Halaman

Sabtu, 22 Agustus 2015

menggugat tanggung jawab moral ormas/parpol Islam


Tantangan Zaman
Khotbah sholat jum’at 21 Agustus 2015 di masjid kompleks perumahan kami mengambil tema “mewujudkan persatuan umat Islam”. Khotib yang biasa sebagai pengisi tausyiah bakda subuh sabtu/ahad di masjid yang sama, menjabarkan substansi secara rinci runtut berdasarkan kondisi faktual dan aktual bermasyarakat, berbangsa, bernegara.

Saran yang disampaikan, bahwa persatuan bisa dimulai dari individu, perorangan. Memakmurkan rumah Allah dengan menegakkan sholat lima waktu secara berjamaah. Sering bertemu dalam shaf, menggerombol di shaf strategis dekat pintu,  duduk bareng menunggu azan/iqomat, saling senyum, salam dan sapa menjadikan saling kenal wajah, walau belum kenal nama. Lepas kenyataan jamaah didominasi generasi tua. Kedekatan, kerekatan, kelekatan antar jamaah diperkuat dengan adanya berbagai kegiatan berbasis masjid. Bukti ukhuwah terasa jika ada jamaah sholat yang tidak nampak. Ragam ukhuwah lainnya, bakda isya’ jamaah berbondong ke rumah duka untuk tahlilan.

Paparan yang menggelitik, sebagai pengamatan khotib, terjadi antar umat Islam saling mengkafirkan. Konflik antar umat Islam melebihi saat melawan penjajah. Jamaah yang satu shaf, satu masjid karena beda pemahaman terhadap praktik ajaran agama Islam, menjadi saling tidak tegur sapa. Merasa dalil yang dipakai, sebagai dalil yang benar.

Konflik Kepentingan
Sudah suratan dan takdir sejarah, ketika antara penyelenggara negara (baca, kepemimpinan politik)  dengan kepemimpinan agama Islam mejadi dua kutub yang berbeda, tidak saling sinerji. Umat Islam merasa “diwakili” partai politik Islam atau yang berbasis Islam yang praktik aktif sebagai penyelenggara negara sekaligus merasa “diwakili” ormas Islam yang sibuk dengan status ulama.

Wajar, persaingan bebas di panggung, industri dan syahwat politik, orang  sulit menentukan mana kawan mana lawan, orang susah memilih mana sekutu mana seteru, orang rumit memilah mana sahabat mana pengkhianat, orang muskil menyaring mana suara menghujat mana suara menjilat, karena manusia mengulang kata iblis : “saya lebih baik”, lebih bisa, lebih layak, lebih pantas, lebih cerdas dari orang lain.

Jelang pesta demokrasi lima tahunan, pernyataan sikap ormas Islam atau bahkan dukungan terhadap pasangan calon presiden bersifat dilematis, dikotomis dan kontradiktif. Sebagai contoh, walaupun bukan contoh, kita simak maklumat “Pernyataan Sikap PP Muhammadiyah tentang Pemilihan Umum Tahun 2014”.

Bismillahirrahmanirrahim

Sebagai wujud komitmen dan tanggung jawab kebangsaan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan Pernyataan Sikap sebagai pesan dan ajakan moral tentang penyelenggaraan Pemilu 2014. Pernyataan Sikap ini merupakan hasil pengkajian dan kesepakatan bersama Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah seluruh Indonesia dalam pertemuan nasional tanggal 3 Januari 2014 di Jakarta.

Khususnya kita cermati butir 1, yaitu :
Muhammadiyah memandang Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses politik yang sangat bermakna, strategis, serta menentukan eksistensi, arah perjalanan dan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Pemilu bukanlah ritual politik dan suksesi kepemimpinan belaka, tetapi momentum jihad politik dan sarana membangun demokrasi yang substantif dan mengakhiri transisi dan segala bentuk eksperimen politik yang selama ini ditengarai semakin menjauhkan kehidupan kebangsaan dari misi mulia Reformasi dan cita-cita nasional 1945. Demokrasi yang serba bebas tanpa tanggung jawab moral yang tinggi hanya menghasilkan kehidupan politik nasional yang sarat transaksional, korupsi, politik dinasti dan gaya hidup elit yang jauh dari standar moralitas agama dan budaya luhur bangsa Indonesia.
 (sumber : laman Muhammadiyah, Rabu, 15 Jan 2014 | 14:48 WIB)

Artinya, sangkaan saya bahwa Muhammadiyah akan menjalankan demokrasi “yang serba bebas” atau sudah kebablasan di era Reformasi,  berdasarkan tanggung jawab moral yang tinggi. Ikhwal khusus ini saya harapkan berlaku untuk ormas/parpol Islam yang bertebaran.

Koalisi parpol Islam, karena jauh dari makna poros langit, jelas sangat sulit untuk dilakukan. Koalisi parpol Islam sebagai kompromi politik, tidak ada sangkut pautnya dengan kompromi keagamaan, jelas tak akan bisa dilaksanakan. Koalisi parpol Islam berangkat dari kepentingan merebut kursi yang sama, maupun membagi kursi kekuasaan, jelas tak akan bisa diwujudkan

Saran Singkat
Idealnya, antara penyelenggara negara dengan penyelenggara agama Islam saling membutuhkan, saling melengkapi, saling mengisi, dan saling bekerja sama bahkan saling nasehat-menasehati untuk mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran. Umara membutuhkan legitimasi ulama, sementara ulama membutuhkan dukungan umara untuk menjalankan amar ma’rûf dan nahyi munkar, memerintahkan manusia untuk melakukan kebaikan, kebajikan dan mencegah mereka dari perbuatan keji yang ditolak oleh norma reliji dan standar islami.

Banyak di antara kita yang belum memahami bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. (lihat PP 38/2007) [Haen]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar