Halaman

Selasa, 14 Januari 2014

Salah Kaprah Tentang Musyawarah

Humaniora     Dibaca :144 kali , 0 komentar

Salah Kaprah Tentang Musyawarah

Ditulis : Herwin Nur, 17 Juni 2013 | 22:24
Bahasa Rakyat
Kata “musyawarat” jarang kita pakai/dengar dalam kehidupan sehari-hari. Mulut/telinga lebih familiar dengan kata “musyawarah”, terlebih dalam ungkapan “musyawarah untuk mufakat”. Banyaknya keinginan yang harus diakomodir, banyak pihak yang ingin eksis, banyaknya kepentingan yang harus didahulukan, semboyan yang dipakai adalah “mufakat untuk tidak mufakat”.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)  dikenal masyarakat karena lokasinya sebagai tempat unjuk rasa/raga rakyat. Puncak Reformasi 21 Mei 1998, berbagai elemen masyarakat menduduki kawasan gedung MPR/DPR sampai ke atapnya.

Manfaat MPR memang tidak diketahui apalagi dirasakan rakyat sampai pelosok Nusantara. MPR kalah pamor dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), khususnya dalam hal produk hukum yang menyangkut perut rakyat. Logika awam, dengan melalui proses musyawarat, ada keputusan bersama yang akan diikuti oleh rakyat, untuk kemaslahatan rakyat. Contoh sederhana, penetapan harga BBM.

Walau keputusan MPR sesuai Pasal 2, ayat (3) UUD 1945 :
“Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak.”

Ternyata kewenangan MPR hanya sesuai Pasal 3, ayat (1) UUD 1945 :
“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.”

Bahasa Al-Qur’an
Surat ke 42 dalam Al-Qur’an adalah surat Asy Syuura (musyawarat), diambil dari perkataan Syuura yang terdapat pada ayat 38 surat ini. Dalam ayat tersebut diletakkan salah satu dari dasar pemerintahan Islam ialah musyawarat. Khususnya, kewajiban bermusyawarat untuk masalah keduniaan.

Musyawarat dalam Islam tidak sebatas dalam urusan internal atau ukhuwah, tetapi juga untuk urusan dalam masyarakat majemuk, masyarakat serba multi, khususnya multireligi. Ikhwal ini seseuai firman-Nya dalam Al-Qur’an [QS Ali 'Imran (3) : 159] :  “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Yang dimaksud “urusan itu” adalah urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.

Jiwa atau jantung kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat adalah musyawarat. Mewujudkan keluarga dalam suasana sakinah (tenteram) yang disempurnakan dalam mawaddah (cinta) dan warahmah (kasih-sayang) terdapat musyawarat antara suami-isteri, bahkan juga melibatkan anak atau anggota keluarga yang lain.

Artinya, kita bisa menyimpulkan bahwa musyawarat dapat diterapkan untuk urusan hidup duniawi yang belum ada petunjuknya secara jelas dan pasti, kedudukan halal atau haramnya tidak jelas (masih samar atau syubhat). Ikhwal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan ibadah, tidak dapat dimusyawaratkan.

Dalam lingkup Rukun Warga saja tidak mudah melibatkan seluruh anggota masyarakat dalam suatu musyawarat, tetapi keterlibatan mereka dapat diwujudkan melalui sistem keterwakilan melalui Rukun Tetangga.

Sejauh ini kita simak ada tiga cara menetapkan produk hukum yang berkaitan dengan kehidupan rakyat. Pertama, keputusan yang ditetapkan oleh penguasa. Kedua, keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan minoritas. Ketiga, keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan mayoritas (ciri umum demokrasi).

Dalam menyikapi keputusan pemerintah yang kontroversial, umat Islam sudah punya pegangan [QS An Nisaa' (4) : 59] :  “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [Herwin Nur/wasathon.com].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar