Halaman

Kamis, 23 Januari 2014

SOROT DPR JANGAN PAKAI KACA MATA MORAL



Jumat, 22/04/2011 14:15
SOROT DPR JANGAN PAKAI KACA MATA MORAL
Memang tepat hasil analisis bahwa sukses Reformasi dimulai dari puncaknya, saat dengan gemilang melengserkeprabonkan Bapak Pembangunan Jenderal Besar Soeharto dari singgasana RI-1 ke 2 pada tanggal 21 Mei 1998. Gedung MPR/DPR sebagai simbul wakil rakyat menampung gerakan people power dari kalangan mahasiswa, kelompok pemuda, organisasi masa dan berbagai elemen masyarakat. Kran demokrasi mengucur deras, yang semula tabu di zaman Orde Baru, di era Reformasi diumbar luas. Tatanan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat mengalami perubahan secara drastis, radikal dan dinamis, termasuk gerakan aspirasi politik yang diwadahi partai politik (parpol). Plat form parpol sangat beragam dan bervariasi, namun dalam prakteknya jauh dari pro-rakyat. Melalui pesta demokrasi lima tahunan, banyak petinggi, kader senior, dedengkot, pesohor, papan atas, tokoh parpol jadi anggota legislatif, masuk jajaran birokrasi atau eksekutif, tampil di kancah yudikatif di berbagai tingkatan.

Menyimak ruang gerak dan bidang garap yang ditekuni para wakil rakyat, dalam kurun masa bhakti lima tahun, terasa kurang. Tak ayal, untuk urusan sidang DPR, hanya ada dua pilihan : mangkir atau datang. Bagi yang mangkir, mungkin masalah selesai di situ. Alasan mangkir cukup masuk akal, yaitu sedang temu dan jumpa dengan konstituennya, sedang mengakomodir arus bawah. Namun bagi yang hadir, berbagai permasalahan akan timbul, sewaktu sidang fraksi, komisi maupun sidang paripurna. Sidang bisa tidak memenuhi kuorum sebagai penyakit rutin DPR.

Penerapan sistem absensi sidik jari (finger print) untuk pelaksanaan rapat-rapat dewan tidak efektif. Perilaku, tabiat dan atraksi yang dipertontonkan anggota DPR sewaktu sidang, untuk ukuran anak TK, sangat menggelikan. Kinerja dan kiprah aktual anggota DPR, di dalam maupun luar sidang, dapat dinikmati melalui media masa, khususnya layar kaca. Adegan yang diliput langsung, dalam bentuk rekaman, ditayang ulang, tidak bisa disebutkan satu persatu, selalu bertambah. Namun, kalau mau jujur, tayangan sidang DPR, maupun tayangan yang menampilkan anggota DPR dalam acara dialog, diskusi maupun debat, tidak mencerminkan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Berita teranyar, saat sidang paripurna DPR, kesibukan anggota Fraksi PKS : Arifinto, tertangkap basah oleh kamera, sedang menonton tayangan berbasis pornografi di ipadnya. Pengakuan Arifinto, ia membuka e-mail miliknya karena jenuh mengikuti rapat paripurna. Menurutnya, siapa pun akan jenuh jika tidak melakukan aktivitas yang lain. Terlebih, sidang menjelang sholat Jumat (8 April 2011). Lepas dari definisi hukum porno, memang Arifinto sedang ketiban sial, paling sial karena sebagai politisi PKS. Kelakuan Arifinto memang tidak merugikan negara dalam takaran Rp, serta tidak bisa dilihat sebagai tindak pribadi, harus secara kolektif dan kolegial. Sejak Reformasi digulirkan, budipekerti anggota DPR bukan bak nila setitik lagi, tapi sudah melebihi susu sebelanga. Jadi kalau mau mengevaluasi dan memprediksi karakter anggota DPR jangan dengan kaca mata moral atau susila. Pakai kaca mata Rp! [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar