Tantangan Zaman
Khotbah sholat jum’at 21 Agustus
2015 di masjid kompleks perumahan kami mengambil tema “mewujudkan persatuan
umat Islam”. Khotib yang biasa sebagai pengisi tausyiah bakda subuh sabtu/ahad
di masjid yang sama, menjabarkan substansi secara rinci runtut berdasarkan
kondisi faktual dan aktual bermasyarakat, berbangsa, bernegara.
Saran yang disampaikan, bahwa
persatuan bisa dimulai dari individu, perorangan. Memakmurkan rumah Allah
dengan menegakkan sholat lima waktu secara berjamaah. Sering bertemu dalam
shaf, menggerombol di shaf strategis dekat pintu, duduk bareng menunggu azan/iqomat, saling
senyum, salam dan sapa menjadikan saling kenal wajah, walau belum kenal nama. Lepas
kenyataan jamaah didominasi generasi tua. Kedekatan, kerekatan, kelekatan antar
jamaah diperkuat dengan adanya berbagai kegiatan berbasis masjid. Bukti ukhuwah
terasa jika ada jamaah sholat yang tidak nampak. Ragam ukhuwah lainnya, bakda
isya’ jamaah berbondong ke rumah duka untuk tahlilan.
Paparan yang menggelitik, sebagai
pengamatan khotib, terjadi antar umat Islam saling mengkafirkan. Konflik antar
umat Islam melebihi saat melawan penjajah. Jamaah yang satu shaf, satu masjid
karena beda pemahaman terhadap praktik ajaran agama Islam, menjadi saling tidak
tegur sapa. Merasa dalil yang dipakai, sebagai dalil yang benar.
Konflik Kepentingan
Sudah suratan dan takdir sejarah,
ketika antara penyelenggara negara (baca, kepemimpinan politik) dengan kepemimpinan agama Islam mejadi dua
kutub yang berbeda, tidak saling sinerji. Umat Islam merasa “diwakili” partai
politik Islam atau yang berbasis Islam yang praktik aktif sebagai penyelenggara
negara sekaligus merasa “diwakili” ormas Islam yang sibuk dengan status ulama.
Wajar, persaingan bebas di panggung, industri dan
syahwat politik, orang sulit menentukan
mana kawan mana lawan, orang susah memilih mana sekutu mana seteru, orang rumit
memilah mana sahabat mana pengkhianat, orang muskil menyaring mana suara
menghujat mana suara menjilat, karena manusia mengulang kata iblis : “saya
lebih baik”,
lebih bisa, lebih layak, lebih pantas, lebih cerdas dari orang lain.
Jelang pesta demokrasi lima
tahunan, pernyataan sikap ormas Islam atau bahkan dukungan terhadap pasangan
calon presiden bersifat dilematis, dikotomis dan kontradiktif. Sebagai contoh,
walaupun bukan contoh, kita simak maklumat “Pernyataan Sikap PP Muhammadiyah tentang
Pemilihan Umum Tahun 2014”.
Bismillahirrahmanirrahim
Sebagai wujud komitmen dan tanggung jawab kebangsaan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan Pernyataan Sikap sebagai pesan dan ajakan moral tentang penyelenggaraan Pemilu 2014. Pernyataan Sikap ini merupakan hasil pengkajian dan kesepakatan bersama Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah seluruh Indonesia dalam pertemuan nasional tanggal 3 Januari 2014 di Jakarta.
Sebagai wujud komitmen dan tanggung jawab kebangsaan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan Pernyataan Sikap sebagai pesan dan ajakan moral tentang penyelenggaraan Pemilu 2014. Pernyataan Sikap ini merupakan hasil pengkajian dan kesepakatan bersama Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah seluruh Indonesia dalam pertemuan nasional tanggal 3 Januari 2014 di Jakarta.
Khususnya kita
cermati butir 1, yaitu :
Muhammadiyah memandang Pemilihan Umum (Pemilu) adalah
proses politik yang sangat bermakna, strategis, serta menentukan eksistensi, arah
perjalanan dan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Pemilu bukanlah ritual
politik dan suksesi kepemimpinan belaka, tetapi momentum jihad politik dan
sarana membangun demokrasi yang substantif dan mengakhiri transisi dan segala
bentuk eksperimen politik yang selama ini ditengarai semakin menjauhkan
kehidupan kebangsaan dari misi mulia Reformasi dan cita-cita nasional 1945.
Demokrasi yang serba bebas tanpa tanggung jawab moral yang tinggi hanya
menghasilkan kehidupan politik nasional yang sarat transaksional, korupsi,
politik dinasti dan gaya hidup elit yang jauh dari standar moralitas agama dan
budaya luhur bangsa Indonesia.
(sumber : laman
Muhammadiyah, Rabu, 15 Jan 2014 | 14:48 WIB)
Artinya, sangkaan
saya bahwa Muhammadiyah akan menjalankan demokrasi “yang serba bebas” atau
sudah kebablasan di era Reformasi,
berdasarkan tanggung jawab moral yang tinggi. Ikhwal khusus ini saya
harapkan berlaku untuk ormas/parpol Islam yang bertebaran.
Koalisi parpol Islam, karena jauh dari makna poros langit, jelas sangat
sulit untuk dilakukan. Koalisi parpol Islam sebagai kompromi politik, tidak ada
sangkut pautnya dengan kompromi keagamaan, jelas tak akan bisa dilaksanakan. Koalisi
parpol Islam berangkat dari kepentingan merebut kursi yang sama, maupun membagi
kursi kekuasaan, jelas tak akan bisa diwujudkan
Saran Singkat
Idealnya, antara penyelenggara
negara dengan penyelenggara agama Islam saling membutuhkan, saling melengkapi, saling
mengisi, dan saling bekerja sama bahkan saling nasehat-menasehati untuk
mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran. Umara membutuhkan legitimasi ulama,
sementara ulama membutuhkan dukungan umara untuk menjalankan amar ma’rûf dan
nahyi munkar, memerintahkan manusia untuk melakukan kebaikan, kebajikan dan
mencegah mereka dari perbuatan keji yang ditolak oleh norma reliji dan standar
islami.
Banyak di antara kita yang belum memahami
bahwa urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah meliputi politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. (lihat
PP 38/2007) [Haen]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar