Politika Dibaca :209 kali , 0 komentar
Jurnalis Pancasila Dalam Belenggu Kemerdekaan Pers
Ditulis : Herwin Nur, 25 Juni 2013 | 23:22
Landasan Moral
Jagad
wartawan Indonesia lepas dari pingitan Orde Baru (Orba), ditandai
dengan ditetapkannya UU 40/1999 tentang PERS. Dari 5 faktor pertimbangan
dalam penetapan UU 40/1999, fokus pada huruf c :
c. bahwa
pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan
pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban,
dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers
yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan
hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun;
Jika
dicermati dengan cerdas, menjadi multitafsir. Bukan sekedar mengobati
luka lama, atau kompensasi dari dampak pingitan pemerintah Orba. Sarat
dengan kata kunci yang kontraditkif. Mengharapkan peluang sampai
kemungkinan mendapatkan kekebalan hukum.
Praktek dan perjalanan UU 40/1999 yang berlaku sejak tanggal diundangkan, 23 September 1999, seolah nampak adem ayem.
Ironisnya, jika Wartawan / Kantor Berita merasa dizalimi, mereka bak
kebakaran jenggot, mengajukan protes secara massal. Harga dirinya
terusik.
Pasal 1, butir (9) UU 40/1999 : “Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum”.
Menjadi jimat dan senjata sakti kawanan Wartawan / Kantor Berita untuk
mengeluarkan, menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani
(berpegang pada Pasal 28 UUD 1945).
Soal sub butir “mencerdaskan kehidupan bangsa” serta “Kode Etik Jurnalistik” bukan menjadi acuan utama (bisa dibaca sebagai landasan moral) dalam mempraktekkan “kemerdekaan pers”.
Kemerdekaan pers diterjemahbebaskan menjadi kebebasan pers dengan fokus
atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.
Tidak
ada pasal dari berbagai produk hukum yang menjelaskan apa yang dimaksud
dengan berita/informasi yang layak disampaikan ke masyarakat.
Disebutkan di atas, Penyebar informasi dan pembentuk opini menjadi satu paket, menjadikan pers nasional besar kepala.
Langkah Antisipatif
Kebebasan
pers di AS begitu eksplisitnya, seorang wartawan dapat menjatuhkan
presiden yang sedang berkuasa (Presiden Nixon dalam skandal Watergate),
kebebasan pers di Uni Soviet tentu jauh berlainan dari AS berhubung
begitu represif. Mati hidup industri pers Indonesia, sangat ditentukan
dari pasokan dana. Karena profesi wartawan juga sebagai mata
pencaharian. Kepentingan dalam arti luas, sebagai faktor penentu arah
kebebasan pers.
Masyarakat
awam susah mengetahui mana Organisasi Pers (adalah organisasi wartawan
dan organisasi perusahaan pers) yang masuk kategori Jurnalis Pancasila,
khususnya dalam penayangan berita/informasi sesuai sub butir “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Masyarakat
awam semakin bingung, dengan pernyataan AJI (Aliansi Jurnalis
Independen), Nomor : 026/AJI-Div.Etik/P.S/VI/2013, Perihal: Pernyataan
Sikap AJI Indonesia Tentang Forum Pemred.
AJI mengingatkan agar Forum Pemred tidak melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pasal 6 : yakni “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap”.
Dalam hal penafsiran, "suap” adalah segala pemberian dalam bentuk uang,
benda, atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Forum
Pemimpin Redaksi menilai pemilik modal di industri media belum mampu
bersatu membangun kelompok media sebagai pendorong perekonomian
Indonesia.
Menghadapi serbuan berita dari media massa, umat Islam mengacu makna [QS Al Hujuraat (49) : 6] : “Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Masyarakat awam berdo’a agar jangan terjadi Bharata Yudha antar wartawan.[Herwin Nur/wasathon.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar