Halaman

Senin, 13 Januari 2014

saya rakyat, tetap berdaulat dan bermartabat

Saya Rakyat, Tetap Berdaulat dan Bermartabat

19 - Jun - 2013 | by: admin
Ilustrasi (doc KbrNet)
Ilustrasi (doc KbrNet)
Oleh : Herwin Nur

Warga negara kelas II, penduduk sebagai obyek pembangunan, penduduk musiman, masyarakat papan bawah, masyarakat berpenghasilan rendah, kaum pribumi; keluarga pra-sejahtera sampai keluarga miskin sekali; rakyat jelata, rakyat gembel sebagai ungkapan kata menggambarkan sosok rakyat.

De jure dan de facto, rakyat yang dianggap keberadaannya dalam percaturan berbangsa dan bernegara adalah wakil rakyat. Wakil rakyat tingkat kabupaten/kota, provinsi sampai tingkat pusat mempunyai kekuatan hukum, mengantongi jimat kebal hukum untuk menentukan dan mengatur nasib rakyat selama lima tahun. Wakil rakyat merupakan perwujudan representasi politik rakyat yang diharapkan daya responsifnya terhadap aspirasi rakyat yang telah memilihnya, dalam prakteknya hanya tinggal harapan.

Stigma rakyat adalah pekerja kasar, mencari rezeki mengandalkan kerajinan tangan atau tenaga. Kalau punya pekerjaan tetap, bekerja pada orang, diupah sesuai selera majikan. Konotasi rakyat melekat di angkutan rakyat, bersifat massal, murah dan meriah, sehingga faktor aman dan nyaman ada di urutan terakhir.

Hak Politik Rakyat
Rakyat dituntut untuk melaksanakan kewajiban politiknya, yaitu saat pemilu, pilpres maupun pilkada agar tidak golput. Hak rakyat hanya diperhatikan sehari dalam kurun waktu lima tahun. Hak politik sudah dikebiri atau bahkan dimutilasi secara sistematis, contoh nyata ada yang karena “kesalahan teknis” tidak masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ketidakberesan DPT bisa menghilangkan hak politik rakyat secara masif. Misal pada pemilu 2009, ada data yang menyebut 44,5 juta rakyat Indonesia kehilangan hak pilih. Ini juga terjadi di berbagai ajang pilkada di seluruh Indonesia. (sumber: berdikarionline.com)

Demokrasi Pancasila berupaya menjamin terpenuhinya hak dasar rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya kemerdekaan menyampaikan aspirasi.

Partisipasi politik rakyat secara total merupakan jantungnya demokrasi. Patut dipahami bahwa demokrasi Pancasila tidak mungkin terwujud dan berjalan dengan layak tanpa keikutsertaan rakyat di dalamnya. Demokrasi merupakan fungsi rakyat. Rakyat bukan pelengkap penderita dalam penyelenggaraan negara.

Partisipasi politik rakyat bersifat kesadaran diri, sukarela, bahkan diperlukan keikhlasan. Bukan karena intimidasi aparat, bujuk rayu partai politik. Bukan karena dimobilisasi oleh negara, atau karena ada sanksi hukumnya.

Daya juang rakyat sejak pra-Proklamasi sampai era Reformasi di panggung politik menunjukkan kondisi yang fluktuatif. Pasal 1, ayat (2) UUD 1945 : “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

Artinya kedaulatan rakyat tidak bisa bersifat spontanitas dan sporadis, harus melalui mata rantai yang menjemukan dan melelahkan. Setiap rakyat memiliki kebebasan yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan sehingga dapat terwujud persatuan dan kesatuan Indonesia. Jiwa otonomi daerah agar lebih mendekatkan rakyat pada pengambilan keputusan, yang terjadi malah sebaliknya. Konflik rakyat pemilik tanah dengan pengusaha yang akan alih fungsi lahan atau mengeduk isi bumi, menjadi berita biasa.

Partisipasi Individu
Kedaulatan mutlak ada di tangan Allah, manusia sebagai khalifah di muka bumi mempunyai hak prerogratif mengelola dirinya sendiri. Adab manusia terhadap dirinya sendiri, seseuai firman-Nya dalam Al-Qur’an [QS Al A'raaf (7) : 96] : “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

Rakyat sebagai individu dapat mengaktualisasikan eksistensinya sebagai makhluk utama atas tegaknya hukum Allah dalam pembangunan kemakmuran di bumi. [KbrNet/HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar