Halaman

Kamis, 13 Agustus 2015

toleransi revolusi mental Nusantara, daya tahan politik vs daya tahan ekonomi

toleransi revolusi mental Nusantara, daya tahan politik vs daya tahan ekonomi

Persatuan, kesatuan maupun toleransi rakyat Nusantara sudah dipraktekkan, terjalin mesra, terwujud utuh jauh sebelum proklamasi 17 Agustus 1945. Diformalkan dengan asas Bhineka Tunggal Ika. Semangat gotong royong yang sesuai pertambahan usia/umur anak bangsa semakin menyusut, luntur dan terkikis.

Semangat “asam di gunung, garam di laut bertemu dalam satu belanga/kuali” malah hanya sebatas peribahasa. Atau Nusantara menjadi dunia kecil, mewakili bangsa yang ada di dunia. Terkhususnya, teutamanya negara adidaya, negara polisi dunia, negara penjaga perdamaian, negara pengatur ekonomi dunia. Indonesia dengan ringan hati membuka diri, siap menerima masuknya garam impor. Bisa-bisa, bisa terjadi asam di gunung, bibitnya beraneka ragam dari berbagai negara tetangga. Apalagi jika gunung sudah mulai gundul dan gemar batuk ringan, batu berdahak dan batuk ingusan.

Dampak psikologis kebijakan pemerintah akibat perdagangan bebas dunia, menjadikan masyarakat petani Nusantara sudah terlanjur tidak terbiasa dan tidak dapat lagi memproduksi kebutuhan pangan dalam negeri. Sandang pangan sudah tergantikan dengan produk buangan, produk murahan, produk apkiran dari manca negara.

Perjuangan politik menjadi senjata utama, senjata andalan yang melandasi Proklamasi serta mempertahankan eksistensi, jati diri bangsa dan negara sesuai asas de jure dan de facto. Ironis, pekerja politik komersial, yang kenyang “makan asam garam” karena faktor keturunan malah menjadikan bangsa dan negara ini digadaikan sebagai korban konspirasi internasional. Bandar politik pendukung Jokowi, dengan gagah berani tampil di perombakan Kabinet Kerja. Saat pelantikan menteri hasil perombakan, selasa 12 Agistus 2015, memposisikan diri tanpa diminta, sesudah RI-1 dan RI-2 memberi ucapan selamat.

70 tahun merdeka, menjadikan kebebasan politik Nusantara membelenggu diri sendiri. Menyerahkan kepala untuk dijadikan keset tuan-tuan yang datang menebar dolar. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar