Jumat,
22/04/2011 14:15
SOROT DPR JANGAN PAKAI KACA MATA
MORAL
Memang tepat hasil analisis bahwa
sukses Reformasi dimulai dari puncaknya, saat dengan gemilang
melengserkeprabonkan Bapak Pembangunan Jenderal Besar Soeharto dari singgasana
RI-1 ke 2 pada tanggal 21 Mei 1998. Gedung MPR/DPR sebagai simbul wakil rakyat
menampung gerakan people power dari kalangan mahasiswa, kelompok pemuda,
organisasi masa dan berbagai elemen masyarakat. Kran demokrasi mengucur deras,
yang semula tabu di zaman Orde Baru, di era Reformasi diumbar luas. Tatanan
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat mengalami perubahan secara
drastis, radikal dan dinamis, termasuk gerakan aspirasi politik yang diwadahi
partai politik (parpol). Plat form parpol sangat beragam dan bervariasi, namun
dalam prakteknya jauh dari pro-rakyat. Melalui pesta demokrasi lima tahunan,
banyak petinggi, kader senior, dedengkot, pesohor, papan atas, tokoh parpol
jadi anggota legislatif, masuk jajaran birokrasi atau eksekutif, tampil di
kancah yudikatif di berbagai tingkatan.
Menyimak ruang gerak dan bidang
garap yang ditekuni para wakil rakyat, dalam kurun masa bhakti lima tahun,
terasa kurang. Tak ayal, untuk urusan sidang DPR, hanya ada dua pilihan :
mangkir atau datang. Bagi yang mangkir, mungkin masalah selesai di situ. Alasan
mangkir cukup masuk akal, yaitu sedang temu dan jumpa dengan konstituennya,
sedang mengakomodir arus bawah. Namun bagi yang hadir, berbagai permasalahan
akan timbul, sewaktu sidang fraksi, komisi maupun sidang paripurna. Sidang bisa
tidak memenuhi kuorum sebagai penyakit rutin DPR.
Penerapan sistem absensi sidik jari
(finger print) untuk pelaksanaan rapat-rapat dewan tidak efektif. Perilaku,
tabiat dan atraksi yang dipertontonkan anggota DPR sewaktu sidang, untuk ukuran
anak TK, sangat menggelikan. Kinerja dan kiprah aktual anggota DPR, di dalam
maupun luar sidang, dapat dinikmati melalui media masa, khususnya layar kaca.
Adegan yang diliput langsung, dalam bentuk rekaman, ditayang ulang, tidak bisa
disebutkan satu persatu, selalu bertambah. Namun, kalau mau jujur, tayangan
sidang DPR, maupun tayangan yang menampilkan anggota DPR dalam acara dialog,
diskusi maupun debat, tidak mencerminkan fungsi legislasi, anggaran dan
pengawasan. Berita teranyar, saat sidang paripurna DPR, kesibukan anggota
Fraksi PKS : Arifinto, tertangkap basah oleh kamera, sedang menonton tayangan
berbasis pornografi di ipadnya. Pengakuan Arifinto, ia membuka e-mail miliknya
karena jenuh mengikuti rapat paripurna. Menurutnya, siapa pun akan jenuh jika
tidak melakukan aktivitas yang lain. Terlebih, sidang menjelang sholat Jumat (8
April 2011). Lepas dari definisi hukum porno, memang Arifinto sedang ketiban
sial, paling sial karena sebagai politisi PKS. Kelakuan Arifinto memang tidak
merugikan negara dalam takaran Rp, serta tidak bisa dilihat sebagai tindak
pribadi, harus secara kolektif dan kolegial. Sejak Reformasi digulirkan,
budipekerti anggota DPR bukan bak nila setitik lagi, tapi sudah melebihi susu
sebelanga. Jadi kalau mau mengevaluasi dan memprediksi karakter anggota DPR
jangan dengan kaca mata moral atau susila. Pakai kaca mata Rp! [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar