Halaman

Jumat, 17 Januari 2014

Penanganan Fakir Miskin Menjadi Bulan-Bulanan Politik

Humaniora     Dibaca :230 kali , 0 komentar

Ditulis : Herwin Nur, 09 Februari 2013 | 22:57
Dukungan Pemerintah
Penyandang sakit miskin dan predikat turunannya menjadi daya tarik pemerintah untuk menanggulanginya dalam bentuk mengentaskan kemiskinan, terlebih sudah ada strata kemiskinan ekstrem. Bantu masyarakat miskin pemerintah luncurkan Program Keluarga Harapan (PKH), yaitu bantuan uang tunai bagi keluarga miskin untuk biaya kesehatan dan biaya pendidikan.

Kiprah dan kinerja pemerintah dapat dicermati di Berita Resmi Statistik Badan Pusat Statistik (BPS), No. 06/01/Th. XVI, 2 Januari 2013, yaitu : September 2012, jumlah penduduk miskin  di Indonesia mencapai 28,59 juta orang (11,66%), berkurang sebesar 0,54 juta orang (0,30%) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2012 yang sebesar 29,13 juta orang (11,96%).

Kemensos sebagai leading sector dalam penanggulangan kemiskinan memikul beban yang berat karena melaksanakan target fisik untuk menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan. Kemensos berharap kontribusi nyata dari perangkat daerah dan seluruh pemangku kepentingan di 19 Kementerian/Lembaga.

Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya (UU 13/2011 tentang “Penanganan Fakir Miskin”).

Penanganan fakir miskin melalui pendekatan wilayah diselenggarakan dengan memperhatikan kearifan lokal, yang meliputi wilayah: perdesaan; perkotaan; pesisir dan pulau-pulau kecil; tertinggal/terpencil; dan/atau perbatasan antarnegara.

Sasaran Tembak
Ironis, politisi lima tahunan kurang memahami makna bahwa penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan,  program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.

Apa pun yang telah dilakukan, khususnya oleh pemerintah, dianggap sebagai politik pencitraan penguasa. Pasang surut jumlah penduduk miskin jadi komoditas politik, mulai dari kriteria sampai program/kegiatan dipersoalkan. Bahkan kalangan akademisi dan aktivis kampus dengan kacamata kudanya, ikut angkat bicara.

Politisi dan ahli pengamat, seolah tidak peka terhadap fakta kesenjangan ekonomi dan sosial antar kelas dan kasta masyarakat semakin nyata dan terukur. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hanya dikuasai dan dinikmati oleh segolongan elit tertentu sementara masyarakat papan bawah semakin menderita. Perubahan dan perbaikan jalan di tempat, bersifat seremonial. Elit politik, baik koalisi maupun oposisi, semakin sukses duniawi dengan mengandalkan koneksi, akses dan kemudahan lainnya. Suskes karena berhasil mengukuhkan diri sebagai pelaku ekonomi yang memiliki grup perusahaan hampir di semua sektor perekonomian.

Di sisi lain, fakir miskin tetap berkubang dalam kemiskinan bahkan semakin melarat. Persyaratan formal untuk mengakses permodalan dalam rangka pemberdayaan ekonomi melalui segmen usaha mikro kecil menengah (UMKM) semakin tak terjangkau. UMKM diharapkan dapat mengurangi disparitas  ketimpangan kemiskinan antar wilayah. Ekonomi kerakyatan difokuskan pada bentuk industri rumahan, sejalan pemberdayaan perempuan.

Kebijakan Politik
Penanganan fakir miskin tidak bisa dipolitisir, demi ambisi politik lima tahunan. Secara operasional, politisi perlu mencermati kondisi :
1.  Kemauan politik dan kesadaran kolektif kolegial yang terbuka, jelas dan terukur dari berbagai pihak yang secara langsung melaksanakan tugas dan fungsi dalam penanganan fakir miskin;
2.  Agenda pembangunan menempatkan program/kegiatan  penanganan fakir miskin pada skala prioritas utama berdasarkan kearifan dan budaya lokal serta mengoptimalkan peran zakat;
3.   Memanfaatkan laporan kinerja periode sebelumnya, untuk menentukan kebijakan dan strategi periode selanjutnya, serta mensinergikan sumber daya pembangunan. [Herwin Nur/Wasathon.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar