Halaman

Senin, 22 November 2021

matoa Papua, subur berkat humus daun sendiri

 matoa Papua, subur berkat humus daun sendiri

Beda pasal dengan fakta di tanah Jawa merdeka. “Pagar makan tanaman” masih pidana ringan. Malah bukan pidana, karena panggilan tugas 24 jam. Modifikasi motivasi menjadi “tukang jaga(l) rakyat”.

 Pihak akal politik sehat, ketika lihat pohon matoa di samping kanan rumah. “Tidak ditebang Pak . .” Kawanan konspirasi ahli libas, babat habis. Sampai ke cindil abang. Doeloe, macam kawanan sejenis malah dengan lugas patok biaya politik tebang habis, delapan juta Rp! Buang semua kayu, sampah ikutan hingga bongkar akar sampai ke akar-akarnya.

 Sistem ekonomi harian, gali lubang tutup lubang. Sudah lama kupraktekkan tanpa tekanan. Modal linggis, cangkul kecil panjang, ember. Lubang sampah yang masih aktif, sistem padat injak atau tumbuk, sudah saatnya ganti kursi. Cara lain, ember diisi sampah organis, di atasnya ditaruh pot selaku pemadat. Agar sampah cepat lapuk, busuk. Sirami pot sampai jenuh. Air menetes ketampung ember sampah. Kolaborasi.

 Kembali ke niat awal. Daun matoa mendominasi isi jogangan, lubang tanah tempat sampah organis. Metode gali tanah, tetap pakai cara tardisional. Perhitungan waktu cukup rumit. Tampak akar serabut di permukaan tanah. Pratanda lokasi ideal penggalian. Sampah sudah hancur jadi tanah. Peras habis oleh pohon matoa melebihi atap rumah. Penyejuk udara luar. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar