Halaman

Jumat, 03 Januari 2014

Perjalanan Hidup Manusia, Mengadu Nasib Atau Melaksanakan Prinsip

Oase     Dibaca :263 kali , 0 komentar

Perjalanan Hidup Manusia, Mengadu Nasib Atau Melaksanakan Prinsip

Ditulis : Herwin Nur, 29 Juli 2013 | 10:50
 Misteri Hidup
Masyarakat Jawa memahami sekaligus meyakini ada lima perkara yang menjadi urusan Allah, yaitu kelahiran, perjalanan hidup, jodoh, rezeki dan kematian. Ada yang menyikapi misteri hidup dengan rasa pasrah, menerima apa adanya sampai ada yang mencoba merekayasanya (minimal membaca primbon Jawa).

Ikhwal 5 perkara tadi diterima dengan nalar secara turun-temurun. Manusia tidak bisa memilih mau dilahirkan oleh perempuan yang mana. Sejak lahir, manusia tidak bisa memperkirakan apakah akan berpindah tempat tinggal atau mau kemana saja. Kalau sudah jodoh hendak ke mana. Jangan bangun kesiangan nanti rezekinya dipatuk ayam. Orang sehat pun tiba-tiba bisa wafat atau bayi dalam kandungan pun sudah dipanggil Yang Maha Pencipta.

Ayat terkait 5 perkara tadi dalam Al-Qur’an (QS Al Ahzab [33] : 17) :  Katakanlah: "Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?" Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah.” 

Masyarakat Jawa dalam mewjudkan beriman kepada takdir yang baik ataupun yang buruk (rukun iman yang enam), dengan kearifan yang menurut zaman sekarang bisa dianggap aneh dan nyleneh.

Lebih lanjut, kita lihat bagaimana perjalanan hidup manusia disikapi. Apakah perjalanan di alam dunia dalam rangka menghindari bencana atau menuju rahmat Allah.

Sesuap Nasi
Perjalanan panjang manusia berawal dari alam arwah, alam rahim, alam dunia, alam barzakh, sampai pada alam akhirat yang berujung pada tempat persinggahan terakhir bagi manusia, surga atau neraka. Al-Qur’an dan Sunnah telah meriwayatkan setiap tahapan dari perjalanan panjang tersebut.

Hakikat hidup ada yang menterjemahkan sebagai hidup untuk makan atau makan untuk hidup, sehingga kesibukannya tak jauh dari urusan mencari sesuap nasi. Orang berilmu pun seolah berlomba, adu akal untuk mencari sesuap nasi dengan cara yang mudah, dengan modal minimal, hasil optimal.

Ternyata ada usaha produktif ibu rumah tangga atau keluarga bisa dilakukan di rumah tinggal, namun tak kurang pencari nafkah sampai harus menyeberangi lautan dalam proses mencari sesuap nasi. Perjalanan di muka bumi, Allah sudah menetapkan dalam (QS Al Israa’ [17] : 70) :Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan*), Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”

*)  Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.

Kalau hidup hanya fokus urusan isi perut, ingat kata Imam Ali “Orang yang pikiran hanya pada isi perut maka derajat dia tak akan jauh beda degan yang keluar dari perutnya”. Kalau hanya ingin cari uang, melahirkan watak yang tak beda  jauh dengan penjahat/koruptor  yang pikirannya hanya uang.

Walhasil
Mengadu nasib, dimulai dari menuntut ilmu dengan strategi agar probabilitas unggul, sukses lebih besar. Rezeki yang dijemput dengan ilmu, secara langsung berikhtiar menambah jumlah yang bukan haknya, walau persentasenya tetap yaitu 2,5% untuk mustahik. Dengan ilmu pula menambah peluang lapangan kerja.

Melaksanakan prinsip, mensyukuri dan menikmati proses, bukan menunggu masa panen. Suatu urusan selesai, lanjut dengan urusan berikut. Telah selesai mengerjakan urusan dunia maka kerjakanlah urusan akhirat. Saat larut dengan urusan dunia, utamakan urusan denga Allah. [HaeN/Wasathon.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar