Halaman

Minggu, 12 Januari 2014

Mengukur Kekuatan Umat Islam

Politika     Dibaca :46 kali , 0 komentar

Mengukur Kekuatan Umat Islam

Ditulis : Herwin Nur, 09 Januari 2014 | 11:48
Telinga kita acap mendengar wasiat khotib sholat jumat, bagaimana para rahib (pendeta Yahudi) membicarakan tentang umat Islam beserta kemungkinan bersatunya mereka. 

“Kita harus waspada dengan shalat jumatnya umat Islam” kata seorang rahib. “Kenapa?” tanya rahib lain. Serius rahib pertama : “Shalat jumat bisa digunakan oleh kaum muslim untuk saling berkoordinasi dan merencanakan strategi guna menghadapi kita”. Rahib pertama meneruskan celotehnya : “Kita harus mengawasi mereka saat shalat jumat berlangsung”.

Mendengar analisa sohibnya, rahib kedua terbahak sambil berujar : “Jangan khawatir saudaraku, shalat jumat bukanlah ukuran bahwa kaum muslim telah bersatu. Saat itu jumlah mereka memang berlipat, tapi tidak kuat. Mereka sebenarnya terpecah”. Sambil mendekatkan kepalanya ke telinga rahib pertama, rahib kedua berbisik : “Kita justru harus mengkhawatirkan shalat subuh mereka, umat Islam akan menjadi penghalang yang kuat manakala shalat subuh mereka sama mbludaknya dengan shalat jumatnya”.

Kenyataannya, jika kita lihat cara jamaah memilih tempat dalam masjid, sangat beraneka alasan dan logika. Bahkan di masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, bisa kita lihat betapa berserakannya jamaah. Karena lokasi, banyak jamaah berbusana batik.
Secara umum, orang memilih lokasi dan posisi strategis dekat pintu masuk, agar mudah bertebaran di muka bumi usai imam ucap salam kedua. Dekat pilar, dekat jendela, dekat dinding sambil duduk istirahat santai. Shaf terdepan, dekat mihrab seolah jatah khotib, imam, muazin dan petinggi pengurus masjid. 

Ironisnya, ada yang mengalah duduk menggerombol dengan kawanannya di shaf belakang, sambil berbincang. Memilih halaman masjid, walau di dalam masih melompong, bukan hal yang tabu. 

Karena kesibukkan dunia, jumatan menjadi ajang reuni hamba Allah, untuk ibadah sekaligus silaturahmi. Model ‘jiping’ (ngaji kuping), seminggu sekali umat Islam diingatkan untuk meningkatkan ketakwaan. Efisiensi waktu, ada yang datang belakangan, pulang duluan. 

Begitu qomat berkumandang, seperti komando orang berebut masuk masjid. Yang di dalam masjid, dengan sigap maju ke depan, mendesak barisan agar dapat shaf depan. Usai sholat jumat, ada yang berdoa. Melengkapi dengan sholat sunah tanpa bergeser tempat, bahkan mengganggu arus jamaah yang mau keluar masjid.

Tidak salah kiranya sinyalir dua Rahib di atas. Kenyataan lain, keluar masjid, barisan pengemis menghadang dengan tangan tengadah. 

Makna Simbolik
Bagaimana umat Islam memaknai rukun sholat jumat, khususnya adab dan rukun sholat berjamaah di masjid, mengawali seberapa kadar nyali umat Islam. Kesempatan emas di shaf terdepan, mulai dari penjuru masjid, diabaikan dengan sadar. Berani tampil di depan, minimal dengan dalih tidak dilangkahi pundaknya, masih sebatas pemahaman saja. Kurang diimbangi dengan pemanfaatan waktu tunggu azan Dzuhur. 

Bisa juga budaya sungkan untuk tampil dan terlihat di depan yang mendasari lebih baik ada di barisan belakang. Kebiasaan mendahulukan yang tua untuk duduk di depan, sebetulnya tidak berlaku di masjid.  Begitu situasi aman, kondusif, disertai komando qomat, serentak maju berebut posisi depan. Sibuk merapihkan sarung, kopiah, busana koko, atau menonaktifkan HP menunjukkan kesiapan diri yang tidak siap.

Tidak ada perbedaan mendasar nyali jamaah shalat jumat di masjid di lingkungan tempat tinggal, perkantoran dibanding dengan jamaah masjid di tempat umum. Apakah ini sebagai gambaran nyata, bahkan di lingkungan yang lebih luas yaitu berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, di panggung politik, umat Islam kurang berani tampil di depan. (Herwin Nur/Wasathon.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar