Humaniora Dibaca :230 kali , 0 komentar
Ditulis : Herwin Nur, 09 Februari 2013 | 22:57
Dukungan Pemerintah
Penyandang
sakit miskin dan predikat turunannya menjadi daya tarik pemerintah
untuk menanggulanginya dalam bentuk mengentaskan kemiskinan, terlebih
sudah ada strata kemiskinan ekstrem. Bantu masyarakat miskin pemerintah luncurkan Program Keluarga Harapan (PKH), yaitu bantuan uang tunai bagi keluarga miskin untuk biaya kesehatan dan biaya pendidikan.
Kiprah dan kinerja pemerintah dapat dicermati di Berita Resmi Statistik Badan Pusat Statistik (BPS), No. 06/01/Th. XVI, 2 Januari 2013, yaitu : September 2012, jumlah
penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,59 juta orang (11,66%),
berkurang sebesar 0,54 juta orang (0,30%) dibandingkan dengan penduduk
miskin pada Maret 2012 yang sebesar 29,13 juta orang (11,96%).
Kemensos sebagai leading sector
dalam penanggulangan kemiskinan memikul beban yang berat karena
melaksanakan target fisik untuk menurunkan angka kemiskinan dan
kelaparan. Kemensos berharap kontribusi nyata dari perangkat daerah dan
seluruh pemangku kepentingan di 19 Kementerian/Lembaga.
Fakir
miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata
pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak
mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya (UU 13/2011 tentang “Penanganan Fakir Miskin”).
Penanganan
fakir miskin melalui pendekatan wilayah diselenggarakan dengan
memperhatikan kearifan lokal, yang meliputi wilayah: perdesaan;
perkotaan; pesisir dan pulau-pulau kecil; tertinggal/terpencil; dan/atau
perbatasan antarnegara.
Sasaran Tembak
Ironis,
politisi lima tahunan kurang memahami makna bahwa penanganan fakir
miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang
dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam
bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan,
serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.
Apa pun yang telah dilakukan, khususnya oleh pemerintah, dianggap sebagai
politik pencitraan penguasa. Pasang surut jumlah penduduk miskin jadi
komoditas politik, mulai dari kriteria sampai program/kegiatan
dipersoalkan. Bahkan kalangan akademisi dan aktivis kampus dengan
kacamata kudanya, ikut angkat bicara.
Politisi
dan ahli pengamat, seolah tidak peka terhadap fakta kesenjangan ekonomi
dan sosial antar kelas dan kasta masyarakat semakin nyata dan terukur.
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hanya dikuasai dan dinikmati oleh
segolongan elit tertentu sementara masyarakat papan bawah semakin
menderita. Perubahan dan perbaikan jalan di tempat, bersifat seremonial.
Elit politik, baik koalisi maupun oposisi, semakin sukses duniawi
dengan mengandalkan koneksi, akses dan kemudahan lainnya. Suskes karena
berhasil mengukuhkan diri sebagai pelaku ekonomi yang memiliki grup
perusahaan hampir di semua sektor perekonomian.
Di sisi lain, fakir miskin tetap berkubang dalam kemiskinan bahkan semakin melarat. Persyaratan
formal untuk mengakses permodalan dalam rangka pemberdayaan ekonomi
melalui segmen usaha mikro kecil menengah (UMKM) semakin tak terjangkau.
UMKM diharapkan dapat mengurangi disparitas ketimpangan kemiskinan
antar wilayah. Ekonomi kerakyatan difokuskan pada bentuk industri
rumahan, sejalan pemberdayaan perempuan.
Kebijakan Politik
Penanganan
fakir miskin tidak bisa dipolitisir, demi ambisi politik lima tahunan.
Secara operasional, politisi perlu mencermati kondisi :
1. Kemauan
politik dan kesadaran kolektif kolegial yang terbuka, jelas dan terukur
dari berbagai pihak yang secara langsung melaksanakan tugas dan fungsi
dalam penanganan fakir miskin;
2. Agenda
pembangunan menempatkan program/kegiatan penanganan fakir miskin pada
skala prioritas utama berdasarkan kearifan dan budaya lokal serta
mengoptimalkan peran zakat;
3. Memanfaatkan
laporan kinerja periode sebelumnya, untuk menentukan kebijakan dan
strategi periode selanjutnya, serta mensinergikan sumber daya
pembangunan. [Herwin Nur/Wasathon.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar