Halaman

Jumat, 03 Januari 2014

5 Tantangan dalam Ujian Keimanan

Humaniora     Dibaca :446 kali , 0 komentar

5 Tantangan dalam Ujian Keimanan

Ditulis : Herwin Nur, 21 Maret 2013 | 21:48
Fakta Lapangan
Melihat pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) di Indonesia, dari lingkungan sipil maupun dari kalangan bersenjata, semakin berilmu, semakin canggih modus operandinya, semakin lihai berkelit dari jeratan hukum, dan semakin cerdas memposisikan diri di pengadilan dengan memanipulasi watak.

Seolah tak ada kontrol diri atau peringatan dini dari lingkungan. Seakan tak mengetahui adanya sanksi. Konyolnya, merasa bisa berbuat bebas karena tak ada yang melihat langsung, tidak ada yang mengawasi segala gerak-geriknya.

Bisa terjadi, ada pihak yang bisa membaca pikirannya, tapi tak ambil peduli. Atau karena tipikor bisa mulus karena adanya asas ‘tahu sama tahu’. Jika ketahuan, apalagi tertangkap tangan, akan pakai jurus ‘menyayi’.

Sumpah  

Pelantikan pejabat sebagai pemangku dan pengemban amanah melalui pembacaan sumpah, yang maknanya merupakan kontrak atau perjanjian terucap maupun dalam hati dengan Allah SWT. Pejabat bersumpah dengan nama Allah, tidak hanya terkait dengan substansi tanggung jawab dan kewajiban pekerjaan, merupakan sisi lain dari pernyataan iman. Ada yang menjadikan sumpah tsb sebagai perisai, sebagai alat penipu. Apa sanksi hukum jika melanggar sumpah, kita bisa mengacu terjemahan [QS Al ‘Ankabuut  (29) : 2] : “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? 

Uji iman dari Allah SWT bisa bersifat individual umat Islam, bisa diterapkan pada komunitas muslim. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap mukmin dihadapkan pada lima ujian; mukmin yang menghasudnya, munafik yang membencinya, kafir yang memeranginya, nafsu yang menentangnya, dan setan yang selalu menyesatkannya.” (HR ad-Dailami).

Uji Iman
Setiap orang yang beriman (mukmin) akan menghadapi uji iman dari Allah SWT, sesuai hadist di atas dalam kondisi terkini berupa :

Pertama, mukmin yang menghasudnya.
Iri, dengki dan hasud adalah suatu mata rantai penyakit. Iri, meningkat menjadi dengki,  berakhir dengan hasud. Tidak ada sekutu abadi dan tidak ada seteru sampai mati. Kawan maupun lawan jangan dilihat dengan kacamata karakter, diposisikan seperti air dengan api; seperti baik dengan buruk, atau seperti haram dengan halal. Hasud di era Reformasi, lebih bersifat internal, disuburkan adanya persaingan hidup.

Sistem politik lebih mengedepankan kepentingan sebagai hal yang paling penting, daripada makna saling mengingatkan. Jangan heran akan terjadi : Boleh jadi engkau berbuat buruk tetapi tampak olehmu sebagai kebaikan lantaran engkau berkawan dengan orang yang tingkah lakunya lebih buruk darimu.” (Ibnu Atha’illah)

Kedua, munafik yang membencinya. Sifat munafik lebih berbahaya dari kufur. Kenyataan terkini, berlaku prinsip : sesama pejabat dilarang saling menjegal, munafik makan munafik. Sesama pejabat sebagai pemilik dan pemakai lidah dan tangan, akan bertemu dikondisi yang kontradiktif, seperti hadist :
"Bila kamu jumpai kemungkaran dan kamu tidak mencegah serta tidak menanggulanginya, dikhawatirkan Allah akan menurunkan azab-Nya. Azab itu bersifat menyeluruh" (HR At-Tirmidzi).

Ketiga, orang kafir yang memerangi. Dampak globalisasi, kaum kafir tidak perlu turun tangan langsung, cukup menciptakan suasana agar sesama mukmin saling baku kata, sampai baku hantam.

Keempat, nafsu yang menentangnya. Musuh mukmin yang paling bahaya adalah nafsu yang tumbuh dari dalam. Salah satu jihad adalah memerangi hawa nafsu. 

Kelima, setan yang selalu menyesatkannya. Mengacu terjemahan [QS Asy Syu'araa' (26) : 222] : “Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa,”. Terbukti, mereka (para setan) menjadi tamu kehormatan pelaku tipikor.[Herwin Nur/wasathon.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar