Humaniora Dibaca :429 kali , 0 komentar
Krisis Budi Pekerti? Islam Solusinya
Ditulis : Herwin Nur, 22 November 2012 | 07:22
Krisis Budi Pekerti
Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, seolah tidak ada lembaga sakral di
mata masyarakat. Pasca Reformasi 1998 melahirkan bebas menyatakan
aspirasi dengan segala cara dan upaya. Jalur politik malah menimbulkan
gempa, gaduh dan geger politik. Masalah nasional dikemas dalam format
dan bingkai politik, berbagai kasus diselidiki dan disidik dengan
kacamata politik.
Pingitan
Orde Baru menyebabkan anak bangsa sudah lupa akan budayanya, sudah lupa
bagaimana memakai rasa hormat, menghargai sesama insan. Bahkan tidak
tahu bagaimana cara menempatkan dan membawakan diri. Mereka hanya
mengandalkan jumlah dan tenaga.
Tradisi Konflik
Dalam
kehidupan bermasyarakat, tawuran antar mahasiswa dalam satu kampus,
beda fakultas, menjadi hal yang lazim, lumrah dan wajar, mengingat
temparemental tempat kejadian perkara. Tawuran antar pelajar yang
memakan korban, bahkan korban jiwa, bisa disimak dalam liputan langsung
di layar kaca. Pelaku tawuran tidak dimonopoli pelajar dari sekolah
papan bawah, bisa terjadi dari sekolah papan atas. Sinetron bertemakan
persaingan antar anak SD, diangkat dari kisah nyata, atau fakta dan
realita.
Konflik
horizontal antar elemen masyarakat, antar kampung, antar etnis, antar
organisasi masa menjadi santapan harian media massa. Saling lempar batu
antar suporter sepak bola, sebagai kelanjutan pertandingan di luar
arena. Tak kurang jam tayangnya di acara tv swasta : diskusi, debat atau
kupas tuntas, berbasis konflik internal keluarga. Kalangan figur publik
sampai keluarga miskin jadi langganan atau obyek tetap. Tak ada
istilah tabu dalam budaya dunia info selebriti.
Akar Masalah
Bangsa
Indonesia memiliki sejarah sebagai bangsa yang ramah, sopan dalam
bersikap serta santun dalam bertutur. Akibat tidak bisa berakselerasi
dengan kemajuan zaman, berakibat hanya dampak negatif yang terserap.
Akibat kurang mampu menangkal serbuan budaya asing, berdampak pada gaya
hidup, gaul dan gengsi yang meninggalkan akar budaya leluhur yang luhur.
Rambu
lalu lintas yang jelas bisa dibaca mata, pengguna jalan seolah buta.
Norma, tata krama, adat yang tak tertulis semakin tertinggalkan. Di
lingkungan tempat tinggal, kerukunan antar tetangga sesuai kebutuhan dan
kepentingan. Hubungan anak dengan orangtua bersifat demokratis. Anak
bebas berbicara apa saja dengan orangtuanya.
Faktor Ajar
Priyayi
dan rakyat Jawa bisa menerima masuknya agama Islam dengan tangan
terbuka, karena dengan pendekatan adat istiadat. Modal masyarakat, yaitu
hubungan antar individu dalam masyarakat, kerukunan antar tetangga,
sampai pranata sosial, dikemas dalam ramuan tata krama. Tata krama juga
mengatur hubungan manusia dengan lingkungan hidup serta hubungan dengan
yang “di atas”.
Akhlaq
Islam semakin memantapkan tata krama, budi pekerti yang sudah mengakar
di masyarakat. Akhlaq dan budi pekerti saling melengkapi, mengatur
hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan tuhan Allah.
Di rumah, kesibukan orangtua yang dilihat tiap hari, akan membekas di hati anak serta akan dipraktekkan. Tak mungkin orangtua hanya sekedar main suruh, main perintah, tanpa memberikan keteladanan. Akibat bimbingan yang salah, akan melahirkan watak yang serba salah. Prinsipnya, mengajak anak gemar sopan dalam bersikap, bertindak serta santun dalam bertutur, merupakan awal pembelajaran budi pekerti.
Kehidupan ada yang bisa distrukturkan berdasarkan hukum sebab akibat. Makanya penanaman
norma religius islami melalui keteladanan dari dan dalam keluarga
menjadikan budi pekerti sebagai budaya keluarga, mewujudkan akhlaq mulia
sejak dini. (Herwin Nur/Wasathon.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar