Politika Dibaca :46 kali , 0 komentar
Mengukur Kekuatan Umat Islam
Ditulis : Herwin Nur, 09 Januari 2014 | 11:48
Telinga
kita acap mendengar wasiat khotib sholat jumat, bagaimana para rahib
(pendeta Yahudi) membicarakan tentang umat Islam beserta kemungkinan
bersatunya mereka.
“Kita
harus waspada dengan shalat jumatnya umat Islam” kata seorang rahib.
“Kenapa?” tanya rahib lain. Serius rahib pertama : “Shalat jumat bisa
digunakan oleh kaum muslim untuk saling berkoordinasi dan merencanakan
strategi guna menghadapi kita”. Rahib pertama meneruskan celotehnya :
“Kita harus mengawasi mereka saat shalat jumat berlangsung”.
Mendengar
analisa sohibnya, rahib kedua terbahak sambil berujar : “Jangan
khawatir saudaraku, shalat jumat bukanlah ukuran bahwa kaum muslim telah
bersatu. Saat itu jumlah mereka memang berlipat, tapi tidak kuat.
Mereka sebenarnya terpecah”. Sambil mendekatkan kepalanya ke telinga
rahib pertama, rahib kedua berbisik : “Kita justru harus mengkhawatirkan
shalat subuh mereka, umat Islam akan menjadi penghalang yang kuat
manakala shalat subuh mereka sama mbludaknya dengan shalat jumatnya”.
Kenyataannya,
jika kita lihat cara jamaah memilih tempat dalam masjid, sangat
beraneka alasan dan logika. Bahkan di masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan, bisa kita lihat betapa berserakannya jamaah. Karena
lokasi, banyak jamaah berbusana batik.
Secara
umum, orang memilih lokasi dan posisi strategis dekat pintu masuk, agar
mudah bertebaran di muka bumi usai imam ucap salam kedua. Dekat pilar,
dekat jendela, dekat dinding sambil duduk istirahat santai. Shaf
terdepan, dekat mihrab seolah jatah khotib, imam, muazin dan petinggi
pengurus masjid.
Ironisnya,
ada yang mengalah duduk menggerombol dengan kawanannya di shaf
belakang, sambil berbincang. Memilih halaman masjid, walau di dalam
masih melompong, bukan hal yang tabu.
Karena
kesibukkan dunia, jumatan menjadi ajang reuni hamba Allah, untuk ibadah
sekaligus silaturahmi. Model ‘jiping’ (ngaji kuping), seminggu sekali
umat Islam diingatkan untuk meningkatkan ketakwaan. Efisiensi waktu, ada
yang datang belakangan, pulang duluan.
Begitu
qomat berkumandang, seperti komando orang berebut masuk masjid. Yang di
dalam masjid, dengan sigap maju ke depan, mendesak barisan agar dapat
shaf depan. Usai sholat jumat, ada yang berdoa. Melengkapi dengan sholat
sunah tanpa bergeser tempat, bahkan mengganggu arus jamaah yang mau
keluar masjid.
Tidak
salah kiranya sinyalir dua Rahib di atas. Kenyataan lain, keluar
masjid, barisan pengemis menghadang dengan tangan tengadah.
Makna Simbolik
Bagaimana
umat Islam memaknai rukun sholat jumat, khususnya adab dan rukun sholat
berjamaah di masjid, mengawali seberapa kadar nyali umat Islam.
Kesempatan emas di shaf terdepan, mulai dari penjuru masjid, diabaikan
dengan sadar. Berani tampil di depan, minimal dengan dalih tidak
dilangkahi pundaknya, masih sebatas pemahaman saja. Kurang diimbangi
dengan pemanfaatan waktu tunggu azan Dzuhur.
Bisa
juga budaya sungkan untuk tampil dan terlihat di depan yang mendasari
lebih baik ada di barisan belakang. Kebiasaan mendahulukan yang tua
untuk duduk di depan, sebetulnya tidak berlaku di masjid. Begitu
situasi aman, kondusif, disertai komando qomat, serentak maju berebut
posisi depan. Sibuk merapihkan sarung, kopiah, busana koko, atau
menonaktifkan HP menunjukkan kesiapan diri yang tidak siap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar