Halaman

Kamis, 16 Januari 2014

Jurnalis Pancasila Dalam Belenggu Kemerdekaan Pers

Politika     Dibaca :209 kali , 0 komentar

Jurnalis Pancasila Dalam Belenggu Kemerdekaan Pers

Ditulis : Herwin Nur, 25 Juni 2013 | 23:22

Landasan Moral
Jagad wartawan Indonesia lepas dari pingitan Orde Baru (Orba), ditandai dengan ditetapkannya UU 40/1999 tentang PERS. Dari 5 faktor pertimbangan dalam penetapan UU 40/1999, fokus pada huruf c :

c. bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun;

Jika dicermati dengan cerdas, menjadi multitafsir. Bukan sekedar mengobati luka lama, atau kompensasi dari dampak pingitan pemerintah Orba. Sarat dengan kata kunci yang kontraditkif. Mengharapkan peluang sampai kemungkinan mendapatkan kekebalan hukum.

Praktek dan perjalanan UU 40/1999 yang berlaku sejak tanggal diundangkan, 23 September 1999, seolah nampak adem ayem. Ironisnya, jika Wartawan / Kantor Berita merasa dizalimi, mereka bak kebakaran jenggot, mengajukan protes secara massal. Harga dirinya terusik.

Pasal 1, butir (9) UU 40/1999 : “Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum”. Menjadi jimat dan senjata sakti kawanan Wartawan / Kantor Berita untuk mengeluarkan, menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani (berpegang pada Pasal 28 UUD 1945).

Soal sub butir “mencerdaskan kehidupan bangsa” serta “Kode Etik Jurnalistik” bukan menjadi acuan utama (bisa dibaca sebagai landasan moral) dalam mempraktekkan “kemerdekaan pers”. Kemerdekaan pers diterjemahbebaskan menjadi kebebasan pers dengan fokus atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.

Tidak ada pasal dari berbagai produk hukum yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan berita/informasi yang layak disampaikan ke masyarakat. Disebutkan di atas, Penyebar informasi dan pembentuk opini menjadi satu paket, menjadikan pers nasional besar kepala.

Langkah  Antisipatif
Kebebasan pers di AS begitu eksplisitnya, seorang wartawan dapat menjatuhkan presiden yang sedang berkuasa (Presiden Nixon dalam skandal Watergate), kebebasan pers di Uni Soviet tentu jauh berlainan dari AS berhubung begitu represif. Mati hidup industri pers Indonesia, sangat ditentukan dari pasokan dana. Karena  profesi wartawan  juga sebagai mata pencaharian. Kepentingan dalam arti luas, sebagai faktor penentu arah kebebasan pers.

Masyarakat awam susah mengetahui mana Organisasi Pers (adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers)  yang masuk kategori Jurnalis Pancasila, khususnya dalam penayangan berita/informasi sesuai sub butir “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Masyarakat awam semakin bingung, dengan  pernyataan AJI (Aliansi Jurnalis Independen), Nomor  : 026/AJI-Div.Etik/P.S/VI/2013, Perihal: Pernyataan Sikap AJI Indonesia Tentang Forum Pemred.

AJI mengingatkan agar Forum Pemred tidak melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pasal 6 : yakni “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap”. Dalam hal penafsiran, "suap” adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda, atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. 

Forum Pemimpin Redaksi menilai pemilik modal di industri media belum mampu bersatu membangun kelompok media sebagai pendorong perekonomian Indonesia.

Menghadapi serbuan berita dari media massa, umat Islam mengacu makna [QS Al Hujuraat (49) : 6] :  “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” 

Masyarakat awam berdo’a agar jangan terjadi Bharata Yudha antar wartawan.[Herwin Nur/wasathon.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar