat tinggi, yang hanya bisa dinalar oleh
akal yang sedang sehat-sehatnya. Banyak peristiwa dan kejadian yang masuk
kategori "tidak diramalkan sebelumnya" justru sanggup meledak dan
menggoncang kemapanan nasional.
Ada dua contoh yang mewakili jender di awal 2003, yaitu
kasus lelaki mengunyah rebusan mayat manusia dan dari sosok perempuan dengan
tenarnya gaya goyang ngebor versi ndangdut jalanan yang masuk dapur rekaman.
Ketenaran ke dua makhluk dari dua jenis ini jelas mengungguli ketenaran Bom
Bhayangkari - bahkan melangkahi ketenaran kinerja wakil rakyat. Sebagai sesama
makhluk sejenis diharap agar RI 1 tidak merasa njomplang ketenarannya atau
merasa akan digoyang kursi panasnya. Apalagi beda modal untuk tenar. Banyak
kiat dan cara yang dijadikan acuan oleh rakyat untuk menyuarakan hati
nuraninya. Acara jemur diri di alon-alon lor Yogya tempo doeloe sampai unjuk
raga di jalanan sebagai salah satu upaya menyampaikan uneg-uneg, bahkan lebih
dari itu.
Celakanya, berbagai unjuk raga dan sambung suara bisa
dipolitisir oleh penguasa negara atau dijadikan komoditas politik dengan
mengatasnamakan rakyat yang biasa dilakukan oleh oknum yang ambisius. Sejarah
mencatat pula bahwa geliat rakyat, dari arah tak terduga, bisa membakar jenggot
para penguasa negara. Kendati sudah ada rumusan demokrasi, kedaulatan di tangan
rakyat, akan tetap kalah kuat dan kuasa dibanding jargon-jargon pemegang
penyelenggara kedaulatan rakyat. PR besar di era Reformasi kini adalah suara
rakyat yang selama Orde Baru terbekap dan terbungkam secara sistematis belum
diposisikan secara benar dan wajar. Wakil rakyat hanya menyuarakan kepentingan
partai, itupun atas dasar titipan dan pesanan. Dari sisi rakyat sendiri memang
terjadi pengkotak-kotakan. Ada yang bisa potong kompas untuk
"bersuara", misal sebagai kandidat calon gubernur DKI atau beberapa
kasus ganti untung atas pembebasan tanah milik rakyat demi pembangunan Orde
Baru. Nasib yang tak berubah dimiliki rakyat yang petani, dari masalah irigasi,
pupuk, bibit, pola tanam masih tetap menjebak mereka dalam lumpur kemiskinan.
Mendingan kaum buruh, ada yang mempolitisir sehingga
ada oknum politisi yang mengorbit. Pemerintah sudah baik hati dengan menetapkan
upah minimum berdasarkan lokasi geografis. Bukanlah bangsa Indonesia kalau
tidak aji mumpung. Parpol yang mengatasnamakan rakyat kecil dengan mudah
membumi. Tak kalah gampangnya ketika ingin melangit secara duniawi. Jika
dihitung bila seorang rakyat iuran Rp 1.000,00 (seribu rupiah) per bulan untuk
wakilnya di DPR, wajar kalau seorang wakil rakyat di DPR akan mendapat bonus
besar. Main hakim sendiri di jalanan yang membakar penjahat jalanan, yang
kepergok dan ketangkap basah, sebagai ciri geliat rakyat atas ketidakperdulian
aparat keamanan. Atau sebagai ungkapan ketidakberdayaan menghadapi penjahat
berdasi. Siapa yang tidak berdaya ? (hn).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar