Ketika Ladang Amal Ulama Bergeser ke Industri Dan
Syahwat Politik
Peringatan
tertulis “matikan HP anda” ditempel di dinding, di kolom masjid atau diumumkan
sebelum sholat berjamaah, menjadi hal lumrah dan biasa. Imam yang peduli pada
makmumnya, mengingatkan shaf agar rapat dan perhatikan posisi tumit di batas
belakang sajadah. Sebagai sahnya sholat berjamaah.
Masjid
mengalami revolusi fisik yang bisa dibilang nyaris drastis, jamaah bisa-bisa
dininabobokan, merasa dimanjakan, merasa nyaman, merasa betah beribadah maupun
melaksanakan berbagai kegiatan berbasis masjid.
Masjid
secara fisik didesain dalam skala tuhan, dengan kolom besar tinggi, beratap
kubah. Manusia merasa kecil berada di rumah Allah, sekaligus merasa dekat
dengan-Nya.
Pilar Politik
Di dunia ini, wajar jika manusia merasa aman, nyaman
bahkan punya nyali jika berada atau dekat dengan poros kekuasaan penyelenggara
negara. Petugas partai politik (parpol) atau pekerja politik mendominasi trias
politika melalui arisan lima tahun sekali, yang disebut pesta demokrasi sampai
tingkat kabupaten/kota.
Ulama Indonesia terkontaminasi urusan dunia yang
disajikan oleh kawanan parpolis. Secara individu, komunitas bahkan dalam
tataran dan tatanan ormas (organisasi kemasyarakatan) Islam ataupun parpol
Islam, secara sukarela dan nyata, bukannya sekedar menggunakan hak pilih dalam
pilpres, bahkan dengan bangga mendukung pasangan capres dan cawapres. Kapasitas
dan kapabilitas capres dan cawapres dinilai karena dari kaumnya, minimal
anggota pasif ormas Islam.
Tanpa basa basi, ulama Indonesia bersandar di pilar
politik yang seolah nampak kuat dan pilihan rakyat. Strategi oknum atau barisan
ulama Indonesia adalah sederhana, dekat penjual minyak wangi akan kebagian bau
wangi. Politik transaksional menjadi dasar pendekatan. Di dunia terjadi politik
balas jasa, bagi-bagi kursi kekuasaan. Ormas Islam yang secara historis
menangani pendidikan, kesehatan dan berbagai aspek kemanusiaan, berharap jadi
pembantu presiden.
Pengayom Umat
Atribut haji, gelar akademis atau pengalaman politik
menjadikan ulama menjadi merasa bisa mengatur negara, merasa layak mengelola
rakyat yang serba multi, multi reliji, multi etnis, multi kultur.
Di antara pilar-pilar politik, ulama bukannya merasa
kecil sebagai hamba Allah, malah merasa sebagai bagian dari penguasa negara.
Syahwat politik telah membelenggu hati nurani, telah mengendalikan daya juang
untuk kemaslahatan umat.
Fatwa politik ulama jauh dari menjaga eksistensi umat,
membiarkan umat terjerumus ke persaingan bebas. Pada gilirannya membiarkan umat
terjun bebas dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Fungsi sebagai pengayom umat ditanggalkan dan
ditinggalkan demi kursi kekuasaan. Mencampuradukkan urusan dunia dengan urusan
akhirat. Umat dibiarkan berjuang sendiri, berjibaku memperjuangkan hidup. Ulama
menjadi jabatan formal, kemungkinan berkembang menjadi jabatan politik. Menempatkan
posisi ulama harus diketahui dan direstui oleh negara.
Dua periode SBY, 2004-2009 dan 2009-2014, membuktikan
bahwa ulama mengkritisi kebijakan pemerintah karena ada agenda terselubung.
Merasa tidak diajak dalam menyusun undang-undang. Merasa lebih pro-rakyat dan
anti intimidasi asing.
Ironis, jika ulama termakan dogma yaitu berkuasa agar
bisa memimpin atau menjadi pemimpin agar bisa berkuasa. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar