Halaman

Jumat, 03 Januari 2014

Krisis Budi Pekerti? Islam Solusinya

Humaniora     Dibaca :429 kali , 0 komentar

Krisis Budi Pekerti? Islam Solusinya

Ditulis : Herwin Nur, 22 November 2012 | 07:22
Krisis Budi Pekerti 
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seolah tidak ada lembaga sakral di mata masyarakat. Pasca Reformasi 1998 melahirkan bebas menyatakan aspirasi dengan segala cara dan upaya. Jalur politik malah menimbulkan gempa, gaduh dan geger politik. Masalah nasional dikemas dalam format dan bingkai politik, berbagai kasus diselidiki dan disidik dengan kacamata politik.

Pingitan Orde Baru menyebabkan anak bangsa sudah lupa akan budayanya, sudah lupa bagaimana memakai rasa hormat, menghargai sesama insan. Bahkan tidak tahu bagaimana cara menempatkan dan membawakan diri. Mereka hanya mengandalkan jumlah dan tenaga.

Tradisi Konflik
Dalam kehidupan bermasyarakat, tawuran antar mahasiswa dalam satu kampus, beda fakultas, menjadi hal yang lazim, lumrah dan wajar, mengingat temparemental tempat kejadian perkara. Tawuran antar pelajar yang memakan korban, bahkan korban jiwa, bisa disimak dalam liputan langsung di layar kaca. Pelaku tawuran tidak dimonopoli pelajar dari sekolah papan bawah, bisa terjadi dari sekolah papan atas. Sinetron bertemakan persaingan antar anak SD, diangkat dari kisah nyata, atau fakta dan realita. 

Konflik horizontal antar elemen masyarakat, antar kampung, antar etnis, antar organisasi masa menjadi santapan harian media massa. Saling lempar batu antar suporter sepak bola, sebagai kelanjutan pertandingan di luar arena. Tak kurang jam tayangnya di acara tv swasta : diskusi, debat atau kupas tuntas, berbasis konflik internal keluarga. Kalangan figur publik  sampai keluarga miskin jadi langganan atau obyek tetap. Tak ada istilah tabu dalam budaya dunia info selebriti.

Akar Masalah
Bangsa Indonesia memiliki sejarah sebagai bangsa yang ramah, sopan dalam bersikap serta santun dalam bertutur. Akibat tidak bisa berakselerasi dengan kemajuan zaman, berakibat hanya dampak negatif yang terserap. Akibat kurang mampu menangkal serbuan budaya asing, berdampak pada gaya hidup, gaul dan gengsi yang meninggalkan akar budaya leluhur yang luhur.

Rambu lalu lintas yang jelas bisa dibaca mata, pengguna jalan seolah buta. Norma, tata krama, adat yang tak tertulis semakin tertinggalkan. Di lingkungan tempat tinggal, kerukunan antar tetangga sesuai kebutuhan dan kepentingan. Hubungan anak dengan orangtua bersifat demokratis. Anak bebas berbicara apa saja dengan orangtuanya.

Faktor Ajar
Priyayi dan rakyat Jawa bisa menerima masuknya agama Islam dengan tangan terbuka, karena dengan pendekatan adat istiadat. Modal masyarakat, yaitu hubungan antar individu dalam masyarakat, kerukunan antar tetangga, sampai pranata sosial, dikemas dalam ramuan tata krama. Tata krama juga mengatur hubungan manusia dengan lingkungan hidup serta hubungan dengan yang “di atas”.

Akhlaq Islam semakin memantapkan tata krama, budi pekerti yang  sudah mengakar di masyarakat. Akhlaq dan budi pekerti saling melengkapi, mengatur hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan tuhan Allah.

Di rumah, kesibukan orangtua yang dilihat tiap hari, akan membekas di hati anak serta akan dipraktekkan. Tak mungkin orangtua hanya sekedar main suruh, main perintah, tanpa memberikan keteladanan. Akibat bimbingan yang salah, akan melahirkan watak yang serba salah. Prinsipnya, mengajak anak gemar sopan dalam bersikap, bertindak serta santun dalam bertutur, merupakan awal pembelajaran budi pekerti.

Kehidupan ada yang bisa distrukturkan berdasarkan hukum sebab akibat. Makanya penanaman norma religius islami melalui keteladanan dari dan dalam keluarga menjadikan budi pekerti sebagai budaya keluarga, mewujudkan akhlaq mulia sejak dini. (Herwin Nur/Wasathon.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar