Halaman

Kamis, 23 Januari 2014

SAAT RAKYAT MENGGELIAT



Kamis, 20/02/2003 08:16
KOBARKAN SEMANGAT "AA GYM" : SAAT RAKYAT MENGGELIAT
SAAT RAKYAT MENGGELIAT
Alkisah sejarah NKRI dihiasi dengan berbagai "keuntungan" dalam hidup bermasyarakat. Beberapa peristiwa dan kejadian dari yang mulai sulit diterima cerna oleh akal sehat sampai pada hasil dari akal-akalan produk rekayasa tingkat tinggi, yang hanya bisa dinalar oleh akal yang sedang sehat-sehatnya. Banyak peristiwa dan kejadian yang masuk kategori "tidak diramalkan sebelumnya" justru sanggup meledak dan menggoncang kemapanan nasional.

Ada dua contoh yang mewakili jender di awal 2003, yaitu kasus lelaki mengunyah rebusan mayat manusia dan dari sosok perempuan dengan tenarnya gaya goyang ngebor versi ndangdut jalanan yang masuk dapur rekaman. Ketenaran ke dua makhluk dari dua jenis ini jelas mengungguli ketenaran Bom Bhayangkari - bahkan melangkahi ketenaran kinerja wakil rakyat. Sebagai sesama makhluk sejenis diharap agar RI 1 tidak merasa njomplang ketenarannya atau merasa akan digoyang kursi panasnya. Apalagi beda modal untuk tenar. Banyak kiat dan cara yang dijadikan acuan oleh rakyat untuk menyuarakan hati nuraninya. Acara jemur diri di alon-alon lor Yogya tempo doeloe sampai unjuk raga di jalanan sebagai salah satu upaya menyampaikan uneg-uneg, bahkan lebih dari itu.

Celakanya, berbagai unjuk raga dan sambung suara bisa dipolitisir oleh penguasa negara atau dijadikan komoditas politik dengan mengatasnamakan rakyat yang biasa dilakukan oleh oknum yang ambisius. Sejarah mencatat pula bahwa geliat rakyat, dari arah tak terduga, bisa membakar jenggot para penguasa negara. Kendati sudah ada rumusan demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat, akan tetap kalah kuat dan kuasa dibanding jargon-jargon pemegang penyelenggara kedaulatan rakyat. PR besar di era Reformasi kini adalah suara rakyat yang selama Orde Baru terbekap dan terbungkam secara sistematis belum diposisikan secara benar dan wajar. Wakil rakyat hanya menyuarakan kepentingan partai, itupun atas dasar titipan dan pesanan. Dari sisi rakyat sendiri memang terjadi pengkotak-kotakan. Ada yang bisa potong kompas untuk "bersuara", misal sebagai kandidat calon gubernur DKI atau beberapa kasus ganti untung atas pembebasan tanah milik rakyat demi pembangunan Orde Baru. Nasib yang tak berubah dimiliki rakyat yang petani, dari masalah irigasi, pupuk, bibit, pola tanam masih tetap menjebak mereka dalam lumpur kemiskinan.

Mendingan kaum buruh, ada yang mempolitisir sehingga ada oknum politisi yang mengorbit. Pemerintah sudah baik hati dengan menetapkan upah minimum berdasarkan lokasi geografis. Bukanlah bangsa Indonesia kalau tidak aji mumpung. Parpol yang mengatasnamakan rakyat kecil dengan mudah membumi. Tak kalah gampangnya ketika ingin melangit secara duniawi. Jika dihitung bila seorang rakyat iuran Rp 1.000,00 (seribu rupiah) per bulan untuk wakilnya di DPR, wajar kalau seorang wakil rakyat di DPR akan mendapat bonus besar. Main hakim sendiri di jalanan yang membakar penjahat jalanan, yang kepergok dan ketangkap basah, sebagai ciri geliat rakyat atas ketidakperdulian aparat keamanan. Atau sebagai ungkapan ketidakberdayaan menghadapi penjahat berdasi. Siapa yang tidak berdaya ? (hn).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar