Halaman

Kamis, 16 Januari 2014

Geliat Partai Politik Islam Dalam Sistem Multipartai

Humaniora     Dibaca :178 kali , 0 komentar

Ditulis : Herwin Nur, 28 Mei 2013 | 19:36


Angka Bicara 
Statistik hasil pemilu menggambarkan makin anjloknya perolehan partai politik (parpol) Islam. Pemilu pertama 1955, parpol Islam secara total meraih 43,5%. Pemilu pertama di era Orde Baru, 1971, akumulasi parpol Islam meraih 24,73%. Pemilu di akhir Orde baru, 1997, PPP (Partai Persatuan Pembangunan) meraih 22,43%. Memasuki era Reformasi, pemilu 1999 menjadi 36,8%, 2004 bangkit menjadi 38,1%, dan pada 2009 anjlok menuju 23,1% (angka diolah dari website KPU).

Fokus pada PPP merupakan  hasil fusi politik empat partai Islam, yaitu Partai Nadhlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Perti, terjadi pada  tanggal 5 Januari 1973. PPP menjadi simbol persatuan berbagai faksi dan kelompok dalam Islam. Untuk itulah wajar jika PPP kini memproklamirkan diri sebagai “Rumah Besar Umat Islam.”

Pemilu 1999, PPP ditinggal NU yang mempunyai parpol sendiri. Ormas Islam yang lain, Muhammadiyah, ikutan mempunyai parpol. Perolehan suara parpol Islam di pemilu Reformasi, apa pun alasannya, umat Islam wajib prihatin. Lebih prihatin, dalam dua kali pilpres, jago dari parpol Islam tidak berkutik.

Akumulasi Muhasabah 
Kita bisa mengacu hasil survei Center for Strategic and International Studies (CSIS), yang diungkap di Kompas.com Minggu, 26 Mei 2013. Hasil survei membuktikan rendahnya hubungan antara anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan rakyat yang menjadi konstituennya. Survei CSIS dilakukan dengan melibatkan 1.635 responden di 31 provinsi pada 9-16 April 2013. Hasilnya, sebanyak 82% responden tidak kenal siapa anggota Dewan di daerahnya. Hanya 18% responden yang mengenal.

Hasil survei CSIS juga menunjukkan bahwa 88,3% responden tidak tahu bagaimana cara menghubungi wakilnya di parlemen. Hanya 11,7% yang tahu bagaimana menyampaikan aspirasi ke mereka.

Rendahnya fungsi representasi parpol/politikus berdampak pada masih tingginya publik yang belum menentukan sikap maupun golput. Hasil survei menunjukkan, 40,5% responden belum menentukan pilihan parpol dan 2,7% akan golput.

Angka undecided voters dan golput masih relatif tinggi karena lemahnya hubungan antara parpol atau politisi dengan konstituen. Hubungan timbal balik mereka tidak sehat, tidak seperti yang diharapkan dalam sistem demokratis, yakni hubungan representasi yang kuat.

Jujur, hasil survei tadi secara tak langsung bisa menunjukkan representasi parpol Islam. Sebagai langkah awal untuk bercermin, tidak perlu buruk muka cermin dibelah. Berdasarkan gambar, kita memilih orang untuk menjadi wakil rakyat. Kampanye hanya beberapa minggu, bukan jaminan seseorang mendadak bisa tenar.

Jika seseorang mempunyai potensi, keahlian, tidak perlu pasang reklame, apalagi kampanye. Khalayak akan tahu dengan sedirinya.

Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw, bahwa beliau berkata, ‘Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’)

Fokus pada makna ‘orang yang lemah’, memiliki dua ciri mendasar. Pertama, orang yang mengikuti hawa nafsunya, membiarkan hidupnya tidak memiliki jangkauan hidup, tidak memiliki rencana, tidak ada tindak nyata dari rencananya, terlebih me-muhasabah-i perjalanan hidupnya. Kedua, adalah memiliki banyak angan-angan dan khayalan. Berangan-angan bahwa Allah akan mengampuni dosanya.

Kita berharap, parpol Islam tidak masuk kategori tidak dikenal konstituennya, apalagi seperti kumpulan ‘orang yang lemah’. [Herwin Nur/wasathon.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar