FAKTOR PROFESIONAL
DALAM PENGEMBANGAN SDM
(sebuah cermin diri dan
institusi)
oleh : Herwin Nur
SENTUHAN MAKNA
Sebagai departemen teknis maka makna profesional lebih dilihat sebagai ciri
nyata yang nampak pada diri seseorang, daripada definisi maupun determinasinya.
Mengingat istilah teknis termasuk pengertian struktur ataupun konstruksi, kita
dapat menyimak slentingan tentang profesional dari sudut agama Islam yaitu :
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya
dengan barisan yang kokoh, bagaikan sebuah bangunan yang terkonstruksi dengan
rapi." (TQS As-Shaf: 4). Dalam penerapan maupun penyerapannya
pekerjaan yang dilakukan secara profesional artinya "pekerjaan itu
dilakukan sesuai dengan keahliannya dan dikerjakan secara sungguh-sungguh
(itqan) dan rapi (ihsan)" (HR Thayalisi).
***
Untuk menciptakan kadar profesionalitas dalam melaksanakan
misi institusi persyaratan dasarnya adalah tersedianya sumber daya manusia yang
andal, pekerjaan yang terprogram dengan baik, dan waktu yang tersedia untuk
melaksanakan program tersebut serta adanya dukungan dana yang memadai.
Sedangkan bagi seorang pimpinan yang profesional dituntut persyaratan antara
lain mampu mengakomodir seluruh potensi yang dimiliki oleh sumber daya yang
tersedia (atau meningkatkan keandalan staf) , bisa menempatkan staf sesuai
dengan ketrampilan dan keahliannya (sehingga menghasilkan kinerja yang
sinergis), dan mempunyai sikap disiplin terhadap waktu yang telah ditetapkan
sebagai batas penyelesaian serta prioritas sebuah program, serta memberikan
peluang bagi sistem untuk meningkatkan kesejahteraan.
Menko Polkam Soesilo Bambang Yudhoyono mengatakan aparat
pemerintahan harus bertumpu pada profesionalisme dan tidak memiliki loyalitas
ganda. Loyalitas aparat pemerintahan, katanya, hanya ditujukan kepada negara
dan bukan kepada partai politik atau kelompok tertentu. "Dengan demikian,
dalam berkerja aparat pemerintahan atau abdi negara tidak mengemban misi dan
agenda lain selain misi dan agenda pemerintah sendiri," terang Yudhoyono,
saat berorasi ilmiah dalam acara wisuda Sekolah Tinggi Administrasi Lembaga
Administrasi Negara (STIA-LAN) di Jakarta, Sabtu (1/9/01).
PRADUGA TOLOK UKUR
PROFESIONAL DI DEP. KIMPRASWIL
Kalau kita cermati, ternyata kondisi keprofesionalan para
pejabat maupun pegawai/karyawan/karyawati Dep. Kimpraswil, bak lingkaran setan.
Salah satu sisinya mengatakan bahwa dengan menyerap pengalaman rutinitas, maka
segala sesuatu dilaksanakan hanya berdasarkan rumusan "seperti
biasanya". Kebanyakan yang mengalami nasib seperti ini adalah para pejabat
Eselon IV dan para pegawai pada umumnya. Mereka tidak pernah atau jarang
melakukan kesalahan (baca: kesalahan baru), akan tetapi secara tak sadar sering
atau acap mengulang kesalahan (baca: kesalahan lama).
Sisi satunya lebih banyak dialami oleh para pejabat
Eselon III ke atas (sampai ke yang non-eselon?) yaitu ternyata
"penyederhanaan" dari "seperti biasanya" tadi. Dampaknya
ternyata tidak sesederhana yang bisa dirumuskan. Bekerja di belakang meja lebih
banyak bersifat normatif. Budaya kerja yang dianut berkisar tentang bagaimana
menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, dengan memobilisir potensi yang ada.
Masalah kesejahteraan yang banyak didambakan ummat Dep. Kimpraswil tetap
berasaskan "sudah tahu bahwa jadi PNS hanya makan Gaji saja".
MENGAKU DIRI
PROFESIONAL
Sadar tak sadar, entah karena jam terbangnya dalam satu
jenis pekerjaan telah segudang, atau seumur-umur hanya mengerjakan yang itu-itu
saja, maka haknyalah kalau mengakui dan mendaulat dirinya sebagai seorang
profesional. Atau menurut "Family 100" bahwa yang profesional itu
ditengarai dengan berkaca mata dan pada gaya bicaranya. Minimal mengatakan dan
menyatakan dirinya profesional, sehingga merasa layak untuk datang ke kantor
siang karena merasa langsung bisa produktif. Kondisi ini dapat kita simak pada
diri orang yang mulai dari cara berkata, berbicara, berjalan, tertawa,
berpakaian bahkan cara bekerjanya kelihatan logik, runtut dan manusiawi.
Walhasil, sebaiknya mereka memikirkan kembali pengakuan itu (minimal untuk
menyadari apakah bak katak di bawah tempurung atau bak memakai kaca mata kuda).
Sepantasnya menyimak daftar acak kriteria profesional berikut ini.
Kesimpulannya pada tingkat kepedulian, kepekaan dan
keacuhan terhadap dimensi dan ruang gerak pekerjaan yang sedang digaulinya,
profesionalisme adalah lebih dinyatakan pada sikap, budipekerti dan perilaku
dan bukan sebagai suatu paket kemampuan teknis yang canggih sekalipun.
Profesionalisme dari batasan Good Governance adalah yang mengutamakan keahlian
yang berlandaskan kompetensi, kode etik, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Yang penting, jangan rancu dengan pengertian Jabatan Fungsional, yaitu
bagi mereka yang dinilai mempunyai potensi yang profesional. Akhirnya,
profesional mandiri adalah teknisi yang mempunyai banyak kepedulian dengan
daftar acak ini:
- Menyikapi pekerjaan dengan ketetapan, kemantapan hati dan rasa memiliki (secara kontekstual sesuai Manajeman SDM mempunyai pengertian dalam arti minimal yaitu kemauan diri sebagai sumber daya manusia untuk dapat mengetahui karena bisa membedakan (tindakan hati/batin), menterjemahkannya atau mengatakan (tindakan lisan) serta kemauan dan kemampuan untuk bertindak / berbuat sesuatu (tindakan fisik));
- Menyiapkan diri dengan prinsip proaktif dalam "mencari" pekerjaan ( secara prosedural sesuai Manajemen SDM sebagai proses/siklus kegiatan yang terencana, terprogram dan teranggarkan secara sistematis yang perlu dilakukan oleh setiap unit kerja atau pemimpin (manajer) dalam melakukan persiapan dan pembinaan berkelanjutan terhadap SDM yang tersedia, untuk menghasilkan manfaat yang optimal ) dengan berbagai kemungkinan untuk menyederhanakan serta menyusun suatu NSPM ;
- Menyiasati pekerjaan dengan melihat permasalahan yang harus diatasi, masalah yang muncul harus dicermati sebagai tantangan dan diantisipasi secara proaktif (mengantisipasi sesuatu dan bukannya menunggu sampai harus ditugaskan) untuk melakukan sesuatu khususnya untuk mengeliminir masalah dini yang akan menjadi masalah potensial ;
- Memperlihatkan sikap akan rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan sesuai bobot tugas (adalah nilai suatu tugas yang antara lain ditentukan oleh dasar berat ringannya beban tugas, luasnya lingkup tugas, tanggung jawab, wewenang, dan dampak yang ditimbulkan) serta kompetensi (adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang Pegawai Negeri Sipil, berupa pengetahuan, ketrampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya) berdasarkan pola dasar karir (adalah pedoman yang memuat teknik dan metode penyusunan pola karier dengan menggunakan unsur-unsur antara lain: pendidikan formal, pendidikan dan pelatihan, usia, masa kerja, pangkat golongan ruang, dan tingkat jabatan);
- Mencermati berbagai terobosan - termasuk mengembangkan jejaring kerja, melakukan kerjasama, menghidupkan iklim dialog, diskusi dan debat - untuk menyelesaikan dan menuntaskan pekerjaan secara tepat waktu. Jangan memandang remeh suatu sistem atau menganggap pekerjaan rutin sebagai hal yang membosankan; tetapi harus mewaspadai adanya gejala dan gejolak yang mengarah ke idle capacity ;
- Mencari cara untuk memperlancar, memudahkan serta mempersingkat rentang birokrasi sesuatu bagi yang dilayani, mendengar kemauan dan kebutuhan pihak yang dilayani serta berfikir seperti pihak yang dilayani ;
- Mengingatkan dirinya untuk terus meningkatkan kemampuan diri dengan belajar secara mandiri mengenai bidang garap yang sedang digeluti. Belajar dari pengalaman dan lingkungan, karena kondisi ini yang menyebabkan orang merasa profesional atau sebaliknya merasa hanya berlari di tempat ;
- Siap bekerja dalam suatu sistem yang mungkin terdapat beban kerja yang tidak proporsional, muatan kerja yang seolah tidak menuntut profesionalisme, lingkungan kerja dengan persaingan tinggi, hubungan kerja yang formal, aturan kerja yang tidak bisa memacu potensi diri serta kemungkinan masuk dalam tim kerja yang kurang solid, kompak dan harmonis; atau bahkan adanya tuntutan kerja yang tidak menjanjikan.
BEDAH PERSYARATAN
Kepiawaian dan kesuksesan seorang staf yang profesional
sesungguhnya membutuhkan persyaratan mendasar antara lain latar belakang
intelektual (tidak hanya dari segi pendidikan formal), tendensi untuk
mewujudkan hari ini lebih baik daripada hari kemarin, motivasi, semangat,
inisiatif, komitmen, keterlibatan langsung (dengan pekerjaan) dan yang
terpenting antusiasme. Paling tidak kita bisa menyerap pengertian bahwa untuk
mewujudkan penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya
guna dan berhasil guna, diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang profesional,
bertanggung jawab, jujur, dan adil melalui pembinaan yang dilaksanakan
berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karir yang dititikberatkan pada
sistem prestasi kerja. Masalahnya, secuil persyaratan itulah yang justru sering
tak dikantongi, atau bahkan lenyap sama sekali, meski seorang staf mengatakan
dirinya sebagai profesional. Salah satu kunci sukses seorang profesional adalah
menyukai sekaligus menikmati apa yang dikerjakan. Seolah bekerja tanpa beban,
suka tak suka. Bebannya adalah masa depannya, yang harus bisa dinikmati.
Nyatanya, kunci sederhana inilah yang juga sering diabaikan, baik oleh mereka
yang mempunyai pengalaman kerja cukup lama maupun yang baru akan meniti karir.
Mereka yang baru akan meniti karir cenderung mengagungkan
disiplin ilmunya, memikirkan bakat, kemampuan, kekuatan atau pengalaman apa
saja yang disandangnya. Padahal itu bukan masalah sebenarnya meski sangat
relevan dengan bidang kerja. Yang paling penting buat diperhatikan adalah apa
yang menjadi keperdulian seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Keperdulian
inilah yang dinilai mencerminkan apakah orang tersebut menyukai dan menikmati
pekerjaannya atau tidak.
Staf yang sudah lama bekerjapun seringkali terlalu sibuk
memikirkan kinerja institusinya, sibuk menemukan kriteria yang pas supaya dapat
dikatakan sukses. Walhasil, kebanyakan dari mereka justru tak memahami sama
sekali apa sebenarnya yang mereka perdulikan dan sukai dari pekerjaan yang
dilakukan, sehingga muncul kesan tak ada antusiasme dalam bekerja. Sekedar
mengerjakan tugas dan selesai sampai di situ. Situasi ini tentunya tak lantas
berarti jalan buntu menjadi profesional mandiri. Masih banyak cara, setidaknya
seperti yang dialami oleh sebagian besar dari kita. Mulai dengan menelusuri
perjalanan karir sebelum di ambang "gang buntu". Munculkan pertanyaan
kepada diri sendiri semisal :"Kapan saya (mulai dan bisa) menyenangi suatu
pekerjaan?". Masih belum lega, susun pretasi kerja versi sendiri yang
telah dilaksanakan/dihasilkan selama ini, serta tanyakan kembali ikhwal:
- Pekerjaan apa yang dirasakan bisa memulainya, mengerjakannya dan melaksana -kannya serta menuntaskannya secara total?
- Pekerjaan mana yang paling dinikmati saat mengerjakannya?
- Pekerjaan mana yang sering dirasakan bisa memuaskan diri?
- Pekerjaan mana yang acap mendatangkan rasa percaya diri atas kemampuan?
- Pekerjaan mana yang kerap memberikan kebanggaan pada diri sendiri?
- Pekerjaan mana yang rajin menyumbangkan kepuasan batin?, atau
- Pekerjaan mana yang mungkin secara rutin dihasilkan lebih baik dibanding hari kemarin!.
Kalau semua pertanyaan
tersebut telah terjawab (kendati hanya dalam hati dan lubuk sanubari) berarti
seseorang, siapapun (mungkin saya), telah mempunyai apa disebut personal
strategic plan . Kredo inilah yang dianggap memudahkan seseorang menetukan atau
memilih karir profesionalnya. Kendati begitu perlu diingat, pilihan karir
tersebut tak akan begitu saja berjalan mulus karena dia akan menghadapi sederet
tantangan. Suksesnya profesional dalam berkarir dibentuk dengan bagaimana
seseorang menghadapi sekaligus mengatasi, mengantisipasi sekaligus menciptakan
peluang, menyeleksi sekaligus mengeliminir atau bahkan mengalihkan sekaligus
memformulasikan dari satu tantangan ke tantangan lain. Serta peran apa yang
kita mainkan, baik dalam penyelesaian tugas secara mandiri (dalam skala
oprganisasi) maupun dengan mitra kerja (stakeholders). Tentukan dulu peran yang
ingin dimainkan, kapan harus bermain, bentuk permainan yang ingin ditampilkan
serta kemungkinan lainnya, terakhir bersikaplah sebagai profesional.
REPOSISI FAKTA
Kenyataan lain, PNS yang mengaku profesional, senyatanya
mereka acap tak mempunyai kemantapan, kesenangan (fun) apalagi kebahagiaan saat
bekerja sehingga tak memperdulikan lingkungan maupun pekerjaannya. Dalam
kondisi seperti ini, boleh jadi, mereka yang mengaku profesional tadi sudah
kehilangan sesuatu yang sangat berharga : kemenangan profesional. Atau boleh
jadi, bagi mereka yang telah menduduki jabatan tertentu (khususnya struktural)
merasa telah mendapat "kemenangan"! Sebuah kemenangan simbolis, yang
nyaris tanpa makna.
Sisi lain dari profesional adalah budi pekerti, dalam
arti sempit yaitu tabiat, sedangkan dalam arti luas sebagai habitat yang
menyetir dan menyortir tabiat. Tabiat masih bisa dipoles secara manusia, tetapi
habitat lebih menyiratkan adanya persaingan bebas bagi yang tak ingin terlibas.
Profesional bisa dalam skala satminkal, mungkin, dan ini
bisa terdeteksi pada suatu satminkal yang mengalami perombakan. Hal-hal yang
berkenaan dengan "seperti biasanya" mengalami reformasi total. Orang
sudah tidak bisa mengandalkan masa lampau, sudah tidak layak lagi
mengagung-agungkan masa lalu, zaman keemasan sudah lewat - yang ada hanyalah
bagaimana menghadapi kenyataan di depan mata.
MENCARI POSISI
Jelas terminologi profesional merupakan hak asasi pegawai
untuk menterjemahkan secara bebas. Tentang Satpam, mulai dari tertib parkir,
tidak ada curanmor sampai areal parkir yang "layak jual" dibutuhkan
profesionalisme, dalam manajemen maupun personil. Bagaimana dengan kiprah PNS
yang masuk kategori staf profesional (bukan staf penunjang) kesehariannya atau
bagaimana cara mereka mewujudkan profesionalismenya.
Ada yang bekerja dengan kecepatan di atas 60 km/jam, ada
yang menjadi doktor (mondok di kantor) serta adapula yang berlawanan dari
nuansa tersebut. Ironisnya, untuk menjadi orang di lingkungan Dep. Kimpraswil
tidak harus atau hanya pandai saja, tetapi juga harus pandai-pandai. Termasuk
untuk pandai berpartai politik.
Pada dasarnya semua PNS sudah mengantongi "SIM"
untuk bekerja. Kondisi sekarang, di era Kabinet Gotong Royong, sudah bisa
dibaca bahwa yang akan dipromosikan adalah yang mempunyai potensi aksesbilitas
sehingga bisa mendatangkan nilai tambah bagi institusi. Nilai profesionalisme
dalam kondisi ini lebih mengarah ke pertanyaan apa dan bagaimana. Dalam lingkup
pelayanan kepada masyarakat memang dibutuhkan pejabat yang supel, manusiawi dan
apa adanya.
Artinya, dimulai dari apa yang bisa kita hasilkan atau
manfaat apa yang bisa dipakai institusi atas hasil kerja kita. Minimal kita
mengetahui bahwa hasil kerja kita untuk apa, bukan untuk siapa; apa yang kita
kerjakan adalah sesuatu yang bermanfaat bagi institusi (yang pada gilirannya
tentu akan berdampak manfaat pada diri sendiri). Ada yang bekerja berdasarkan
tupoksi, ada yang berdasarkan kebiasaan lingkungan, ada yang berdasarkan
selera, ada yang berdasarkan perintah atau ada yang sekedar memanfaatkan waktu
dan fasilitas kantor.
Untuk dimensi bagaimana, bisa kita artikan bagaimana kita
menempatkan diri dalam ruang gerak institusi. Bagaimana kita bisa
diterjemahbebaskan sebagai :
- Bagaimana kita menampilkan kinerja, baik dalam kapasitas mandiri maupun dalam tim kerja yang sinergis, khususnya dengan adanya pola cross functional organization ;
- Bagaimana kita mensupport pimpinan/institusi dalam hal pemikiran dan tindak lanjut yang berorientasi ke target/sasaran kerja ;
- Bagaimana kita mengawali suatu kerja dalam sistem dengan mengembangkan daya saing atau kompetisi untuk menghasilkan kinerja yang tepat biaya, waktu dan kualitas serta tepat sasaran ;
- Bagaimana kita menjabarkan tugas dari pimpinan dalam bentuk sistem atau jaringan kerja, yang bersifat antisipasi atau proaktif serta menerus sehingga menghasilkan produk yang siap pakai ;
- Bagaimana kita memposisikan diri dalam jajaran serta rentang kendali yang birokratis sehingga kita tetap bisa untuk mengembangkan serta menampakkan potensi diri ;
- Bagaimana kita mengkontribusikan diri ke dalam sistem yang kelihatannya solid, formal dan birokratis sehingga kita bisa sebagai katalisator atas dinamika institusi ;
- Bagaimana kita mengaktualisasikan kinerja intelektual secara nyata dalam sistem dan mekanisme kerja ;
- Bagaimana kita menjaga keseimbangan, dimulai dari IQ dan EQ, sebagai makhluk sosial serta adanya ikatan sebagai aparatur negara dan abdi masyarakat ;
- Bagaimana kita mengakui atau jujur atas keterbatasan diri sendiri, secara esensi justru mengembangkan kemampuan yang belum ada menjadi ada (sesuai permintaan pasar), jadi bukan hanya men-diklat kemampuan formal yang memang sudah ada.
Selanjutnya terserah kita untuk mempersiapkan, mematut dan memposisikan
diri dalam koridor yang kita anggap paling aman, nyaman dan membawa ketentraman
lahir batin.
ORIENTASI PASAR
Iseng kita sekilas mencermati budi pekerti PNS di
lingkungan Dep. Kimpraswil, terasa biarpun pada level yang sama, ternyata ada
segelintir pegawai memiliki tingkat kondisi "pede" yang tidak sama
dan terkadang mencolok perbedaannya. Atau sebaliknya, kendati hanya di papan
bawah, tetapi karena unit kerjanya bisa akses langsung ke menteri atau hasil
kerjanya bisa menentukan/berpengaruh, tak heran akan menghasilkan "kelas
eksekutif".
Kalau di perbankan, officer bidang kredit, relatif lebih
busung dada ketimbang officer misalnya di unit personalia ! Pendeknya, officer
yang fungsi rutinnya akan menghasilkan pemasukan bagi institusi, termasuk
pemasaran, konon lebih "sombong" dan merasa "lebih bernilai"
dibanding karyawan unit lainnya. Bagaimana dengan satminkal-satminkal di Dep.
Kimpraswil ?
Mengapa terjadi semacam diskriminasi dalam mekanisme
kerja? Primordial thinking. Itulah jawabannya. Dalam program pembangunan lima
tahun yang memunculkan egoisme sektoral akhirnya terbiasa berfikir dalam format
peng-kasta-an. Ada kelas utama (leading sector), kelas sedang-sedang saja dan
kelas marginal. Pola pikir seperti itu telah merasuk ke berbagai unit kerja.
Padahal dengan format berfikir demikian, akan menstimulasi berbagai kondisi
yang tidak kondusif. Mulai dari arogansi sektoral yang akhirnya berdampak tidak
saling dukung. Walhasil, bukan pula tidak mungkin kinerja institusi menjadi
bias, hanya karena soal sepele seperti itu. Perimbangan anggaran bukan
menyiratkan adanya primordial thinking.
Kondisi peng-kasta-an ini terasa semakin kental dan
formal bila diterapkannya pakaian dinas / kerja bagi pegawai. Apakah tidak ada
benang merah yang akan menyederhanakan permasalahan karena adanya perbedaan
kutub tersebut? Sebagai saran dapat saja dilakukan semacam revolusi dalam
mekanisme kerja alias mendekonstruksi kembali institusi. Semisal, unit kerja
yang semula hanya sekedar pendukung (supporter) "dilepaskan" dari
institusi dan jadikan mandiri. Bebas untuk cari penerimaan/pendapatan sendiri
(misal PNBP, KSO, dsb), itulah solusinya. Sederhananya yaitu sinergikan semua
unit yang semula seolah-olah hanya sekedar cost center yang pelan tapi pasti
akan bergerak sebagai profit center. Tepatnya, Jabatan Fungsional betul-betul
ditunjang keberadaannya. Atau diklat teknis fungsional lebih diintensifkan,
apalagi dibanding dengan diklatpim.
Dep. Kimpraswil sebagai institusi yang cukup besar,
seandainya cara pengelolaan institusinya dengan model perusahaan maka cenderung
dipilah menjadi dua element besar, yakni yang disebut strategic business
unit (SBU) dan strategic functional unit (SFU) atau
kerap dikenal juga sebagai unit supporting.
Contoh konkret SFU adalah unit yang mengelola
sumber daya manusia, misal Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM).
Keberadaan BPSDM yang didalamnya terdapat komponen pendidikan dan pelatihan
menjadikannya sebagai sasaran complain pegawai. Mulai dari yang sifatnya
informasi sampai kesempatan atau peluang yang merasa terhambat/tidak jelas.
Paling tidak banyak hal yang bisa mengakibatkan citra unit sumber daya manusia
menjadi sangat marginal dibandingkan dengan unit pengawasan, misalnya.
Image yang disandang unit sumber daya manusia menjadi
semakin menyedihkan bila institusi menjadikan pengembangan sumber daya manusia
sebagai bagian dari biaya overhead. Gampangnya, pengembangan SDM belum dianggap
sebagai investasi, seolah tidak ada value-nya, seakan tidak ada nilai plus-nya.
Untuk menyingkirkan citra yang jelas akan menjatuhkan motivasi kerja itu,
mestinya institusi dapat meninjau kembali semua pola perlakuan dan kebijakan
terhadap unit yang tergolong SFU, termasuk unit pengembangan SDM tadi. Cara
yang cukup murah meriah adalah dengan mengkonversikan SFU SDM itu menjadi SBU.
Kalau BPSDM hanya dianggap membuat program pendidikan dan pelatihan ataupun
pengembangan peran masyarakat maka perannya ditingkatkan dengan mencari bisnis
bagi institusi, yang berkaitan dengan SDM.
Konkritnya adalah dengan menugaskan BPSDM untuk memberi
jasa pelatihan kepada institusi maupun instansi, sebagai fasilitator, sebagai
pendamping, atau mengembangan pelatihan untuk pelatih, dsb. jadikan unit SDM
sebagai advisory unit dalam konteks pengembangan SDM, mulai dari sistem
perekrutan, penggajian, career path dan seribu satu jenis aktivitas lainnya.
Dari berbagai kegiatan itu, unit SDM akan memperoleh pemasukan dan mereka tidak
lagi sekadar cost center.
Kalau langkah itu dianggap belum cukup, bisa saja unit
SDM tadi dijadikan semacam institusi tersendiri. Dan institusi induk
meng-outsourcing-kan pengelolaan SDM-nya kepada unit tadi, tentu dengan
hitungan biaya tersendiri. Dengan cara seperti itu, unit SDM bukan saja sekedar
menjadi profit center tapi juga dibutuhkan unit lainnya.
Itu baru permisalan sederhana, ada lagi yang lebih
dahsyat. Saat ini (kata pengamat), hampir semua institusi besar memiliki unit
yang disebut sebagai strategic planning atau unit perencanaan, yang tugasnya
membuat corporate plan, business plan dan pelbagai strategi lainnya, termasuk melakukan
riset untuk kepentingan institusi. Semua kegiatan itu memerlukan biaya,
sehingga disebut juga sebagai cost center unit.
Padahal, unit bersangkutan juga memiliki potensi untuk
menjadi profit center. Caranya jadikan unit strategic planning
itu sebagai unit tersendiri di luar perusahaan. Misalnya, sebagai anak
institusi yang bergerak di global riset. Outputnya dijual kepada
unit-unit lain di institusi induk. Selain itu, unit atau anak institusi yang
telah dibentuk itu bisa pula menjual jasanya bagi institusi lain.
Percayalah, dengan cara begini, bukan saja akan menepis
pemikiran pengkastaan mengenai satminkal kelas utama dan atau marginal, tetapi
juga semakin meningkatkan tingkat kompetisi di antara satminkal-satminkal di
lingkungan Dep. Kimpraswil.
KESIMPULAN UMUM DARI
DEKONSTRUKSI
Dalam dunia Korpri kata profesional ditempatkan sebagai
penutup Panca Prasetya Korpri, bukan tanpa alasan tentunya.
Namun, tentu saja upaya melakukan dekonstruksi institusi
seperti diuraikan di atas bukannya tanpa konsekuensi financial. Setiap unit
yang dipersilahkan menjadi SBU atau anak institusi, harus diberi suntikan modal
terlebih dahulu. Kemudian, mereka juga mesti mengelola neraca sendiri. Ada sisi
asset dan ada pula sisi liabilities-nya. Unit-unit itu dikelola persis seperti
mengelola institusi seutuhnya. Hanya saja mereka telah memiliki captive market
yakni unit-unit lain di institusi induk.
Implikasi yang lain adalah pengaturan karir dari karyawan
itu sendiri. Kalau masih dalam satu institusi, maka karyawan yang ditempatkan
di satminkal A bisa dengan terencana dan terprogramkan dipindahkan ke satminkal
B dan lain sebaginya. Dal hal itu bisa dikategorikan sebagai mutasi, promosi
atau bahkan demosi. Urusannya ketika dekonstruksi dilakukan, institusi
sesungguhnya tengah berpindah bentuk dari model institusi tunggal menjadi
inc.corporated. Dampaknya, pengaturan karir dan segala fasilitas karyawan mesti
ditinjau dan disetarakan.
Tapi, memang filosofi dekonstruksi itu, salah satunya
adalah untuk pensetaraan satminkal. Rasanya, dalam iklim yang
menggembar-gemborkan otonomi daerah saat ini, maka spirit yang sama juga bisa
diterapkan oleh berbagai institusi. Siapa tahu hasilnya memang akan lebih
efektif.
Dalam kondisi tertentu, habitat akan lebih tepat guna
untuk direkayasa sehingga profesionalisme menjadi bermanfaat dan bermakna.
Sedangkan profesionalisme seorang pemimpin tak kurang dari adab Kepemimpinan
adalah suatu bentuk amanah yang bergerak secara paralel dengan
pertanggungjawabannya. Hal ini sesuai dengan fungsi sebagai khalifatullah fil
ardh yang Allah SWT berikan kepada manusia, dengan mengemban misi membangun dan
memelihara bumi.
Kepemimpinan bukan keistimewaan, tetapi tanggung jawab.
Ia bukan fasilitas tetapi pengorbanan. Ia juga bukan leha-leha tetapi kerja
keras, ia bukan kesewenang-wenangan bertindak, tetapi kewenangan untuk
melayani. Selanjutnya, kepemimpinan adalah keteladanan berbuat dan kepeloporan
bertindak.
Menjadi pemimpin pada saat yang sama adalah komitmen
untuk menegakkan keadilan, sebab dunia ini tidak akan dapat tegak kecuali di
atas sistem yang adil, tanpa pandang bulu. Mengenai hal ini Ibnu Taimiyah
mengatakan, "Keadilan adalah (jiwa) sistem segala sesuatu. Apabila urusan
dunia ditegakkan dengan keadilan maka dunia pun akan tegak meskipun pelakunya
di akhirat tidak mendapat nasib baik (karena tidak beriman di dunia).
Sebaliknya, jika tidak ditegakkan dengan adil maka dunia pun tidak akan tegak
meskipun pelakunya itu mempunyai iman yang balasannya akan didapat di
akhirat."
DAFTAR PUSTAKA
- Ahmad Faiz , "KEAGUNGAN SIFAT SABAR", Republika, 11 September 2001
- Elvyn G. Masassya, "DEKONSTRUKSI ELEMEN INSTITUSI MENJADI PROFIT CENTER", Republika, 18 Juli 2001
- Istianah, "KEPEMIMPINAN", Republika, 01 September 2001
- Mohammad Soleh Hamid, "PEMIMPIN YANG BERSIH", Republika, 29 Agustus 2001
- Muhammad Haris KS, "POST POWER SYNDROME", Republika, 04 September 2001
- Republika, 03 September 2001 "APARAT DIMINTA TAK MILIKI LOYALITAS GANDA"
- Republika, 22 Agustus 2001, "JANGAN TERBURU MENGAKU DIRI PROFESIONAL"
- Zainuddin Al-Aziz, "MAWAS DIRI", Republika, 28 Agustus 2001
Oleh: Herwin Nur
Buletin Pengawasan No.
30 & 31 Th. 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar