Politika Dibaca :423 kali , 0 komentar
2013, Tahun Kritis Kepentingan Politik vs Kepentingan Umum
Ditulis : Herwin Nur, 01 Januari 2013
Pendekatan politik lebih dominan dipakai dalam pelaksanaan pembangunan nasional, mulai dari perencanaan, penyusunan program, dan penganggaran sampai tahap operasi dan pemeliharaan. Pasang surut kebidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat menyuratkan dan menyiratkan kinerja partai politik (parpol). Suhu politik tahunan sampai satu periode lima tahun akan mempegaruhi daya tahan bangsa dalam menghadapi kenyataan hidup.
Sistem perencanaan dan pembangunan nasional telah menggariskan batasan Kepentingan Umum, yaitu adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (UU 2/2012 tentang PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM). Di lapangan, semakin banyak rambu-rambu hukum, seolah hanya sebagai pajangan. Kemakmuran rakyat hanya dijabarkan di atas kertas saja, baik mengadop konsep manca negara maupun hasil kajian akademis. Sudah banyak program/kegiatan dipraktekkan, masalahnya jumlah orang miskin selalu bertambah.
Kepentingan politik di era Reformasi sudah masuk skala syahwat politik. Masyarakat disuguhi atraksi dan adegan berbasis koalisi parpol pemenang pemilu 2009. Parpol Senayan bersatu agar kursi kekuasaan tidak direbut parpol papan bawah. Bukan untuk membentuk sinergi sehingga dalam penyelenggaraan negara bisa optimal. Konflik internal parpol pun bisa sebagai bahaya laten yang menguras habis energi dan emosi bangsa, negara dan rakyat. Survei siapa yang paling layak jadi presiden semakin memperparah gejolak syahwat politik. Kader parpol mana yang terbanyak jadi langganan KPK, semakin membuktikan bencana politik seolah terjadi tiap tahun. Parpol berubah jadi industri politik untuk kepentingan lima tahunan. Secara historis, parpol berkembang menjadi perusahaan keluarga.
Impian dan harapan anak bangsa, negara dan masyarakat Indonesia di 2013, kalau dievaluasi akan mengerucut pada kondisi yang diinginkan yaitu agar tidak terjadi lagi, tidak terulang lagi bencana politik. Sumber bencana politik bersifat lokal, sesaat, namun dampaknya luar biasa. Terlebih jika bencana politik masuk kategori pagar makan tanaman, yaitu biang keroknya adalah oknum wakil rakyat maupun pimpinan daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Dampak bencana politik bersifat sistemik, karena pelakunya dari para elite parpol yang bercokol di birokrat dan wakil rakyat.
Bencana politik mulai dari akibat ulah mulut penganut politik praktis sampai apa yang dilakukan oleh kaki dan tangan petinggi parpol. Kaki mengajak untuk tidak menghadiri sidang DPR, tetapi rajin untuk melakukan kunjungan kerja, studi banding ke manca negara. Tangan dengan sadar diri dan keyakinan penuh mengutip uang negara secara berlebih untuk kepentingan anak keturunannya.
2013 sebagai tahun kritis kepentingan politik vs kepentingan umum, jika tidak bisa diminimalisir sampai ambang bawah, dipastikan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat akan jadi korban sia-sia. Konsentrasi dan fokus parpol adalah mencari bekal dan akal agar bisa menang dalam pesta demokrasi. Ibarat lari jarak menengah, jelang finish 2014, semua pelari melakukan sprinter, tancap gas, masuk gigi terbesar.
Pilpres 2014 sebagai daya tarik parpol untuk berbuat apa saja, khususnya dalam menyiapkan diri dan mematut diri. Parpol incumbent atau petahana tentu tak mau kehilangan kursi empuknya. Bagi wakil rakyat yang baru satu periode sudah tebar janji dan pesona serta ancang-ancang di internal parpol agar tetap masuk bursa pencalonan. Ketua Umum parpol banyak yang merasa bisa jadi RI-1, tanpa sungkan mencapreskan dirinya. Bahkan tanpa malu maju sebelum dipanggil namanya. Ada pihak yang dipinang parpol untuk jadi bakal capres, yang bersangkutan sudah merasakan bak dapat durian runtuh.(Herwin Nur/Wasathon.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar