Humaniora Dibaca :225 kali , 0 komentar
Dilema Umat Islam di Panggung Politik
Ditulis : Herwin Nur, 11 Februari 2013 | 15:22
Bahasa Rakyat
Rakyat
tidak ambil pusing kalau Politik adalah seni mengatur dan mengurus
negara dan ilmu kenegaraan. Rakyat tidak peduli di awal Reformasi
bergulir tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance)
bagi aparatur negara, sekarang berwujud Reformasi Birokrasi. Rakyat
tidak mau tahu apa dan siapa yang disebut pengatur/pengurus atau
penyelenggara negara. Rakyat acuh tak acuh ada ilmu bernegara yang harus
diamalkan.
Politik
mengatasnamakan rakyat hanya manjur saat Proklamasi 17 Agustus 1945.
Perjalanan sejarah, rakyat diposisikan sebagai obyek pembangunan,
sebagai pelengkap penderita, dibebani dengan berbagai kewajiban. Di era
Reformasi, pembangunan pro-rakyat hanya sebatas persyaratan
administrasi.
Bukti Sejarah
Di
pihak lain, mereka yang masuk kategori Penyelenggara Negara [adalah
Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau
yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan
dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (UU 28/1999 tentang “PENYELENGGARAAN
NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME”)],
menganggap antar sesama bukan sebagai mitra, tetapi lebih sebagai
pesaing, sebagai kompetitor. Secara internal pun, khususnya legislatif,
tidak belaku asas musyawarah untuk mufakat. Bahkan asas mufakat untuk
musyawarah, misal sidang DPR terkadang tak sesuai kuota.
Jangan
heran, para penyelenggara negara tidak memandang negara sebagai
organisasi besar, dengan tujuan yang bisa diraih melalui kerja sama.
Mereka melihat negara sebagai lahan basah, ibarat mengelola lahan parkir
liar, tiap jam bisa mendatangkan uang. Mereka menganggap negara sebagai
tanah tak bertuan, untuk mendapatkannya perlu pengorbanan berdasarkan
standar duniawi. Mereka tetap bersikukuh bahwa tanggung jawab utama
negara bak perusahaan adalah menghasilkan profit, khususnya
mensejahterakan anggotanya.
Negara
menjadi panggung politik. Pemainnya bebas berekspresi, berakting dan
melakonkan peran apa saja. Pemain watak, kepribadian ganda, mendadak
alim, mudah lupa, tiba-tiba sakit menjadi modal utama sebagai pemain.
Ikuti aturan main sesuai kebutuhan hari ini, besok pagi akan berubah.
Dalil Politik Islam
Rasulullah SAW menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi (siyasah) urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya).
Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak
ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah." (Hadis Riwayat
Bukhari dan Muslim).
Jelaslah bahwa politik atau siyasah itu bermakna adalah mengurusi urusan masyarakat.
Rasulullah
SAW. bersabda :"Siapa saja yang bangun di pagi hari dan dia hanya
memperhatikan urusan dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa
di sisi Allah; dan barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum
Muslimin, maka dia tidak termasuk golongan mereka (yaitu kaum Muslim)”.
(Hadis Riwayat Thabrani).
Islam
merupakan agama yang sarat dengan pemikiran politik. Kandungannya
menjelaskan tentang masalah etika politik, falsafah politik, hukum,
hingga tatacara bernegara dam bermasyarakat. Pemikiran politik Islam
berawal dari pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Islam masih
tetap pada persoalan yang satu yaitu penyatuan Islam dan politik sejak
zaman Nabi hingga zaman kini.
Semangat Khilafiyah
Umat
Islam yang mengabdikan dirinya di partai politik, siap perang batin dan
makan hati. Kehendak parpol bukan akumulasi niat pribadi yang
mengedepankan hati nurani, mengutamakan moral. Keputusan politik bisa
jadi bumerang, bisa senjata makan tuan. Pilihan bersifat dilematis.
Kecerdasan dibutuhkan, mengikuti arus dan kepentingan politik tetapi
tidak terkontaminasi.[Herwin Nur/Wasathon.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar