Humaniora Dibaca :178 kali , 0 komentar
Ditulis : Herwin Nur, 28 Mei 2013 | 19:36
Angka Bicara
Statistik
hasil pemilu menggambarkan makin anjloknya perolehan partai politik
(parpol) Islam. Pemilu pertama 1955, parpol Islam secara total meraih
43,5%. Pemilu pertama di era Orde Baru, 1971, akumulasi parpol Islam
meraih 24,73%. Pemilu di akhir Orde baru, 1997, PPP (Partai Persatuan Pembangunan) meraih
22,43%. Memasuki era Reformasi, pemilu 1999 menjadi 36,8%, 2004 bangkit
menjadi 38,1%, dan pada 2009 anjlok menuju 23,1% (angka diolah dari
website KPU).
Fokus pada PPP merupakan hasil
fusi politik empat partai Islam, yaitu Partai Nadhlatul Ulama (NU),
Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia
(PSII), dan Partai Islam Perti, terjadi pada tanggal 5 Januari 1973.
PPP menjadi simbol persatuan berbagai faksi dan kelompok dalam Islam.
Untuk itulah wajar jika PPP kini memproklamirkan diri sebagai “Rumah
Besar Umat Islam.”
Pemilu
1999, PPP ditinggal NU yang mempunyai parpol sendiri. Ormas Islam yang
lain, Muhammadiyah, ikutan mempunyai parpol. Perolehan suara parpol
Islam di pemilu Reformasi, apa pun alasannya, umat Islam wajib prihatin.
Lebih prihatin, dalam dua kali pilpres, jago dari parpol Islam tidak
berkutik.
Akumulasi Muhasabah
Kita bisa mengacu hasil survei Center for Strategic and International Studies (CSIS), yang diungkap di Kompas.com Minggu, 26 Mei 2013. Hasil
survei membuktikan rendahnya hubungan antara anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan rakyat yang menjadi konstituennya. Survei CSIS
dilakukan dengan melibatkan 1.635 responden di 31 provinsi pada 9-16
April 2013. Hasilnya, sebanyak 82% responden tidak kenal siapa anggota
Dewan di daerahnya. Hanya 18% responden yang mengenal.
Hasil survei CSIS
juga menunjukkan bahwa 88,3% responden tidak tahu bagaimana cara
menghubungi wakilnya di parlemen. Hanya 11,7% yang tahu bagaimana
menyampaikan aspirasi ke mereka.
Rendahnya
fungsi representasi parpol/politikus berdampak pada masih tingginya
publik yang belum menentukan sikap maupun golput. Hasil survei
menunjukkan, 40,5% responden belum menentukan pilihan parpol dan 2,7%
akan golput.
Angka undecided voters dan
golput masih relatif tinggi karena lemahnya hubungan antara parpol atau
politisi dengan konstituen. Hubungan timbal balik mereka tidak sehat,
tidak seperti yang diharapkan dalam sistem demokratis, yakni hubungan
representasi yang kuat.
Jujur,
hasil survei tadi secara tak langsung bisa menunjukkan representasi
parpol Islam. Sebagai langkah awal untuk bercermin, tidak perlu buruk
muka cermin dibelah. Berdasarkan gambar, kita memilih orang untuk
menjadi wakil rakyat. Kampanye hanya beberapa minggu, bukan jaminan
seseorang mendadak bisa tenar.
Jika seseorang mempunyai potensi, keahlian, tidak perlu pasang reklame, apalagi kampanye. Khalayak akan tahu dengan sedirinya.
Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw, bahwa beliau berkata, ‘Orang
yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta
beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah
adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan
terhadap Allah swt. (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’)
Fokus pada makna ‘orang yang lemah’,
memiliki dua ciri mendasar. Pertama, orang yang mengikuti hawa
nafsunya, membiarkan hidupnya tidak memiliki jangkauan hidup, tidak
memiliki rencana, tidak ada tindak nyata dari rencananya, terlebih me-muhasabah-i
perjalanan hidupnya. Kedua, adalah memiliki banyak angan-angan dan
khayalan. Berangan-angan bahwa Allah akan mengampuni dosanya.
Kita berharap, parpol Islam tidak masuk kategori tidak dikenal konstituennya, apalagi seperti kumpulan ‘orang yang lemah’. [Herwin Nur/wasathon.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar