Humaniora Dibaca :446 kali , 0 komentar
5 Tantangan dalam Ujian Keimanan
Ditulis : Herwin Nur, 21 Maret 2013 | 21:48
Fakta Lapangan
Melihat
pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) di Indonesia, dari lingkungan
sipil maupun dari kalangan bersenjata, semakin berilmu, semakin canggih
modus operandinya, semakin lihai berkelit dari jeratan hukum, dan
semakin cerdas memposisikan diri di pengadilan dengan memanipulasi
watak.
Seolah
tak ada kontrol diri atau peringatan dini dari lingkungan. Seakan tak
mengetahui adanya sanksi. Konyolnya, merasa bisa berbuat bebas karena
tak ada yang melihat langsung, tidak ada yang mengawasi segala
gerak-geriknya.
Bisa
terjadi, ada pihak yang bisa membaca pikirannya, tapi tak ambil peduli.
Atau karena tipikor bisa mulus karena adanya asas ‘tahu sama tahu’.
Jika ketahuan, apalagi tertangkap tangan, akan pakai jurus ‘menyayi’.
Sumpah
Pelantikan
pejabat sebagai pemangku dan pengemban amanah melalui pembacaan sumpah,
yang maknanya merupakan kontrak atau perjanjian terucap maupun dalam
hati dengan Allah SWT. Pejabat bersumpah dengan nama Allah, tidak hanya
terkait dengan substansi tanggung jawab dan kewajiban pekerjaan,
merupakan sisi lain dari pernyataan iman. Ada yang menjadikan sumpah tsb
sebagai perisai, sebagai alat penipu. Apa sanksi hukum jika melanggar
sumpah, kita bisa mengacu terjemahan [QS Al ‘Ankabuut (29) : 2] : “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?”
Uji iman dari Allah SWT bisa bersifat individual umat Islam, bisa diterapkan pada komunitas muslim. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap
mukmin dihadapkan pada lima ujian; mukmin yang menghasudnya, munafik
yang membencinya, kafir yang memeranginya, nafsu yang menentangnya, dan
setan yang selalu menyesatkannya.” (HR ad-Dailami).
Uji Iman
Setiap orang yang beriman (mukmin) akan menghadapi uji iman dari Allah SWT, sesuai hadist di atas dalam kondisi terkini berupa :
Pertama, mukmin yang menghasudnya. Iri, dengki dan hasud adalah suatu mata rantai penyakit. Iri, meningkat menjadi dengki, berakhir dengan hasud. Tidak ada sekutu abadi dan tidak ada seteru sampai mati. Kawan maupun lawan jangan dilihat dengan kacamata karakter, diposisikan seperti air dengan api; seperti baik dengan buruk, atau seperti haram dengan halal. Hasud di era Reformasi, lebih bersifat internal, disuburkan adanya persaingan hidup.
Sistem politik lebih mengedepankan kepentingan sebagai hal yang paling penting, daripada makna saling mengingatkan. Jangan heran akan terjadi : “Boleh jadi engkau berbuat buruk tetapi tampak olehmu sebagai kebaikan lantaran engkau berkawan dengan orang yang tingkah lakunya lebih buruk darimu.” (Ibnu Atha’illah)
Kedua,
munafik yang membencinya. Sifat munafik lebih berbahaya dari kufur.
Kenyataan terkini, berlaku prinsip : sesama pejabat dilarang saling
menjegal, munafik makan munafik. Sesama pejabat sebagai pemilik dan pemakai lidah dan tangan, akan bertemu dikondisi yang kontradiktif, seperti hadist :
"Bila
kamu jumpai kemungkaran dan kamu tidak mencegah serta tidak
menanggulanginya, dikhawatirkan Allah akan menurunkan azab-Nya. Azab itu
bersifat menyeluruh" (HR At-Tirmidzi).
Ketiga,
orang kafir yang memerangi. Dampak globalisasi, kaum kafir tidak perlu
turun tangan langsung, cukup menciptakan suasana agar sesama mukmin
saling baku kata, sampai baku hantam.
Keempat,
nafsu yang menentangnya. Musuh mukmin yang paling bahaya adalah nafsu
yang tumbuh dari dalam. Salah satu jihad adalah memerangi hawa nafsu.
Kelima, setan yang selalu menyesatkannya. Mengacu terjemahan [QS Asy Syu'araa' (26) : 222] : “Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa,”. Terbukti, mereka (para setan) menjadi tamu kehormatan pelaku tipikor.[Herwin Nur/wasathon.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar