Di Negeri Sendiri, Tuan Merangkap Budak
Panutan
Diriwayatkan, nabi Muhammad SAW turun tangan dalam urusan pekerjaan rumah
tangga. Rasulullah dengan bijak menolak keinginan sahabatnya yang mau membuat
beliau tidur nyaman, tidak perlu beralaskan tikar daun kurma.
Zaman sekarang, di sisi lain, dalam keluarga terkadang isteri merangkap
sebagai wanita karir. Dalam sistem keluarga, rangkap jabatan, rangkap fungsi,
bisa diterapkan secara harmonis, serasi dan bermanfaat.
Bangsa, negara sebagai fungsi keluarga, rangkap jabatan bisa bersifat
dilematis atau bahkan dikotomis. Siapa berbuat apa, proses yang harus diliwati,
produk yang diharapkan, dijabarkan dalam tugas dan fungsi.
Sistem Hukum
Hukum tertulis
buatan manusia ditetapkan untuk dilanggar, berbagai pasal disusun untuk mengakomodir
kepentingan pihak tertentu, diterapkan untuk mendukung pihak tersengketa yang
kuat bayar. Hukum menjadi komoditas politik, tidak berpihak pada keadilan dan
kebenaran.
Mesin politik yang
menggerakan dan menjalankan pemerintah, sampai tingkat desa/kelurahan, bukannya
tidak berdampak. Kerangka pembentuk pemerintah identik dengan kekuatan dan
kekuasaan partai politik.
Kontrak politik
bukan ikatan moral antar penggerak mesin politik. Mereka siap berjibaku, siap
menggadaikan masa depan bangsa. Mereka faham, kalau masuk dalam putaran mesin
politik akan tergilas. Mesin politik pada suhu tertentu akan menjadi bumerang,
menjadi senjata makan tuan. Tumbal selalu berjatuhan, namun tidak menyurutkan
antrian pendatang baru.
Di zaman Orde Lama,
dimaklumatkan bahwa Revolusi tidak memakan anak kandungnya sendiri. Di era
Reformasi, parpol sudah menjadi perusahaan keluarga. Kawanan parpol berjudi
nasib lima tahunan, nasib bangsa menjadi taruhan. Parpol yang sedang berkuasa
menjalani praktek rangkap jabatan, menjadi tuan sekaligus budak. Bisa juga selama periode kuasa bertindak sebagai
tuan, sebagai juragan. Pasca periode, selain bisa jadi penghuni rumah tahanan,
bisa menjadi budak atau terkena badai kehidupan.
Janji Politik
Ironis, tebar janji
para kontestan jelang pesta demokrasi malah diganti dengan tebar senyum saat
jadi tersangka bahkan terpidana korupsi. Kita harus sadari, tingkah laku mereka
bukannya tanpa akibat, terutama hukum Allah. Kita mengacu terjemahan [QS Ali ‘Imran (3) : 188] :
“Janganlah
sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang
telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang
belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari
siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.”
Misal, manfaat
sebagai wakil rakyat diukur dengan sukses dunia. Bangga telah menghasilkan
pasal UU yang pro-rakyat, khususnya setelah melakukan kunjungan kerja ke
mancanegara. Semakin wakil rakyat ahli berdebat, seolah merasa telah berbuat
untuk rakyat. Bagi yang tak bisa umbar kata, mereka bekerja di belakang layar,
merasa tak perlu hadir dalam sidang DPR. Berjasa pada partai, banyak petahana dicalonkan
pemilu 2014.
Evaluasi Diri
Anggota tubuh kita, bisa jadi
tuan merangkap budak, kita jangan lupa dengan terjemahan [QS An Nuur (24) : 24]
: “pada hari (ketika),
lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang
dahulu mereka kerjakan”. Kita yakini bahwa bahwa perkataan baik dan amal yang baik itu dinaikkan untuk
diterima dan diberi-Nya pahala. Allah telah menunjukkan kepada kita dua jalan,
yaitu jalan kebajikan dan jalan kejahatan [QS Al Balad (90) : 10].
Jagalah mulut, kemana kaki
melangkah, apa saja yang kita lakukan, bisa-bisa
bisa menjadi bumerang. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar