Halaman

Rabu, 15 Januari 2014

FAKTOR PROFESIONAL DALAM PENGEMBANGAN SDM (sebuah cermin diri dan institusi)



FAKTOR PROFESIONAL DALAM PENGEMBANGAN SDM
(sebuah cermin diri dan institusi)

 

oleh : Herwin Nur


SENTUHAN MAKNA
Sebagai departemen teknis maka makna profesional lebih dilihat sebagai ciri nyata yang nampak pada diri seseorang, daripada definisi maupun determinasinya. Mengingat istilah teknis termasuk pengertian struktur ataupun konstruksi, kita dapat menyimak slentingan tentang profesional dari sudut agama Islam yaitu : "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dengan barisan yang kokoh, bagaikan sebuah bangunan yang terkonstruksi dengan rapi." (TQS As-Shaf: 4). Dalam penerapan maupun penyerapannya pekerjaan yang dilakukan secara profesional artinya "pekerjaan itu dilakukan sesuai dengan keahliannya dan dikerjakan secara sungguh-sungguh (itqan) dan rapi (ihsan)" (HR Thayalisi).
***
            Untuk menciptakan kadar profesionalitas dalam melaksanakan misi institusi persyaratan dasarnya adalah tersedianya sumber daya manusia yang andal, pekerjaan yang terprogram dengan baik, dan waktu yang tersedia untuk melaksanakan program tersebut serta adanya dukungan dana yang memadai. Sedangkan bagi seorang pimpinan yang profesional dituntut persyaratan antara lain mampu mengakomodir seluruh potensi yang dimiliki oleh sumber daya yang tersedia (atau meningkatkan keandalan staf) , bisa menempatkan staf sesuai dengan ketrampilan dan keahliannya (sehingga menghasilkan kinerja yang sinergis), dan mempunyai sikap disiplin terhadap waktu yang telah ditetapkan sebagai batas penyelesaian serta prioritas sebuah program, serta memberikan peluang bagi sistem untuk meningkatkan kesejahteraan.

            Menko Polkam Soesilo Bambang Yudhoyono mengatakan aparat pemerintahan harus bertumpu pada profesionalisme dan tidak memiliki loyalitas ganda. Loyalitas aparat pemerintahan, katanya, hanya ditujukan kepada negara dan bukan kepada partai politik atau kelompok tertentu. "Dengan demikian, dalam berkerja aparat pemerintahan atau abdi negara tidak mengemban misi dan agenda lain selain misi dan agenda pemerintah sendiri," terang Yudhoyono, saat berorasi ilmiah dalam acara wisuda Sekolah Tinggi Administrasi Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN) di Jakarta, Sabtu (1/9/01).

PRADUGA TOLOK UKUR PROFESIONAL DI DEP. KIMPRASWIL
            Kalau kita cermati, ternyata kondisi keprofesionalan para pejabat maupun pegawai/karyawan/karyawati Dep. Kimpraswil, bak lingkaran setan. Salah satu sisinya mengatakan bahwa dengan menyerap pengalaman rutinitas, maka segala sesuatu dilaksanakan hanya berdasarkan rumusan "seperti biasanya". Kebanyakan yang mengalami nasib seperti ini adalah para pejabat Eselon IV dan para pegawai pada umumnya. Mereka tidak pernah atau jarang melakukan kesalahan (baca: kesalahan baru), akan tetapi secara tak sadar sering atau acap mengulang kesalahan (baca: kesalahan lama).

            Sisi satunya lebih banyak dialami oleh para pejabat Eselon III ke atas (sampai ke yang non-eselon?) yaitu ternyata "penyederhanaan" dari "seperti biasanya" tadi. Dampaknya ternyata tidak sesederhana yang bisa dirumuskan. Bekerja di belakang meja lebih banyak bersifat normatif. Budaya kerja yang dianut berkisar tentang bagaimana menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, dengan memobilisir potensi yang ada. Masalah kesejahteraan yang banyak didambakan ummat Dep. Kimpraswil tetap berasaskan "sudah tahu bahwa jadi PNS hanya makan Gaji saja".

MENGAKU DIRI PROFESIONAL
            Sadar tak sadar, entah karena jam terbangnya dalam satu jenis pekerjaan telah segudang, atau seumur-umur hanya mengerjakan yang itu-itu saja, maka haknyalah kalau mengakui dan mendaulat dirinya sebagai seorang profesional. Atau menurut "Family 100" bahwa yang profesional itu ditengarai dengan berkaca mata dan pada gaya bicaranya. Minimal mengatakan dan menyatakan dirinya profesional, sehingga merasa layak untuk datang ke kantor siang karena merasa langsung bisa produktif. Kondisi ini dapat kita simak pada diri orang yang mulai dari cara berkata, berbicara, berjalan, tertawa, berpakaian bahkan cara bekerjanya kelihatan logik, runtut dan manusiawi. Walhasil, sebaiknya mereka memikirkan kembali pengakuan itu (minimal untuk menyadari apakah bak katak di bawah tempurung atau bak memakai kaca mata kuda). Sepantasnya menyimak daftar acak kriteria profesional berikut ini.

            Kesimpulannya pada tingkat kepedulian, kepekaan dan keacuhan terhadap dimensi dan ruang gerak pekerjaan yang sedang digaulinya, profesionalisme adalah lebih dinyatakan pada sikap, budipekerti dan perilaku dan bukan sebagai suatu paket kemampuan teknis yang canggih sekalipun. Profesionalisme dari batasan Good Governance adalah yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kompetensi, kode etik, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang penting, jangan rancu dengan pengertian Jabatan Fungsional, yaitu bagi mereka yang dinilai mempunyai potensi yang profesional. Akhirnya, profesional mandiri adalah teknisi yang mempunyai banyak kepedulian dengan daftar acak ini: 

  • Menyikapi pekerjaan dengan ketetapan, kemantapan hati dan rasa memiliki (secara kontekstual sesuai Manajeman SDM mempunyai pengertian dalam arti minimal yaitu kemauan diri sebagai sumber daya manusia untuk dapat mengetahui karena bisa membedakan (tindakan hati/batin), menterjemahkannya atau mengatakan (tindakan lisan) serta kemauan dan kemampuan untuk bertindak / berbuat sesuatu (tindakan fisik));
  • Menyiapkan diri dengan prinsip proaktif dalam "mencari" pekerjaan ( secara prosedural sesuai Manajemen SDM sebagai proses/siklus kegiatan yang terencana, terprogram dan teranggarkan secara sistematis yang perlu dilakukan oleh setiap unit kerja atau pemimpin (manajer) dalam melakukan persiapan dan pembinaan berkelanjutan terhadap SDM yang tersedia, untuk menghasilkan manfaat yang optimal ) dengan berbagai kemungkinan untuk menyederhanakan serta menyusun suatu NSPM ; 
  • Menyiasati pekerjaan dengan melihat permasalahan yang harus diatasi, masalah yang muncul harus dicermati sebagai tantangan dan diantisipasi secara proaktif (mengantisipasi sesuatu dan bukannya menunggu sampai harus ditugaskan) untuk melakukan sesuatu khususnya untuk mengeliminir masalah dini yang akan menjadi masalah potensial ;
  • Memperlihatkan sikap akan rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan sesuai bobot tugas (adalah nilai suatu tugas yang antara lain ditentukan oleh dasar berat ringannya beban tugas, luasnya lingkup tugas, tanggung jawab, wewenang, dan dampak yang ditimbulkan) serta kompetensi (adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang Pegawai Negeri Sipil, berupa pengetahuan, ketrampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya) berdasarkan pola dasar karir (adalah pedoman yang memuat teknik dan metode penyusunan pola karier dengan menggunakan unsur-unsur antara lain: pendidikan formal, pendidikan dan pelatihan, usia, masa kerja, pangkat golongan ruang, dan tingkat jabatan);
  • Mencermati berbagai terobosan - termasuk mengembangkan jejaring kerja, melakukan kerjasama, menghidupkan iklim dialog, diskusi dan debat - untuk menyelesaikan dan menuntaskan pekerjaan secara tepat waktu. Jangan memandang remeh suatu sistem atau menganggap pekerjaan rutin sebagai hal yang membosankan; tetapi harus mewaspadai adanya gejala dan gejolak yang mengarah ke idle capacity ;
  • Mencari cara untuk memperlancar, memudahkan serta mempersingkat rentang birokrasi sesuatu bagi yang dilayani, mendengar kemauan dan kebutuhan pihak yang dilayani serta berfikir seperti pihak yang dilayani ;
  • Mengingatkan dirinya untuk terus meningkatkan kemampuan diri dengan belajar secara mandiri mengenai bidang garap yang sedang digeluti. Belajar dari pengalaman dan lingkungan, karena kondisi ini yang menyebabkan orang merasa profesional atau sebaliknya merasa hanya berlari di tempat ;
  • Siap bekerja dalam suatu sistem yang mungkin terdapat beban kerja yang tidak proporsional, muatan kerja yang seolah tidak menuntut profesionalisme, lingkungan kerja dengan persaingan tinggi, hubungan kerja yang formal, aturan kerja yang tidak bisa memacu potensi diri serta kemungkinan masuk dalam tim kerja yang kurang solid, kompak dan harmonis; atau bahkan adanya tuntutan kerja yang tidak menjanjikan.

BEDAH PERSYARATAN
            Kepiawaian dan kesuksesan seorang staf yang profesional sesungguhnya membutuhkan persyaratan mendasar antara lain latar belakang intelektual (tidak hanya dari segi pendidikan formal), tendensi untuk mewujudkan hari ini lebih baik daripada hari kemarin, motivasi, semangat, inisiatif, komitmen, keterlibatan langsung (dengan pekerjaan) dan yang terpenting antusiasme. Paling tidak kita bisa menyerap pengertian bahwa untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna, diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang profesional, bertanggung jawab, jujur, dan adil melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karir yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja. Masalahnya, secuil persyaratan itulah yang justru sering tak dikantongi, atau bahkan lenyap sama sekali, meski seorang staf mengatakan dirinya sebagai profesional. Salah satu kunci sukses seorang profesional adalah menyukai sekaligus menikmati apa yang dikerjakan. Seolah bekerja tanpa beban, suka tak suka. Bebannya adalah masa depannya, yang harus bisa dinikmati. Nyatanya, kunci sederhana inilah yang juga sering diabaikan, baik oleh mereka yang mempunyai pengalaman kerja cukup lama maupun yang baru akan meniti karir.

            Mereka yang baru akan meniti karir cenderung mengagungkan disiplin ilmunya, memikirkan bakat, kemampuan, kekuatan atau pengalaman apa saja yang disandangnya. Padahal itu bukan masalah sebenarnya meski sangat relevan dengan bidang kerja. Yang paling penting buat diperhatikan adalah apa yang menjadi keperdulian seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Keperdulian inilah yang dinilai mencerminkan apakah orang tersebut menyukai dan menikmati pekerjaannya atau tidak.

            Staf yang sudah lama bekerjapun seringkali terlalu sibuk memikirkan kinerja institusinya, sibuk menemukan kriteria yang pas supaya dapat dikatakan sukses. Walhasil, kebanyakan dari mereka justru tak memahami sama sekali apa sebenarnya yang mereka perdulikan dan sukai dari pekerjaan yang dilakukan, sehingga muncul kesan tak ada antusiasme dalam bekerja. Sekedar mengerjakan tugas dan selesai sampai di situ. Situasi ini tentunya tak lantas berarti jalan buntu menjadi profesional mandiri. Masih banyak cara, setidaknya seperti yang dialami oleh sebagian besar dari kita. Mulai dengan menelusuri perjalanan karir sebelum di ambang "gang buntu". Munculkan pertanyaan kepada diri sendiri semisal :"Kapan saya (mulai dan bisa) menyenangi suatu pekerjaan?". Masih belum lega, susun pretasi kerja versi sendiri yang telah dilaksanakan/dihasilkan selama ini, serta tanyakan kembali ikhwal:
  • Pekerjaan apa yang dirasakan bisa memulainya, mengerjakannya dan melaksana -kannya serta menuntaskannya secara total?
  • Pekerjaan mana yang paling dinikmati saat mengerjakannya?
  • Pekerjaan mana yang sering dirasakan bisa memuaskan diri?
  • Pekerjaan mana yang acap mendatangkan rasa percaya diri atas kemampuan?
  • Pekerjaan mana yang kerap memberikan kebanggaan pada diri sendiri?
  • Pekerjaan mana yang rajin menyumbangkan kepuasan batin?, atau
  • Pekerjaan mana yang mungkin secara rutin dihasilkan lebih baik dibanding hari kemarin!.

      Kalau semua pertanyaan tersebut telah terjawab (kendati hanya dalam hati dan lubuk sanubari) berarti seseorang, siapapun (mungkin saya), telah mempunyai apa disebut personal strategic plan . Kredo inilah yang dianggap memudahkan seseorang menetukan atau memilih karir profesionalnya. Kendati begitu perlu diingat, pilihan karir tersebut tak akan begitu saja berjalan mulus karena dia akan menghadapi sederet tantangan. Suksesnya profesional dalam berkarir dibentuk dengan bagaimana seseorang menghadapi sekaligus mengatasi, mengantisipasi sekaligus menciptakan peluang, menyeleksi sekaligus mengeliminir atau bahkan mengalihkan sekaligus memformulasikan dari satu tantangan ke tantangan lain. Serta peran apa yang kita mainkan, baik dalam penyelesaian tugas secara mandiri (dalam skala oprganisasi) maupun dengan mitra kerja (stakeholders). Tentukan dulu peran yang ingin dimainkan, kapan harus bermain, bentuk permainan yang ingin ditampilkan serta kemungkinan lainnya, terakhir bersikaplah sebagai profesional.

REPOSISI FAKTA
            Kenyataan lain, PNS yang mengaku profesional, senyatanya mereka acap tak mempunyai kemantapan, kesenangan (fun) apalagi kebahagiaan saat bekerja sehingga tak memperdulikan lingkungan maupun pekerjaannya. Dalam kondisi seperti ini, boleh jadi, mereka yang mengaku profesional tadi sudah kehilangan sesuatu yang sangat berharga : kemenangan profesional. Atau boleh jadi, bagi mereka yang telah menduduki jabatan tertentu (khususnya struktural) merasa telah mendapat "kemenangan"! Sebuah kemenangan simbolis, yang nyaris tanpa makna.

            Sisi lain dari profesional adalah budi pekerti, dalam arti sempit yaitu tabiat, sedangkan dalam arti luas sebagai habitat yang menyetir dan menyortir tabiat. Tabiat masih bisa dipoles secara manusia, tetapi habitat lebih menyiratkan adanya persaingan bebas bagi yang tak ingin terlibas.
            Profesional bisa dalam skala satminkal, mungkin, dan ini bisa terdeteksi pada suatu satminkal yang mengalami perombakan. Hal-hal yang berkenaan dengan "seperti biasanya" mengalami reformasi total. Orang sudah tidak bisa mengandalkan masa lampau, sudah tidak layak lagi mengagung-agungkan masa lalu, zaman keemasan sudah lewat - yang ada hanyalah bagaimana menghadapi kenyataan di depan mata.

MENCARI POSISI
            Jelas terminologi profesional merupakan hak asasi pegawai untuk menterjemahkan secara bebas. Tentang Satpam, mulai dari tertib parkir, tidak ada curanmor sampai areal parkir yang "layak jual" dibutuhkan profesionalisme, dalam manajemen maupun personil. Bagaimana dengan kiprah PNS yang masuk kategori staf profesional (bukan staf penunjang) kesehariannya atau bagaimana cara mereka mewujudkan profesionalismenya.

            Ada yang bekerja dengan kecepatan di atas 60 km/jam, ada yang menjadi doktor (mondok di kantor) serta adapula yang berlawanan dari nuansa tersebut. Ironisnya, untuk menjadi orang di lingkungan Dep. Kimpraswil tidak harus atau hanya pandai saja, tetapi juga harus pandai-pandai. Termasuk untuk pandai berpartai politik.

            Pada dasarnya semua PNS sudah mengantongi "SIM" untuk bekerja. Kondisi sekarang, di era Kabinet Gotong Royong, sudah bisa dibaca bahwa yang akan dipromosikan adalah yang mempunyai potensi aksesbilitas sehingga bisa mendatangkan nilai tambah bagi institusi. Nilai profesionalisme dalam kondisi ini lebih mengarah ke pertanyaan apa dan bagaimana. Dalam lingkup pelayanan kepada masyarakat memang dibutuhkan pejabat yang supel, manusiawi dan apa adanya.

            Artinya, dimulai dari apa yang bisa kita hasilkan atau manfaat apa yang bisa dipakai institusi atas hasil kerja kita. Minimal kita mengetahui bahwa hasil kerja kita untuk apa, bukan untuk siapa; apa yang kita kerjakan adalah sesuatu yang bermanfaat bagi institusi (yang pada gilirannya tentu akan berdampak manfaat pada diri sendiri). Ada yang bekerja berdasarkan tupoksi, ada yang berdasarkan kebiasaan lingkungan, ada yang berdasarkan selera, ada yang berdasarkan perintah atau ada yang sekedar memanfaatkan waktu dan fasilitas kantor.

            Untuk dimensi bagaimana, bisa kita artikan bagaimana kita menempatkan diri dalam ruang gerak institusi. Bagaimana kita bisa diterjemahbebaskan sebagai :
  • Bagaimana kita menampilkan kinerja, baik dalam kapasitas mandiri maupun dalam tim kerja yang sinergis, khususnya dengan adanya pola cross functional organization ;
  • Bagaimana kita mensupport pimpinan/institusi dalam hal pemikiran dan tindak lanjut yang berorientasi ke target/sasaran kerja ;
  • Bagaimana kita mengawali suatu kerja dalam sistem dengan mengembangkan daya saing atau kompetisi untuk menghasilkan kinerja yang tepat biaya, waktu dan kualitas serta tepat sasaran ;
  • Bagaimana kita menjabarkan tugas dari pimpinan dalam bentuk sistem atau jaringan kerja, yang bersifat antisipasi atau proaktif serta menerus sehingga menghasilkan produk yang siap pakai ;
  • Bagaimana kita memposisikan diri dalam jajaran serta rentang kendali yang birokratis sehingga kita tetap bisa untuk mengembangkan serta menampakkan potensi diri ;
  • Bagaimana kita mengkontribusikan diri ke dalam sistem yang kelihatannya solid, formal dan birokratis sehingga kita bisa sebagai katalisator atas dinamika institusi ;
  • Bagaimana kita mengaktualisasikan kinerja intelektual secara nyata dalam sistem dan mekanisme kerja ;
  • Bagaimana kita menjaga keseimbangan, dimulai dari IQ dan EQ, sebagai makhluk sosial serta adanya ikatan sebagai aparatur negara dan abdi masyarakat ;
  • Bagaimana kita mengakui atau jujur atas keterbatasan diri sendiri, secara esensi justru mengembangkan kemampuan yang belum ada menjadi ada (sesuai permintaan pasar), jadi bukan hanya men-diklat kemampuan formal yang memang sudah ada.

Selanjutnya terserah kita untuk mempersiapkan, mematut dan memposisikan diri dalam koridor yang kita anggap paling aman, nyaman dan membawa ketentraman lahir batin. 

ORIENTASI PASAR
            Iseng kita sekilas mencermati budi pekerti PNS di lingkungan Dep. Kimpraswil, terasa biarpun pada level yang sama, ternyata ada segelintir pegawai memiliki tingkat kondisi "pede" yang tidak sama dan terkadang mencolok perbedaannya. Atau sebaliknya, kendati hanya di papan bawah, tetapi karena unit kerjanya bisa akses langsung ke menteri atau hasil kerjanya bisa menentukan/berpengaruh, tak heran akan menghasilkan "kelas eksekutif".

            Kalau di perbankan, officer bidang kredit, relatif lebih busung dada ketimbang officer misalnya di unit personalia ! Pendeknya, officer yang fungsi rutinnya akan menghasilkan pemasukan bagi institusi, termasuk pemasaran, konon lebih "sombong" dan merasa "lebih bernilai" dibanding karyawan unit lainnya. Bagaimana dengan satminkal-satminkal di Dep. Kimpraswil ?

            Mengapa terjadi semacam diskriminasi dalam mekanisme kerja? Primordial thinking. Itulah jawabannya. Dalam program pembangunan lima tahun yang memunculkan egoisme sektoral akhirnya terbiasa berfikir dalam format peng-kasta-an. Ada kelas utama (leading sector), kelas sedang-sedang saja dan kelas marginal. Pola pikir seperti itu telah merasuk ke berbagai unit kerja. Padahal dengan format berfikir demikian, akan menstimulasi berbagai kondisi yang tidak kondusif. Mulai dari arogansi sektoral yang akhirnya berdampak tidak saling dukung. Walhasil, bukan pula tidak mungkin kinerja institusi menjadi bias, hanya karena soal sepele seperti itu. Perimbangan anggaran bukan menyiratkan adanya primordial thinking.

            Kondisi peng-kasta-an ini terasa semakin kental dan formal bila diterapkannya pakaian dinas / kerja bagi pegawai. Apakah tidak ada benang merah yang akan menyederhanakan permasalahan karena adanya perbedaan kutub tersebut? Sebagai saran dapat saja dilakukan semacam revolusi dalam mekanisme kerja alias mendekonstruksi kembali institusi. Semisal, unit kerja yang semula hanya sekedar pendukung (supporter) "dilepaskan" dari institusi dan jadikan mandiri. Bebas untuk cari penerimaan/pendapatan sendiri (misal PNBP, KSO, dsb), itulah solusinya. Sederhananya yaitu sinergikan semua unit yang semula seolah-olah hanya sekedar cost center yang pelan tapi pasti akan bergerak sebagai profit center. Tepatnya, Jabatan Fungsional betul-betul ditunjang keberadaannya. Atau diklat teknis fungsional lebih diintensifkan, apalagi dibanding dengan diklatpim.

            Dep. Kimpraswil sebagai institusi yang cukup besar, seandainya cara pengelolaan institusinya dengan model perusahaan maka cenderung dipilah menjadi dua element besar, yakni yang disebut strategic business unit (SBU) dan strategic functional unit (SFU) atau kerap dikenal juga sebagai unit supporting.

            Contoh konkret SFU adalah unit yang mengelola sumber daya manusia, misal Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM). Keberadaan BPSDM yang didalamnya terdapat komponen pendidikan dan pelatihan menjadikannya sebagai sasaran complain pegawai. Mulai dari yang sifatnya informasi sampai kesempatan atau peluang yang merasa terhambat/tidak jelas. Paling tidak banyak hal yang bisa mengakibatkan citra unit sumber daya manusia menjadi sangat marginal dibandingkan dengan unit pengawasan, misalnya.

            Image yang disandang unit sumber daya manusia menjadi semakin menyedihkan bila institusi menjadikan pengembangan sumber daya manusia sebagai bagian dari biaya overhead. Gampangnya, pengembangan SDM belum dianggap sebagai investasi, seolah tidak ada value-nya, seakan tidak ada nilai plus-nya. Untuk menyingkirkan citra yang jelas akan menjatuhkan motivasi kerja itu, mestinya institusi dapat meninjau kembali semua pola perlakuan dan kebijakan terhadap unit yang tergolong SFU, termasuk unit pengembangan SDM tadi. Cara yang cukup murah meriah adalah dengan mengkonversikan SFU SDM itu menjadi SBU. Kalau BPSDM hanya dianggap membuat program pendidikan dan pelatihan ataupun pengembangan peran masyarakat maka perannya ditingkatkan dengan mencari bisnis bagi institusi, yang berkaitan dengan SDM.

            Konkritnya adalah dengan menugaskan BPSDM untuk memberi jasa pelatihan kepada institusi maupun instansi, sebagai fasilitator, sebagai pendamping, atau mengembangan pelatihan untuk pelatih, dsb. jadikan unit SDM sebagai advisory unit dalam konteks pengembangan SDM, mulai dari sistem perekrutan, penggajian, career path dan seribu satu jenis aktivitas lainnya. Dari berbagai kegiatan itu, unit SDM akan memperoleh pemasukan dan mereka tidak lagi sekadar cost center.

            Kalau langkah itu dianggap belum cukup, bisa saja unit SDM tadi dijadikan semacam institusi tersendiri. Dan institusi induk meng-outsourcing-kan pengelolaan SDM-nya kepada unit tadi, tentu dengan hitungan biaya tersendiri. Dengan cara seperti itu, unit SDM bukan saja sekedar menjadi profit center tapi juga dibutuhkan unit lainnya.

            Itu baru permisalan sederhana, ada lagi yang lebih dahsyat. Saat ini (kata pengamat), hampir semua institusi besar memiliki unit yang disebut sebagai strategic planning atau unit perencanaan, yang tugasnya membuat corporate plan, business plan dan pelbagai strategi lainnya, termasuk melakukan riset untuk kepentingan institusi. Semua kegiatan itu memerlukan biaya, sehingga disebut juga sebagai cost center unit.

            Padahal, unit bersangkutan juga memiliki potensi untuk menjadi profit center. Caranya jadikan unit strategic planning itu sebagai unit tersendiri di luar perusahaan. Misalnya, sebagai anak institusi yang bergerak di global riset. Outputnya dijual kepada unit-unit lain di institusi induk. Selain itu, unit atau anak institusi yang telah dibentuk itu bisa pula menjual jasanya bagi institusi lain.

            Percayalah, dengan cara begini, bukan saja akan menepis pemikiran pengkastaan mengenai satminkal kelas utama dan atau marginal, tetapi juga semakin meningkatkan tingkat kompetisi di antara satminkal-satminkal di lingkungan Dep. Kimpraswil.

KESIMPULAN UMUM DARI DEKONSTRUKSI
            Dalam dunia Korpri kata profesional ditempatkan sebagai penutup Panca Prasetya Korpri, bukan tanpa alasan tentunya.

            Namun, tentu saja upaya melakukan dekonstruksi institusi seperti diuraikan di atas bukannya tanpa konsekuensi financial. Setiap unit yang dipersilahkan menjadi SBU atau anak institusi, harus diberi suntikan modal terlebih dahulu. Kemudian, mereka juga mesti mengelola neraca sendiri. Ada sisi asset dan ada pula sisi liabilities-nya. Unit-unit itu dikelola persis seperti mengelola institusi seutuhnya. Hanya saja mereka telah memiliki captive market yakni unit-unit lain di institusi induk.

            Implikasi yang lain adalah pengaturan karir dari karyawan itu sendiri. Kalau masih dalam satu institusi, maka karyawan yang ditempatkan di satminkal A bisa dengan terencana dan terprogramkan dipindahkan ke satminkal B dan lain sebaginya. Dal hal itu bisa dikategorikan sebagai mutasi, promosi atau bahkan demosi. Urusannya ketika dekonstruksi dilakukan, institusi sesungguhnya tengah berpindah bentuk dari model institusi tunggal menjadi inc.corporated. Dampaknya, pengaturan karir dan segala fasilitas karyawan mesti ditinjau dan disetarakan.

            Tapi, memang filosofi dekonstruksi itu, salah satunya adalah untuk pensetaraan satminkal. Rasanya, dalam iklim yang menggembar-gemborkan otonomi daerah saat ini, maka spirit yang sama juga bisa diterapkan oleh berbagai institusi. Siapa tahu hasilnya memang akan lebih efektif.

            Dalam kondisi tertentu, habitat akan lebih tepat guna untuk direkayasa sehingga profesionalisme menjadi bermanfaat dan bermakna. Sedangkan profesionalisme seorang pemimpin tak kurang dari adab Kepemimpinan adalah suatu bentuk amanah yang bergerak secara paralel dengan pertanggungjawabannya. Hal ini sesuai dengan fungsi sebagai khalifatullah fil ardh yang Allah SWT berikan kepada manusia, dengan mengemban misi membangun dan memelihara bumi.

            Kepemimpinan bukan keistimewaan, tetapi tanggung jawab. Ia bukan fasilitas tetapi pengorbanan. Ia juga bukan leha-leha tetapi kerja keras, ia bukan kesewenang-wenangan bertindak, tetapi kewenangan untuk melayani. Selanjutnya, kepemimpinan adalah keteladanan berbuat dan kepeloporan bertindak.

            Menjadi pemimpin pada saat yang sama adalah komitmen untuk menegakkan keadilan, sebab dunia ini tidak akan dapat tegak kecuali di atas sistem yang adil, tanpa pandang bulu. Mengenai hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan, "Keadilan adalah (jiwa) sistem segala sesuatu. Apabila urusan dunia ditegakkan dengan keadilan maka dunia pun akan tegak meskipun pelakunya di akhirat tidak mendapat nasib baik (karena tidak beriman di dunia). Sebaliknya, jika tidak ditegakkan dengan adil maka dunia pun tidak akan tegak meskipun pelakunya itu mempunyai iman yang balasannya akan didapat di akhirat."

DAFTAR PUSTAKA
  1. Ahmad Faiz , "KEAGUNGAN SIFAT SABAR", Republika, 11 September 2001
  2. Elvyn G. Masassya, "DEKONSTRUKSI ELEMEN INSTITUSI MENJADI PROFIT CENTER", Republika, 18 Juli 2001
  3. Istianah, "KEPEMIMPINAN", Republika, 01 September 2001
  4. Mohammad Soleh Hamid, "PEMIMPIN YANG BERSIH", Republika, 29 Agustus 2001
  5. Muhammad Haris KS, "POST POWER SYNDROME", Republika, 04 September 2001
  6. Republika, 03 September 2001 "APARAT DIMINTA TAK MILIKI LOYALITAS GANDA"
  7. Republika, 22 Agustus 2001, "JANGAN TERBURU MENGAKU DIRI PROFESIONAL"
  8. Zainuddin Al-Aziz, "MAWAS DIRI", Republika, 28 Agustus 2001

Oleh: Herwin Nur
Buletin Pengawasan No. 30 & 31 Th. 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar